Ada seorang teman menyatakan, bahwa semestinya mahasiswa yang sudah mencapai jenjang semester IV itu sudah paham betul bagaimana ia harus menyikapi ilmu yang ia pilih sebagai jurusan di kampusnya. Barangkali tak setiap orang yang akan menolak pendapat itu. Bagi mahasiswa yang memang sudah memiliki niat kuat sebelum ia benar-benar mengambil jurusan yang ia pilih nantinya, semester IV barangkali merupakan langkah awal pengembangan ilmu yang telah lebih setahun setengah ia tekuni sebagai bidang keilmuan.
Namun lain halnya dengan aku. Hingga semester IV ini, aku masih terlalu malu untuk dikatakan sebagai mahasiswa fisika, lantaran – sebelum segalanya menjadi berubah – aku tak pernah paham bahkan satu bab pun dalam topik fisika. Padahal mestinya, mahasiswa semester IV itu minimal sudah tahu dan paham dasar-dasar umum mata kuliah jurusannya. Meskipun ia tidak terlalu berhasrat dengan jurusan kuliahnya, namun setidaknya ia sudah dapat “meraba” atau sekedar berdebat dengan teman-temannya mengenai kasus-kasus yang berhubungan dengan topik kampusnya.
Sementara itu, pertanyaan yang sering terngiang-ngiang dalam dada, bagaimana mungkin aku dikatakan mahasiswa fisika semester IV sementara aku tak paham sama-sekali topik-topik fisika dasar I dan II? Atau barangkali terlalu menggelikan bila aku mengaku telah setahun setengah belajar fisika sementara sistem deferensial dan integral – dua sistem matematika terpenting untuk penerapannya dalam fisika – aku belum menguasainya, bahkan sekelumit pun?
Inilah hal yang benar-benar membuatku gelisah. Aku tidak mau kelak ketika sudah wisuda dianggap lulusan kacangan atau sarjana fisika “sampahan”. Aku tidak mau dikatakan ini dan itu (diolok-olok) mengenai pengetahuanku tentang fisika. Sangat memalukan rasanya jika seandainya kelak ditanya oleh seseorang mengenai pendidikanku, aku menjawabnya, “SARJANA FISIKA”, sementara ketika aku ditanya menganai gravitasi Newtonian atau rumus E = mc Einstein, aku hanya geleng-geleng kepala.
Semuanya berawal dari masa lalu yang suram, masa lalu yang “haram” hukumnya diikuti oleh generasi di bawahku, yakni ketika aku baru memutuskan untuk kuliah dan aku tidak benar-benar mantap dengan pilihan jurusan yang akan aku pilih. Hal ini sebuah problem pelik yang berimplikasi sangat luar biasa bagi masa depan seseorang. Ceritanya sebagai berikut:
Sewaktu SMA, aku tak benar-benar yakin kalau kelak akan kuliah. Aku tak dapat berharap banyak menjadi seorang mahasiswa, lantaran orang tuaku miskin, apalagi aku sudah tidak punya ayah. Ayahku meninggal dunia ketika aku masih kelas satu MTs. Tidak mungkin rasanya ibuku seorang diri mampu membiayai kuliah yang menurut cerita-cerita para tetangga membutuhkan biaya yang sangat besar. Apalagi kerjaannya cuma tani, dan hasil dari tani itu pun hanya cukup untuk biaya hidup harian keluarga. Dari itu aku pesimistis untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah.
Tapi keajaiban muncul tiba-tiba. Entah apa gerangan ihwal yang mendorongku sehingga aku – ketika sudah lulus SMA – memiliki cita-cita besar (dan cita-cita itu hingga kini Alhamdulillah masih berpendar di dadaku), yakni menjadi seorang ilmuwan. Cita-cita itu membuatku “buta”. Aku sudah tidak tahu lagi bahwa aku ini anak orang miskin, bodoh, terbelakang, dan sebagainya. Yang penting bahwa aku harus mewujudkan cita-cita itu, apa pun jalan alasannya. Aku pikir dengan menjadi seorang ilmuwan, kelak aku dikenal banyak orang, dan semoga dengan jalan inilah aku dapat membahagiakan orang tuaku. Aku yang terkenal bodoh di kelas dan tidak pernah membuat orang tuaku menangis haru dengan prestasi-prestasi belajarku, ingin membuktikan pada mereka bahwa aku bisa menjadi seorang yang besar oleh ilmu.
Yogyakarta, ya, Yogyakarta, itulah tujuan awalku. Ketika itu, dua orang kakak kelasku (M. Sanusi dan Yusrianto Elga) sudah terkenal menjadi seorang penulis sukses di Yogyakarta. Kutub adalah nama sebuah lembaga kepenulisan yang begitu menggemparkan yang telah membesarkan dua seniorku itu.
Maka tanpa banyak pikir aku meminta restu dan sedikit uang buat ongkos (hanya 300 ribu) kepada orang tuaku dan aku berangkat ke Yogyakarta, ke lembaga Kutub tepatnya (waktu itu masih di Krapyak). Aku berproses menjadi seorang penulis di sana. Meskipun perih dan runyamnya hidup banyak menerpaku dalam berproses di Kutub, aku tidak peduli. Yang penting aku jadi seorang penulis, dan dengan begitu, aku pikir bahwa aku sudah melewati satu jenjang proses keintelektualan. Alhamdulillah – meskipun tidak begitu terkenal – kini aku sudah merasa menjadi seorang penulis yang dapat menulis dalam tema apa pun. Untuk itu, aku sangat berterima kasih kepada alm. Gus Zainal Arifin Thoha – guru hidup, intelektual dan spiritualitasku – yang telah membimbingku ke jalan yang semoga lurus ini.
Iming-iming kuliah muncul begitu saja sewaktu aku satu tahun di Jogja. Ini tak lepas dari pikiran bahwa seorang intelektual saat ini harus menempuh pendidikan formal. Lebih-lebih dorongan yang sifatnya eksternal, yakni agar tetangga kampungku tidak beranggapan negatif dengan tahu bahwa aku merantau ialah untuk kuliah. Karena sudah menjadi tradisi di kampungku bahwa orang merantau jauh-jauh dari desa harus jelas, kuliah atau kerja.
UIN Sunan Kalijaga adalah satu-satunya kampus yang hanya mungkin aku masuki, karena dibanding kampus lain, biayanya tidak terlalu mahal (untuk tahun 2007, SPPnya 600 ribu). Lagi pula aku sudah banyak tahu bahwa UIN telah banyak melahirkan ilmuwan. Kebetulan rata-rata teman-temanku kuliah di sana, jalanku menjadi semakin terang dan lancar – meskipun untuk urusan keuangan selalu menimbulkan masalah. Tapi aku mau ngambil fakultas apa, jurusan apa, aku benar-benar tidak tahu waktu itu.
Awalnya, tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk masuk jurusan fisika. Inginnya sih aku mau ngambil jurusan filsafat atau sosiologi. Tapi aku pikir-pikir lagi, jurusan itu kurang menjanjikan secara pragmatis buat masa depanku. Oleh karenanya aku meminta pendapat dari orang-orang yang aku percayai. Setelah itu, aku pertimbangkan semuanya, utamanya dua pendapat sebagai berikut:
1. dari orang-orang rumahku (semuanya aku akumulasikan). Mereka mengatakan bahwa untuk gampang mendapatkan pekerjaan kelak ketika aku pulang ke Madura, jurusan sains dan teknik sangat menjanjikan. Setelah aku pikir-pikir kembali, untuk teknik aku tidak memiliki dasar sama sekali. Maka pilihannya adalah tingga fisika dan matematika (karena biologi dan kimia menurutku sangat sulit waktu itu).
2. dari guru sekaligus kepala sekolah SMAku, yakni KH. Hanif Hasan. Beliau selalu mewanti-wanti kepada seluruh siswa untuk ngambil jurusan sains dan teknologi daripada jurusan-jurusan yang “mengotak-atik” agama. Yang dibutuhkan umat Islam sekarang untuk mencapai kemajuan peradaban masa depan, kata beliau, adalah bukan memikirkan agama, tetapi memantapkan keagamaannya. Sains dan teknologi merupakan garapan yang sangat respektif untuk itu.
Dari semua pertimbangan itu, lalu aku putuskan mengambil jurusan fisika, meskipun aku tidak suka pelajaran itu. Waktu itu, aku pikir, fisika lebih mudah ketimbang matematika. Tetapi ternyata merupakan pelajaran paling rumit untuk jurusan sains. Lebih dari itu semua, jurusan yang telah aku ambil itu, ternyata problematis. Ternyata aku salah pilih jurusan. Mestinya untuk menjadi guru fisika, aku harus ngambil jurusan pendidikan fisika, bukan fisika murni. Ah, entahlah, ini adalah pilihan salah yang keberapakalinya aku lakukan dalam hidup ini.
Oleh karena pilihan salah itu, ditambah ketidaksukaanku dengan fisika, semester satu dan dua aku tidak serius kuliah. Tahun itu (2007-2008) adalah tahun suram pendidikan formalku. Dalam kurun tahun itu aku tidak pernah belajar fisika sama sekali. Di dalam kelas, kerjaanku cuma tidur saja atau ngoret-ngeret buku sendiri. Aku malas-malasan datang ke kampus. Kini, sekitar lima mata kuliah di dua semester itu harus aku ulang kembali, lantara tidak bisa ikut ujian akhir. Nilaiku hancur. IPku tidak sampai 2,24.
Bahkan semester tiga aku pilih cuti, karena aku sudah tidak kuat lagi dengan kehidupan kampus. Aku berpikir, jurusan fisika tidak cocok dengan karir intelektualitasku. Waktu itu, hampir aku pindah kampus, yakni ke UT (Universitas Terbuka) di Bantul. Di sana katanya boleh tidak masuk, tapi boleh ikut ujian. Asalkan memenuhi nilai standart kita naik kelas. Aku pikir dengan masuk UT, waktu untuk belajar sendiri semakin terbuka. Di sana biaya kampusnya hanya 400 ribu/semester. Jadi kalau aku masuk di sana, aku tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya kampus.
Tapi untung aku terlambat daftar. Waktu itu pendaftaran awal tahun 2008 untuk semester ganjil. “Tragedi” ini mungkin rahmat yang memang dikhususkan Tuhan buatku, sehingga aku tidak salah pilih lagi (sehabis aku gagal daftar di UT, banyak aku dengar berita “kejanggalan-kejanggalan” mengenai UT). Ya, sudah, aku mantapkan untuk meneruskan kuliah di UIN.
Awal aku masuk semester IV, kesadaran untuk belajar kembali dan mendalami fisika masih belum tumbuh dalam diriku. Baru ketika aku dihadapkan pada berbagai hal, kesadaran itu muncul. Misalnya, karena semester semakin tua, tuntutan untuk tahu dalam ujian, malu pada kebodohan, keinginan selalu bersaing dengan teman-teman, dan hal-hal lain yang sebelumnya tak pernah aku duga. Lebih-lebih – entah mungkin karena aku sering baca biografi para fisikawan dan berita-berita seputar fisika sering aku up-date di internet – dalam diriku muncul cita-cita yang hingga detik ini aku tidak paham mengapa ia harus hadir dalam hidupku, yakni ingin menjadi seorang fisikawan. Kadang aku tertawa sendiri jika ingat cita-cita itu.
Bagiku, fisikawan adalah merupakan sebuah cita-cita yang menurutku sangat tidak pantas diharapkan oleh seseorang yang sama sekali tidak punya dasar fisika dan matematika, juga oleh seseorang yang tidak memiliki kemampuan luar biasa dan intens dalam merambahi ruang pemikiran yang super rumit itu.
Cita-cita menjadi seorang fisikawan memang cenderung problematis. Tapi entahlah – semenjak semester empat ini – aku selalu di dorong oleh cita-cita itu. Dan aku yakin, aku bisa mewujudkannya. Apakah keyakinan ini hanya ilusi, halusinasi, atau mimpi buruk, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah bahwa, aku yakin kelak bisa menyumbangkan sesuatu dalam ilmu ini. Meskipun saat ini aku masih belum menguasai sedikit hal dalam topik-topik fisika, tapi aku yakin aku akan jadi seorang fisikawan. Entahlah, sekali lagi, aku tidak paham dengan keyakinan ini. Mungkin teman-teman kelasku akan tertawa seandainya tahu cita-cita dan keyakinanku ini.
Mereka barangkali akan berkata, “bagaimana mungkin orang paling bodoh di kelas dan terbelakang penalarannya seperti fakih memiliki impian sebesar itu…?!”
Aku memang mahasiswa paling bodoh di kelas. Tidak memiliki dasar yang kokoh dalam fisika dan matematika. Pemahamanku, ingatanku, logika dan penalaranku, mungkin lebih rendah ketimbang teman-teman kelasku. Aku akui, mereka sudah jauh di depanku pemahaman fisikanya. Aku sangat bukanlah apa-apa dibanding mereka semua.
Tapi semenjak hari ini, semester ini, aku pikir hari masihlah panjang untuk mengejar mereka. Masih banyak waktu buatku untuk belajar keras. Aku kira, tak ada kata terlambat untuk hal ini. Bagaimanapun rendahnya kualitas otakku, keras kepala dalam belajar adalah jalan yang tidak boleh tidak harus aku lalui. Semoga dengan cara ini, aku bisa menyaingi mereka, atau bahkan melampaui mereka. Semester IV ini, ya, pada semester IV ini, semuanya akan berawal. (Teman-teman, maaf kalau aku terlalu arogan).
Tuhan, angkatlah hambaMu ini dari jurang kebodohan. Berikanlah kepadaku kekuatan pemahaman, kekuatan ingatan, ketajaman penalaran, ketetapan hati, kegigihan dan keistiqamahan dalam belajar. Tunjukkan dan bimbinglah aku ke jalanMu.
Jogja, 21/05/2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar