Setiap manusia, dalam tiap-tiap fragmen hidupnya, pasti melewatkan waktu-waktu tertentu untuk kembali kepada masa-masa yang telah dilewatinya. Masa lalu yang telah dibasuh oleh waktu ingin dikunjunginya kembali dengan segenap kesadaran sebagai manusia yang berevolusi. Rasa ingin kembali ke masa lalu, dalam kondisi ini, selalu menjelma segurat perasaan dimana air mata seringkali menjadi tanda (pemuas). Masa lalu menjelma sebuah alam yang indah dan tak ada bandingnya. Keindahan masa lalu terefleksikan sebagai kurun waktu yang menjerat manusia untuk tidak dapat melupakan secuil pun kenangan-kenangan hidupnya. Pengalaman hidup di masa lalu sepertinya telah melahirkan benih kesadaran bahwa pada masa-masa itu manusia begitu telah disadarkan oleh hidup dan kesadaran untuk tidak melupakan alam sekitar yang mengasuhnya.
Karenanya, kenangan di masa lalu bagi masa depan, adalah bentangan fragmen hidup yang memperdayakan manusia sebagai sosok yang tak lepas dari sejarah. Dalam posisi ini, manusia acap kali merasakan keasingan yang tak terperikan: keterasingan hidup di masa kini. Seakan alam dan suasana masa lalu adalah kondisi hidup yang sebenarnya, dan karena itulah manusia merasa telah asing dengan suasana hidup yang kini sedang dijalaninya.
Pada umur 20 tahun ini, dalam saat-saat begini (sendirian tanpa satu pun teman dan dalam kondisi yang telah merasa muak dengan perjalanan hidup), aku ingin sekali kembali ke masa lalu, masa dimana saat aku masih SD dulu. Masa kecil itu telah menghentak kesadaranku untuk kembali mengunjunginya. Saat-saat terindah dalam hidup membantang dengan jelasnya. Semua perjalanan yang terangkum dalam waktu lama itu seperti kemarin saja aku alami. Aku ingin sekali kembali ke masa kecil yang indah itu. Seakan masa-masa itu adalah hidupku yang sebenarnya.
Aku ingin sekali kembali digendong dan dibonceng sepeda oleh ayah tiap pagi, pergi ke pasar untuk ikut jualan kedondong. Ingin sekali-sekali merasakan bagaimana dibentak dan dipukulnya hingga aku menangis dan, setelah beberapa waktu, dielusnya rambutku sambil beliau berpapareghan, mengajariku bagaimana menjadi anak yang baik, dan berkata (sebuah kata-kata yang selamanya tak selalu aku ingat), “Biarlah kita miskin, asalkan kita tetap punya hati dan pendirian hidup yang kokoh”. Seperti juga kata-kata beliau ketika pulang dari pelayaran satu minggu di Bluto karena perahunya hancur disambar petir sehingga beliau dituntut untuk berenang sepanjang 30 kilometer untuk mencapai daratan, “Jangan kau jadi nelayan sepertiku. Bekerja keraslah untuk yang lainnya. Janganlah kau menjadi orang bodoh sepertiku. Carilah ilmu ke mana pun selagi kau mampu. Tahun depan kau mondok, dan sekarang kau harus membantuku menyiram tembakau sebagai modal. Aku ingin kau kelak tidak hanya menjadi guru atas keluarga dan anak-anakmu, tetapi guru terhadap diri dan masyarakatmu.” Aku sangat menyayangi ayah meski beliau sangat keras. Ketika beliau meninggal, aku gila bukan kepayang karena merasa penuntun hidupku kelak hanya harus menjadi kenangan.
Aku ingin melihat ibuku meraung tangis karena tidak dapat hutangan buat modal jualan tahunya. Aku ingin membantunya di pasar berjualan tahu habis shlat Jum’atan. Ingin dimandikannya pagi hari, dibetulkan kembali baju dan celana sekolahku serta dipersiapkan segala peralatan sekolahku oleh beliau sebelum berangkat sekolah. Aku ingin kembali dicubitnya hingga pahaku hampir luka ketika tanpa pamit aku menginap di rumah teman. Aku ingin mendengar kembali kata-katanya, “Kau jangan seperti saya. Kuharap kelak kau menjadi payung kami. Karena itulah kau harus sekolah dan belajar yang baik. Aku tidak rela kau menjadi orang yang tak berguna dan mengabaikan kata-kata orang tua.”
Aku ingin dimarahi oleh nenek saat aku lupa makan. Dan dihidangkannya makanan, disuapinya, dan dibentaknya ketika aku tidak mau menghabiskan makanan. Ingin bersamanya menyabit rumput buat sapi-sapi kami, menyiram pohon cabe dan segala apa yang tanamannya, belajar membuat jamu tradisional, dan dikipasinya punggungku saat aku mau tidur. Ketika aku sedang bertengkar dengan adikku, beliau membentakku sambil berucap, “Kau harus menjadi contoh yang baik untuk adikku. Jangan kau sia-siakan adikmu itu.”
Aku ingin kembali bermain dengan teman-teman kecilku. Mencuri jambu mentenya Man Tolani, mencuri dompet dan tali serta kelereng di pasar sehabis Jumátan, main sepak bola tiap sore, mencari urmang tiap minggu, lari atau bersepeda ke pantai Slopeng, bersama-sama menggapai keriangan. Berolahraga bersama Pak Musyaffak dan ditanya tentang cita-cita masa depanku. Untuk pertanyaan itu, aku selalu menjawabnya, “Saya ingin menjadi tentara atau pemain sepak bola yang handal, Pak!”.
Terlalu banyak kenangan-kenangan bersama mereka semua di desa dulu. Harus tersedia berlembar-lembar kertas untuk menuliskannya. Dan terutama lagi, ternyata kenangan-kenangan itu tidak mudah jika hanya dituliskan, karena pengalaman yang dituliskan hanya jadi separuh dari pengalaman. Pengalaman hanya terperikan begitu dahsyat dalam diri seseorang jika dihayati dengan sepenuh hati. Dalam diriku kini terserak kenangan-kenangan masa kecil itu, masa jaya-jayaku menikmati hidup di desa dulu. Tapi semua itu telah punah dan hanya menjadi kisah yang patut dikenang. Dengan alasan apapun, aku hanya bisa mengingat-ngingatnya dan tidak dapat mengunjunginya kembali. Kenangan indah itu telah dibunuh oleh waktu. Betapa kejamnya waktu, pikirku.
Dalam perantauan ini, aku selalu merasa asing dengan hidup. Meski aku sadar bahwa waktu dalam perantauan telah mengajariku banyak hal, seringkali aku merasa sebagai sosok manusia yang terbuang dari hidup yang sebenarnya, dari sejarah yang aku angankan. Namun demikianlah, betapapun aku menggugat sejarah, takdir tuhan telah menjawabnya.
Sebenarnya aku ingin sekali hidup di desa tempat aku dilahirkan oleh ema’ untuk mengabdikan hidupku kepada keluarga dan kepada masyarakat desaku tentunya. Tak apa aku bertani, berpayah-payah menjalani sisa watu, jadi manusia yang tak punya masa depan cemerlang, asalkan aku hidup dengan keluarga, itu cukup membuatku bahagia.
Barangkali keinginan itu muncul dari keibaanku melihat kondisi keluarga yang menurutku selalu terpuruk, apalagi selepas ditinggal oleh ayah. Dulu tidak dapat aku bayangkan bagaimana kondisi hidup keluargaku tanpa adanya ayah sebagai ikon tampuk keluarga. Dalam kondisi yang didera kemiskinan seperti itu, sering aku meramalkan bahwa hidup kami tidak akan pernah bahagia. Karena itu, dengan segala tenaga dan waktuku, sepenuhnya ingin aku serahkan buat hidup mereka. Mungkin mereka akan sangat bahagia dengan sikapku itu, bahwa mereka tidak sia-sia mengayomiku, memberiku kehidupan yang baik, mengasuhku untuk jadi manusia yang lebih dari mereka, dan segala sesuatu yang membuat mereka bahagia. Memang demikianlah seharusnya sikap anak kepada orang tua.
Karena itu aku sangat menyesal dengan pilihan hidupku, setidaknya untuk saat ini. Bagaimana dapat dikatakan bahwa aku adalah anak yang berbakti (secara langsung) kepada orang tua, jika membiarkan kondisi mereka yang sedang terpuruk seperti itu? Acap kali aku membayangkan, aku ingin berhenti kuliah dan pulang ke rumah untuk mempertaruhkan hidupku dalam hidup mereka. Juga sering aku membayangkan untuk segera mengambil kesimpulan, biarlah meski aku tidak jadi orang cemerlang di masa depan, asalkan aku dapat membahagiakan orang tua yang telah memberiku banyak pelajaran tentang hidup. (Malam Jumát, 10-04-2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar