Senin, 12 Mei 2008
Ritus Pencarian Identitas
Eksistensi ruang-waktu dalam diri setiap orang adalah bagian utama dari suatu momentum sebuah pencarian jati diri atau secara umum dikatakan identitas. Dalam masa-masa yang demikian, jiwa seseorang cenderung sangat rentan tergerus oleh sistem dan konstruk realitas hidup dimana dan kapan dia tinggal. Pengaruh-pengaruh dari luar, disadari atau tidak, selalu akan menjadi masukan terhadap kondisi temperamentalnya. Kadang dia menolak terhadap realitas yang tidak disenanginya, tetapi lambat-laun dia sadar bahwa mengkondisikan diri pada alam sekitar adalah dimensi penting dikembangkan untuk dapat diterima oleh khalayak orang atau setidaknya oleh keadaan. Tanpa disadari, karena pergumulan dengan realitas sekitar itu sedikit banyak menggugah kesadarannya, meskipun awalnya dia menolak, tetapi pada akhirnya dia akan ikut lebur pada realitas itu.
Namun dapat dikatakan di sini bahwa keyakinan selalu menjadi daya pendorong terhadap bagaimana sesungguhnya sikap yang harus diambil oleh setiap orang terhadap dirinya. Meskipun orang itu telah lebur dalam kondisi gaya hidup yang tidak sejalan dengan jiwa dan pemikirannya, namun sebuah keyakinan terhadap hidup yang telah terbentuk semacam idealisme primordial selalu saja akan mengelaknya. Dalam kondisi yang demikian, seseorang akan jadi serba dilema. Pada satu sisi dia harus mengkondisikan dirinya dengan realitas hidup sekitarnya, di sisi lain konstruksi hidup semacam itu sangat tidak sesuai dengan keyakinan pada hidup yang sebenarnya dia impikan. Ini yang kemudian menimbulkan problema klimaks dalam diri seseorang yang pada batas tertentu menuntut untuk segera diatasi. Dari sini pula, kondisi hidupnya selalu dihadapkan pada pilihan realitas yang sangat sulit. Juga, pada titik ini pula, seseorang akan merasa ragu terhadap pilihan sikapnya, sehingga menjadikannya seorang yang tidak konsisten.
Sesungguhnya jika seseorang itu merasa mampu menjadi ‘yang-lain’, yaitu dengan melawan keadaan demi kemaslahatan idealismenya, dia akan segera jadi orang yang menang. Sebuah kemenangan yang sangat sulit dibayangkan, bahwa ternyata dia mampu melawan situasi gaya hidup komunal meskipun pada tahap yang kritis dia harus mengorbankan apa saja, bahkan dirinya sendiri. Dengan begitu, dia sudah dapat menjadi dirinya sendiri atau telah menemukan identitas ke-diri-annya lantaran dia mengambil keputusan berani untuk menjadikan dirinya itu ‘ada’. Keberadaannya itu, secara langsung maupun tidak, mencerminkan matangnya sebuah keyakinan atau penalaran yang diperoleh dari perenungan terhadap hidup yang selalu tak menafikan dimensi tranformasi kehidupan real. Inilah kemudian puncak dari ‘sucinya’ pemikiran dari asumsi-asumsi yang ‘ahirstoris’. Dalam perkataan lain, idealisme hidup telah benar-benar dapat menjelma realisme atitude.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah: dengan daya apakah orang dapat melakukan itu semua? Langkah-langkah seperti apakah yang harus dia lalui dan mesti dilakukannya? Karena bahwa kadangkala seseorang hanya bisa beretorika tentang hakikat sebuah kehidupan, tapi ternyata dalam kesehariannya idealisme tersebut tidak tercermin pada sifat dan sikap hidupnya. Atau kadangkala juga seseorang itu telah mempunyai pandangan hidupnya sendiri, tetapi bahwa dia kurang menyadari hal itu sebagai sesuatu yang teramat penting, sehingga tetap saja kondisi realitas sekitar yang tidak disukainya tetap menguasai dirinya.
Pertama-tama harus dikatakan bahwa idealisme tanpa realisme seperti pohon yang tidak berbuah. Pohon itu tidak berguna apa-apa, selain hanya menjadi alat pelindung ketika dalam keadaan terik maupun hujan dan sama sekali dia tidak mampu memecahkan kebuntuan dimensi kebutuhan pokok manusia yang paling urgen, yaitu makan. Bahwa sangat omong-kosong, meski seorang filsuf pun, yang mempunyai konstruksi pikiran atau idealisme tentang kehidupan sangat mapan tetapi pada tataran atitude ke-diri-annya, pemikiran itu tidak mempunyai daya kerja nyata. Orang seperti Nietsche yang mengandaikan adanya ‘manusia super’ tanpa cela, gugur kemudian karena kehidupannya sangat melenceng jauh dari konstruk pemikirannya. Terpaan schizofrenia dan kegilaan pada saat-saat terakhir hidupnya, menunjukkan bahwa dia hanya bisa berandai tentang sesuatu tanpa dia memulai dari dirinya sendiri atau setidaknya sesuatu itu merupakan hikmah hidup yang mesti dia jalani. Begitu juga dengan para pemikir politik yang telah melahirkan beribu-ribu tumpuk teori dan hukum negara, namun tanpa adanya suatu keinginan membuat sebuah komunitas gerakan agar gagasan itu dapat dibuktikan secara riil, maka sepenuhnya dia dapat dikatakan sebagai seorang utopis tulen. Orang semacam ini termasuk pada golongan yang tidak berkata atas dasar keyakinan hati nuraninya.
Maka dengan demikian, orang yang sempurna ialah ketika dia dapat menerapkan pikiran-pikirannya terhadap dirinya sendiri dan kepada lingkungannya. Tarulah sepotong contoh, seorang politikus yang gencar menentang KKN, maka dia harus menjadi orang yang bersih dari sikap tersebut. Atau, orang yang selalu mengagungkan kejujuran sebagai pilihan hidup paling utama, maka dia mesti dapat menjadi teladan dalam hal kejujuran bagi setiap orang. Karena bahwa, kecilnya sebuah gagasan selalu dahsyat manakala menjadi rujukan suatu tatanan kehidupan, setidaknya hidupnya sendiri.
Untuk itu maka, seseorang harus memulainya dari hal terkecil. Dia harus merasa skeptis terhadap sifat dan sikap hidup yang telah dijalaninya secara positif dari hal-hal yang tampaknya remeh namun sangat mendasar. Misalnya tentang kejujuran, egoisme, kedewasaan, pengaturan mental, dan lain sebagainya yang berkenaan dengan falsafah hidup keseharian. Bermacam aspek mendasar kehidupan ini menemukan klasifikasinya pada konteks pribadi dan sosial.
Dalam konteks pribadi, seperti manusia kebanyakan, seseorang pasti mempunyai sebuah rencana, angan-angan, cita-cita serta konsep hidup yang murni sebagai pengharapan dari sisi kemanusiaannya. Dia mesti akan bertanya, apa yang harus diketahui? Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus didapatkan?
Dari tiga pertanyaan ini, tiap orang selalu memiliki kecenderungan untuk sautu jawaban yang berbeda-beda, karena pikiran dan keinginan tiap orang pula berbeda-beda. Setelah pertanyaan pertama sudah dia jawab, dia mesti beranjak pada pertanyaan kedua, dan bukan lantas pada pertanyaan ketiga. Kadangkala ada seseorang yang hanya mampu memberikan justifikasi terhadap masa depannya untuk mengangankan ‘apa yang harus didapatkan darinya’. Dia tidak memikirkan aspek hidup berkenaan dengan bagaimana yang mesti dia lakukan dan aspek hidup yang seperti apa yang mesti dia tentang. Pertanyaan kedualah yang sebenarnya menjadi titik sentral dari pertanyaan pertama dan kedua tersebut. Oleh orang kebanyakan pertanyaan kedua ini dikatakan sebagai proses. Dalam artian bahwa seseorang boleh mempunyai cita-cita dan angan-angan, tetapi yang patut dititikberatkan ialah bukan pada titik tujuan, melainkan proses yang harus dijalaninya. Orang yang menghargai proses seperti halnya menghargai hidupnya.
Dalam hal proses, pula ada tiga hal yang harus menjadi patokan kunci yaitu tentang niat, kehendak, dan konsekuensi. Niat, dalam arti yang sesungguhnya, adalah suara nurani yang menunjukkan kemantapan terhadap ‘apa yang harus diketahuinya’. Sementara kehendak ialah berkenaan dengan kesadaran untuk terus-menerus berusaha memberikan pengorbanan terhadap usahanya supaya dapat menjawab dengan keyakinan terhadap ‘apa yang harus didapatkan’. Dan konsekuensi merupakan aspek-aspek mendasar dari cobaan dan tantangan serta problematika hidup yang tidak boleh tidak harus dihadapi dengan kematangan mental yang harus selalu dilatih. Bukan justeru bahwa problematika harus dihindari, melainkah mesti dikalahkan, karena manusia akan menjadi dewasa dari pengalaman pahitnya. Orang yang tidak meniscayakan problematika berarti juga tidak menghargai cita-cita dan prosesnya.
Dalam konteks sosial, seseorang mempunyai kecenderungan ingin menguasai atau justeru terkuasai. Rasa ingin menguasai sesungguhnya lahir dari ketidakmampuannya dalam mengartikulasikan esensi hidup yang sebenarnya, bahwa komunikasi merupakan nyawa satu-satunya dari hidup manusia. Sedangkan dalam komunikasi mesti disertakan apa yang dinamakan keselarasan untuk saling menghormati, kerena bahwa disparitas dan paritas merupakan kunci pokok dari aspek-aspek sosial. Maka untuk itu rasa ingin menguasai tidak diterima kemudian jika memang ada sebuah jawaban yang lebih diplomatis, yaitu menguatkan sendi-sendi solidaritas sosial. Solidaritas sosial inilah yang kelak akan membentuk suatu masyarakat beradab dan berkeadilan. Pula dari titik solidaritas ini, manusia akan merasa bahwa tiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Yang paling memilukan adalah orang yang memiliki jiwa kerdil atau semacam pesimisme terhadap hidup, sehingga dia hanya bisa memaklumkan dirinya terkuasai. Rasa ingin terkuasai sesungguhnya yang menjadi penyakit sosial dan perlu dihindari. Karena bahwa, meskipun perbedaan dalam hal apa pun setiap manusia merupakan dimensi hidup yang diniscayakan, tetapi persamaan kedirian adalah hal yang mutlak. Rasa menganggap bahwa orang lain sama dengan dirinya merupakan hal yang wajib dimiliki oleh jiwa tiap orang, karena dengan begitu dia telah mensyukuri nikmat yang diberikan oleh tuhan. Tetapi hal ini juga mempunyai batas-batas tertentu, yaitu pada batas kewajaran untuk tidak memunculkan kriteria sikap dan sifat egosentrisme. Karena egosentrisme tidak mempunyai varian pada tahap ‘merasa sama’, namun pada tahap ‘merasa tinggi dari’.
Bahwa titik urgen kehidupan sosial itu bukan terletak pada sikap ingin menguasai dan terkuasai, tetapi lebih kepada tepa salira atau lianing liyan, agar supaya hidup sosial lebih dinamis dalam mengemban tugas komunalnya secara bersama-sama. Maka untuk itu, pula ada tiga pertanyaan yang harus dijawab, yakni, Apa yang harus dipelajari? Apa yang harus dikritisi? Apa yang harus dicapai? Tiga pertanyaan ini merupakan suatu bentuk dialektika historis.
Pertanyaan pertama berkenaan dengan tugas tiap-tiap orang dalam suatu kelompok masyarakat dalam hal memandang sejarahnya sebagai sebuah khazanah yang mesti dibanggakan untuk lebih dikembangkan dan bukan lantas diburuh. Tugas ini bertumpu pada pembelajaran terhadap sejarah dengan mengambil kriteria sistem-nilai, citra dan karsa yang ditanamkan oleh para pendahulunya. Segala yang menyangkut dengan tiga aspek ini perlu digali sedetail mungkin, dari hal yang paling kecil ke sesuatu yang besar, dalam peranan untuk dilakukan pengkajian.
Tahap pengkajian itulah kemudian selalu mensyaratkan adanya instrospeksi sejarah atau kritik terhadap sejarah. Kritik sesungguhnya merupakan klasifikasi antara apa yang harus diambil dan apa yang harus perbaiki. Hal-hal yang terburuk dari sejarah manusia bukan lantas merupakan bentuk ketidaksempurnaan yang merasa perlu untuk dibuang. Tetapi justeru diantisipasi dengan memikirkan kembali alternatif-alternatif yang lebih positif, karena bahwa keburukan sejarah mempunyai pertalian erat dengan kebaikan sejarah. Maka, dengan metode instrospeksi ini, sekelompok masyarakat dapat mengambil hikmah dari sejarahnya untuk bagaimana hal-hal terburuk darinya dirubah sedemikian rupa agar pertanyaan ketiga akan terlaksana, ‘apa yang harus dicapai’?
Pencapaian suatu kelompok masyarakat biasanya terletak pada bagaimana cita-cita bersama dicapainya secara sempurna atau setidaknya dapat memuaskan pengharapan-pengharapan mereka. Dalam suatu masyarakat yang meniscayakan sejarah, selalu menginginkan terciptanya kesamaan derajat, diberlakukannya hak asasi manusia, disadarinya kesejahteraan bersama, terbangunnya solidaritas, dan saling menguatkan sendi-sendi nilai sejarahnya. Untuk beberapa cita-cita bersama itu, suatu masyarakat memerlukan perangkat kesadaran sejarah, kesadaran sosial, dan kesadaran pembangunan.
Kesadaran sejarah adalah suatu upaya bagaimana masa depan tercipta dari nilai masa lalu dengan perangkat penyempurna masa kini. Disinilah sikap reflektif-realistis menempatkan peranannya. Bahwa refleksi yang menghubungkan antara khazanah masa lalu dengan kondisi zaman merupakan perangkat keras untuk melakukan modifikasi bentuk usaha dan pengembangan suatu bangsa di masa depan. Tetapi hal ini sifatnya primodial-kelompok, dalam artian sikap refleksi tidak harus menyertakan intervensi dari luar, karena ditakutkan munculnya kondisi yang tak diharapkan. Namun jika hal itu merupakan kritik konstruktif, tidak mengapa, bahkan justeru diterima tetapi harus dalam batas-batas yang normal.
Kesadaran sosial terletak pada kecilnya lubang antara disparitas (perbedaan) dan paritas (persamaan). Besarnya antara disparitas dan paritas, menunjukkan tidak kuatnya solidaritas sosial yang ditambatkan pada keyakinan untuk “susah senang bersama”. Dua hal ini berkesinambungan jika tidak mengunggulkan diantaranya. Dengan menyelaraskan antara disparitas dan paritas, menunjukkan bahwa suatu masyarakat telah menemukan realitas kesatuannya, dalam hal apa pun.
Kesadaran pembangunan merupakan suatu bentuk usaha untuk terus-menerus melakukan pembenahan-pembenahan, baik yang sifatnya sistem-nilain maupun oprasional. Karena bahwa ukuran kemajuan suatu bangsa ialah dari proses pembangunannya dari waktu ke waktu. Adalah merupakan peradaban yang jumud jika hanya tetap dalam keadaan stagnan. Akan tetapi bahwa, konsep pembangunan ini harus tidak melampaui batas kesadaran. Dalam artian, jika tidak memungkinkan atau justeru dengan pembangunan dalam taraf tertentu hal-hal yang berkenaan dengan kualitas sistem-nilai semakin luntur dan kuantitas oprasional hanya menjadi petaka lingkungannya, maka usaha yang mesti dilakukan adalah bagaimana menemukan kembali kenyamanan anggota masyarkat terhadap dua hal tersebut. Misalnya, dengan melangsungkan dinamisasi aspek kualitas bangsa dalam bentuk kesadaran akan butuhnya sistem-nilai dan lingkungan untuk terus dijaga dari sikap eksploitatif yang sesungguhnya muncul dari keinginan-keinginan utopis manusia.
***
Demikian ulasan tentang bagaimana cara menemukan dan membangun identitas diri yang tidak hanya dalam ruang lingkup primordial tetapi juga komunal. Yang terpenting dari semua ini adalah bahwa setiap manusia harus selalu merasa punya masa depan yang mesti dicapai dengan suatu usaha konkrit dari konsep-konsep matang yang telah diperkirakan secara seksama dan dengan metode tertentu pula. Lalu pertanyaannya ialah, apakah setiap orang mampu meyakinkan dirinya dengan melakukan perenungan untuk mendapatkan konsep keseluruhan tentang hidup atau konstruksi idealisme yang sekiranya dapat mengkalkulasikan apa yang harus dilakukan dengan apa yang mesti dirubah dalam ruang lingkup realitas sosialnya? Adalah memang idealisme dan realisme selalu saja tidak terselaraskan secara sempurna, tetapi tidakkah seseorang melihat hal itu dari dirinya sendiri bahwa dia mempunyai keyakinan hidup yang mampu mensintesiskan keduanya? (03-05-2008).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar