Selasa, 30 Juni 2009

Aku Ingin Kembali Ke Pangkuanmu, Kampung!



Bagaimanapun juga, aku tidak akan pernah melupakanmu, kampungku. Sama sekali tidak akan pernah. Tak sudi rasanya hatiku jika kelak aku tidak kembali kepangkuanmu. Aku akan kembali jika saatnya sudah tiba. Dan ini adalah janjiku pada diriku sendiri. Aku yang lahir dari rahimmu, maka aku harus kembali ke rahimmu.

Meski sudah 9 tahun aku telah meninggalkanmu, bayang-bayangmu tidak pernah luntur dari pikiranku. Rinduku padamu sangatlah dalam. Semakin dalam bila kenangan-kenangan bersamamu muncul tiba-tiba. Entah bagaimana aku harus menggambarkannya. Yang pasti, ketika kerinduan itu muncul, aku selalu merasa asing hidup di tanah rantau.

Begitu renyuh hatiku bila ingat kenangan itu. Tidak kuat rasanya aku menahan kerenyuhan hatiku. Benar-benar aku tidak tahan. Aku sama sekali tak berdaya. Apalagi jika dalam bayangan itu, aku ingat betapa waktu tak akan pernah mengembalikan apa yang telah terjadi, aku selalu mengutuk diri. Mengapa aku harus ditakdirkan merantau seperti ini? Tidakkah lebih baik bila aku tinggal di rumah saja, hidup bersama keluarga, teman-teman, orang-orang kampung yang biasanya dikatakan bodoh itu, menjalin cinta yang tulus bersama mereka semua? Tidakkah lebih baik jika aku tak harus mengejar cita-cita ke tempat yang begitu jauh, dan hidup sederhana sebagaimana anak-anak kampung lainnya bersamamu?

Ah, aku tidak bisa membayangkan ini semua. Aku selalu takut mengambil keputusan. Jika muncul dalam diriku tarik-menarik antara pulang ke pangkuanmu dengan meneruskan perjalanan yang telah aku jalani ini, aku selalu diam dan hanya bisa menangis. Sangat ingin rasanya aku hidup bersandingan dengan keluarga, biar kelak ketika diantara mereka ada yang dipanggil Tuhan aku tidak merasa terlalu memiliki beban yang besar. Tetapi aku selalu tidak kuasa membuang begitu saja keinginan-keinginan mereka agar aku menuntut ilmu setinggi-tingginya di tanah perantauan ini.

Akhirnya, aku hanya bisa pasrah, meski sebenarnya hatiku selalu bergejolak karenanya. Meski tak pernah ada dalam diriku setitik ketenangan dan kebahagiaan. Kau hanya ada sebatas dalam kenangan dan bayang-bayang. Dan selalu muncul dalam bentuk kerinduan yang tak dapat kulukiskan. Hanya kenangan dan bayang-bayang tentangmu yang dapat menghiburku. Dan tak ada selain itu. Hanya kenangan dan bayang-bayangmu yang membuatku masih merasa bahwa aku memilikimu, dan kau memilikiku.

Hancur rasanya hatiku bila merenungkan semua ini. Seakan aku tak dapat mempertahankan apa-apa dari diriku jika telah datang kerinduan itu. Aku tak dapat berbuat apa-apa, dan sekali lagi, hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Dan kau tahu, menangisi kerinduan itu terasa sangat menyakitkan.

Maafkan, kampungku, maafkan aku. Tak ada yang bisa aku curahkan padamu. Tak ada jasa yang aku berikan padamu. Aku merasa seperti anak durhaka, orang yang tidak menghargai masa lalunya, tak berterima kasih pada yang telah melahirkan dan membesarkanku.
Tetapi ketahuilah, aku sangat mencintaimu. Sangat merasa bahwa kau adalah satu-satunya yang paling berharga dalam hidupku. Aku sangat bangga padamu. Sangatlah bangga. Bahkan melebihi kebanggaanku pada diriku sendiri.

Aku akan kembali ke pangkuanmu, kampungku. Ingin merangkai hidup manis bersama keluarga, ingin merasakan hidup hangat bersama teman-teman dan orang-orang kampung. Ingin menjalani masa-masa kejayaan dan masa tua bersamamu. Bahkan, kelak aku ingin meninggal dan dikubur di rahimmu.

Aku berjanji pada diriku, aku akan kembali ke pangkuanmu, kampungku!

Jogja, 27 Juni 2009

Tidak ada komentar: