Minggu, 29 Maret 2009

SESUATU DALAM PESIMISME HIDUP


Pernah sekali aku kecewa pada hidup. Ketika itu aku sedang sendiri di kos. Di saat yang sepi itu, aku berusaha kembali mengotak-atik buku. Aku belajar sedapat yang aku inginkan dari bab per bab fisika modern. Setelah sekian lamanya aku belajar, hingga berjam-jam, aku mulai sadar bahwa aku bukanlah orang yang tepat menjadi seorang pembelajar. Sudah banyak hal aku upayakan dari belajarku itu. Tapi semuanya sia-sia. Tetap aku tidak bisa. Tetap saja aku tak paham yang sedang kupelajari.
Berangkat dari ketakpahaman itulah aku mulai merenungi hidupku. Masa lalu serupa pasukan Jengis Khan menyerbu kesadaranku. Demikian pula masa depan. Hingga aku tak sadar bahwa aku ada di masa kini, dengan keberadaanku yang seperti ini. Serba terbatas dalam hal apa pun.
Aku menangis. Sebuah tangisan kosong, tapi begitu histeris. Hatiku hancur. Aku tak berdaya dengan hidup. Kesuraman masa lalu tiba-tiba menyergap harapanku di masa mendatang. Aku tak tahu lagi, bagaimana harus memulai semuanya di hari ini. Di saat ini.
Aku mengutuk semuanya. Takdir, Tuhan dan diriku sendiri. Aku mengutuk kemiskinanku, kebodohanku, keterbatasanku, sifat dan tabiatku, dan segala kekuranganku. aku mengutuk hidup, setidaknya hidupku sendiri. Mengutuk kenyataan, mengapa telah menjadikanku sedemikian rapuh ini.
Serasa setelah segalanya terkungkung dalam diriku, aku ingin meninggalkan diriku sendiri. Aku sudah muak dengan diriku. Aku tidak sabar dengan kenyataan yang sedang aku hadapi. Aku merasa, sekaranglah waktu yang tepat mengakhiri segalanya. Aku harus meninggalkan hidup, karena itu, jalan satu-satunya aku harus bunuh diri.
Aku ambil sedikit gerakan dari puncak kesadaranku. Aku berharap dengan ini Tuhan tidak akan marah. Ibu di kampung halaman, semoga tidak kecewa dengan tindakanku ini. Semoga beliau memaklumi alasanku.
Tapi, ketika hendak kuhunjamkan sebilah besi karat tapi tajam ke perutku, ada yang datang tiba-tiba. Sesuatu yang tidak aku mengerti. Aku tidak tahu, apakah itu ilham atau apa. Seperti sebuah kesadaran dalam dada, dan pendar cahaya yang demikian nyata. Ia tidak berkata apa-apa kepadaku. Hanya saja karenanya kesadaranku menjadi pecah, dan sedikit demi sedikit aku mulai berubah.
Keyakinanku pada diri dan kehidupanku semakin kuat. Aku menjadi tegar seketika. Entah ketegaran macam apa, aku tidak bisa membahasakannya. Kalau dianalogikan, seperti pohon tumbang beranjak hidup kembali. Tumbuh subur sama sekali, seperti masa lalunya yang sudah berkarat di kantung waktu.
Akhirnya aku pun sadar, mungkin inilah rahmat Tuhan. Petunjuk Tuhan yang secara nyata telah ditunjukkanNya padaku. Oh, benar-benar betapa bahagianya hatiku. Sebuah kebahagiaan tanpa sebab, barangkali pula tanpa akibat. Aku merasa kosong. Tetapi begitu tenang. Begitu damai. Begitu permai.
Lalu aku beranjak dari ketertegunan itu. Menuju kamar mandi, dan berwudlu. Aku shalat malam. Sebuah shalat yang karenanya aku tidak mengharapkan apa-apa. Sebuah shalat yang tulus aku lakukan karena aku merasa bahwa Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan hidup umatnya, setidaknya umat yang sudah pesimis sepertiku. Aku tenggelam dalam irama cinta hakiki. Aku shalat tanpa membawa serta kesadaranku. Tanpa kemanusiaanku. Tanpa apa-apa – dan memang aku tak memiliki apa-apa, bahkan diriku sendiri.
Sehabis shalat, kembali kesadaranku menyentakku tiba-tiba. Aku telah dibawanya kesuatu tempat dimana penyesalan dan harapan bercampur sedemikian rupa. Hingga akhirnya aku tahu keberadaanku dalam kehidupan ini. Aku mengenal diriku. Sebuah perkenalan yang telah membuatku bahagia, meski tak pernah bisa aku mengungkapkannya. Setelah itu, serasa aku kembali hidup sebagai diri yang seutuhnya. Diri yang sepenuhnya diri. Fakih yang sesungguhnya Fakih. Fakih historis, tetapi juga Fakih yang ahistoris…Terima kasih, Tuhan. (28 Maret 2009).

Tidak ada komentar: