Dan akan selalu kuingat:
Pagi hari yang cerah 17 Agustus 2006 – kurang lebih jam 5 – untuk pertama kalinya aku (dengan Ne’Rasid) menginjakkan kaki di tanah Jogja: kota harapan satu-satunya sewaktu aku masih kelas tiga SMA. Sebuah pagi yang asing, dan aku menikmatinya. Aku benar-benar puas dengan pagi ini, karenanya aku telah merasa menang atas kegetiran masalalu. Dengan sempurna telah kutebus seteguk harapan dari masa lalu itu.
Bau asap bus dan ruang halte (terminal Giwangan) lengket di hidungku. Telinga ini bising oleh deru bermacam kendaraan. Ketika aku keluar dari bus Surabaya-Jogja, serasa aku telah bermimpi. Pertanyaan-pertanyaan, misalnya, inikah Jogja yang aku idam-idamkan itu? Betulkah ini bukan Madura, bukan terminal Aryawiraraja Sumenep yang kemarin sore panorama lanskapnya menghias mataku? Apakah benar-benar aku telah jauh dari ema’, embu’, ale’ dan keluarga yang lain?, menyumbul dari benakku. “Tapi…ah, lupakan saja, ini benar-benar Jogja dan aku akan melancong lagi, jauh dari orang tua untuk kedua kalinya – setelah selama 6 tahun mereka kutinggalkan hanya demi ilmu,” pikirku.
Dan aku melangkah ke luar bersama Ne’Rasid, menuju Mushallah, sebelum akhirnya mencari tempat sepi untuk melahap habis sango tengga lorong (bekal makanan yang dibawa dari rumah). Setelah kami shalat, setelah sango tengga lorong itu habis, baru aku ingat pesan orang tuaku bahwa jika telah sampai di Jogja, aku harus menelpon mereka, agar mereka tahu bahwa aku telah sampai dengan selamat. Sejenak air mataku menetes, kenangan-kenangan bersama mereka segera muncul tiba-tiba. Sesungguhnya sangatlah berat buatku meninggalkan mereka untuk kedua kalinya, tapi entah apa aku merasa seperti orang yang selalu haus pada ilmu. Demikian ini adalah salah satu konsekuensi yang harus kutanggung.
Maka kulangkahkan kaki dengan mantap, sedang beribu kenangan yang menyumbul-nyumbul untuk segera ditumpahkan, kuselipkan dibalik harapan dan cita-cita yang sama-sama besarnya. Aku harus yakin bahwa niat ini tidak harus luntur akibat nostalgia masa lalu atau perasaan getir jauh dari orang tua. Pesan ibu itu harus selalu kuingat, “Biarlah kita ini miskin, nak, asalkan kita masih punya hasrat akan ilmu. Tabahkan hatimu demi perjalanan panjang ini. Doaku sedia menyertaimu. Urusi urusanmu, jangan sekali-kali memikirkan kami. Urusan kami biar kami sendiri yang menanggung. Mantapkan kakimu melangkah, meradanglah dan tatap masa depan dengan segenggam cita-cita di tangan. Restuku menyertaimu, nak.”
Dengan begitu aku mesti meyakinkan perasaanku, bahwa aku adalah Madura yang sedang berusaha untuk men-Jogja. Men-Jogja dengan langkah lebih baik untuk kembali me-Madura. (1 Januari 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar