(Bagian Pertama)
Aku adalah penyuka musik, setidaknya sejak aku paham bagaimana musik adalah bagian instrumen jiwa yang paling hakiki. Ini terjadi saat aku masih kelas empat (IV) SD. Waktu itu, buatku, tak ada waktu luang untuk tidak mendengarkan musik, baik dari radio atau type recorder. Aku, biasanya, sehabis sekolah, langsung ke rumah paman untuk mendengarkan musik – maklum, di rumah aku tidak punya alat elektronik. Kini pun, ketika ada waktu luang, sering aku datang ke kost teman – sebab di kos aku tidak punya komputer – untuk sekedar mendengarkan musik-musik kesukaanku.
Akibat dari hobi itu, sering aku merasa bahwa musik adalah catatan harian lain dalam hidupku. Aku tidak bisa lepas darinya, seperti juga aku tidak bisa lepas dari buku catatan harian yang ke manapun aku pergi pasti selalu aku bawa. Dengan aku bernostalgia dengan musik-musik yang dulu pernah menjadi kesukaanku, dengan itu pula aku bisa bernostalgia dengan masa laluku.
Seperti sekarang ini, aku sedang menikmati lagu-lagu Malaysia yang pernah populer tahun-tahun 90-an, aku menjadi ingat masa kanak-kanakku, masa-masa bahagia ketika masih SD dulu. Lagu-lagu dari group band Slam, Exist, Sultan, Iklim dan lainnya adalah seraut kisah catatan masa kecil yang sangat mengesankan bagiku.
1
Aku ingat, setidaknya kelas IV-VI SD, aku adalah pembantu setia pamanku, Nom Hosin, dalam mengadu merpati. Waktu itu aku sangat menyukai aduan merpati. Aku menjadi seorang pangocol merpati punya pamanku. Sekali ngocol aku dibayar, kalau tidak salah, Rp. 500. Aku sudah bahagia dengan bayaran sekecil itu. Pikirku, tidak apa-apa bayaran kecil, yang penting aku bisa beriang-riang dengan teman-teman kecilku yang kebetulan punya hobi sama sepertiku.
Kalau tidak di lapangan sepak bola belakang gedung sekolah, paling banter ke daerah Manggalang yang dulu dikesankan sepi dan angker oleh teman-temanku untuk melatih merpati punya pamanku itu. Tetapi yang paling mengesankan, saat aku diajak ke festival-festival aduan merpati oleh paman buat membantunya menjadi tokang pangocol. Betapa senangnya aku ketika merpati pamanku dapat juara. Selain aku bisa dapat bayaran yang agak lumayan, aku juga bisa punya banyak cerita buat teman-teman di kelas esok harinya.
Ah, kapan aku bisa bernostalgia dengan hobiku itu, dengan pamanku itu (yang sekarang hidup bahagia di desa dengan istri dan dua anaknya, yang seakan sudah tidak punya waktu lagi untuk sekedar mengulang masa lajangnya sebagai pengadu merpati handal).....!
2
Aku juga ingat, masa-masa pahitku sebagai seorang anak kecil yang malang. Dibanding teman-temanku yang lain, aku adalah anak yang paling miskin. Sehingga karenanya, sering aku menangis sendiri karena orang tuaku tidak bisa membelikanku, misalnya, sepeda atau tali addhuwan layang-layang – yang pada waktu itu terkesan mahal – karena orang tuaku tidak punya uang. Orang tuaku hanya bisa minta maaf kepadaku karena tidak bisa memenuhi permintaanku itu. Aku memakluminya, meski sesungguhnya di hatiku terasa sakitnya.
Ketika teman-temanku menikmati sepeda barunya atau mainan layang-layangnya, aku hanya bisa melihat mereka dari jauh, sendirian. Meratap diri. Menangis. Bagaimana rasanya bila aku seperti mereka?
Untungnya, teman-temanku baik kepadaku. Mereka tidak ingin aku menangis. Mereka ingin aku juga menikmati mainan miliknya. Mereka senantiasa akan mengajakku bermain bersama, ketika melihat aku sendirian melihat keriangan mereka. “Ayo, Kih, kita main bersama. Sudahlah, jangan menangis. Kamu boleh kok pinjam sepedaku (atau layanganku), dan main sepuasmu. Ayo...,” ajak mereka sambil menarik-narik tanganku yang aku kucek-kucekkan ke mataku, menghapus air mata.
Sungguh kemesraan itu tiada terkira bila aku ingat kini. Aku sangat berterima kasih pada teman-temanku itu. Tanpa kehangatan persahaban mereka, mungkin sampai kini pun aku tidak bisa naik sepeda, juga tidak bisa main layang-layang dengan baik. Kalian adalah pendekarku, kawan. Semoga kelak kita mengayuh hidup lebih sempurna.
3
Aku ingat, tiap hari minggu pagi, aku – bersama teman-teman kecilku – pergi ke pantai, sekedar untuk lari pagi. Ada pengalaman yang sangat mengesankan saat-saat seperti itu. Biasanya, kami berangkat jam lima pagi, dan sampai di pantai sekitar setengah enam. Di tengah jalan, sudah menjadi kebiasaan bersama, kami saling meledek. Kebetulan, teman-teman yang ikut tidak hanya cowok, tetapi juga cewek. Kami saling menjodoh-jodohkan di antara kami. Ada marah, ada yang kecut, ada juga yang merasa bangga. Aku biasanya kecut saja menanggapi ledekan teman-teman.
Sesampainya di pantai, kami berpencar. Sebelum itu, biasanya, kami berlari-lari kecil bersama, memperagakan senam yang sudah diajarkan di sekolahan. Lalu terserah masing-masing mau ke mana, yang penting, kami harus pulang bersama. Ada yang mandi di laut, ada yang minta ikan-ikan kepada para nelayan yang baru saja pulang berlayar, ada yang duduk-duduk memandangi indahnya pantai, ada yang main bola, ada pula yang mencari bukkol (buah-buahan pinggir pantai). Aku, bersama dengan sebagian teman, biasanya, langsung menuju semak-semak karang, mencari urmang.
Sekitar jam tujuh, kami pulang. Tetapi sebelum itu, biasanya, kami mencuri kelapa muda milik pak tani. Rudi, salah seorang dari temanku, biasanya yang jadi joki naik kelapa, sementara yang lainnya, termasuk juga aku (kebetulan aku tidak bisa naik kelapa), bertugas mengambil kelapa yang sudah dipetik dan ada sebagian yang bertugas membelahnya (dengan diantukkan ke batu). Kelapa muda itu kami nikmati bersama. Sekali waktu, ada pengalaman yang mengesankan. Kami ketahuan pak tani. Ia marah kepada kami. Kami hanya menunduk gemetar mendengar cerocosnya. Karena mungkin kami masih kanak-kanak, urusannya sebatas itu. Setelah itu, kami bisa pulang. “Untung kita tidak dipukul olehnya,” ujar si cewek-cewek.
Esok harinya, hari senin, aku membawa urmang-urmang itu ke kelas, menjualnya ke teman-teman, adik kelas, juga kakak kelas. Tiap hari senin, aku memang punya langganan. Kalau aku tidak bawa urmang, biasanya ditanya oleh para pelangganku itu. Satu urmang dihargai sekitar Rp. 100-Rp. 300. Hasilku tergantung banyaknya urmang yang aku bawa. Tetapi rata-rata tiap hari senin, aku komulatifkan, hasilnya bisa sampai Rp. 3000-Rp. 4000. Uang itu simpan atau aku belikan buku tulis, potlot, stip, dan barang-barang kebutuhan sekolah lainnya. Tetapi seringnya, aku kasihkan kepada ibu. Sebab, aku sering kasihan pada beliau. Buat uang belanja ke pasar tiap hari, sering beliau harus pontang-panting cari hutangan ke tetangga.
Teman-teman, kapan-kapan kita ke pantai bersama lagi ya....meski di antara kalian sudah ada yang menikah. Aku ingin kembali menikmati keriangan kita dulu itu...
4
Kalau di antara kami ada yang sakit, seluruh anak harus menjenguknya. Itu sudah keputusan dari Pak Solehoddin (guruku waktu kelas V dan VI). Ide itu pertama lahir dari usulan teman-teman kelasku. Sampai beberapa tahun kemudian, ide itu terus dilestarikan oleh adik-adik kelas kami. Sekarang, entahlah, apakah kultur itu masih ada atau tidak. Tetapi semoga masih ada, karena aku rasa kultur itu penting demi penguatan tali persahabatan di antara anak-anak – sesuatu yang dibutuhkan di era yang telah mulai melunturkan kultur-kultur semacam itu.
Biasanya, sehabis pelajaran, sekitar jam satu siang, kami bersama-sama berangkat ke rumah salah seorang teman yang sedang sakit. Kami sumbangan membeli oleh-oleh (biasanya berupa gula, pisang dan jajan-jajan kecil) untuk teman yang sedang sakit itu. Senda-gurau kami di tengah perjalanan adalah keriangan yang tiada terkira, sesuatu yang tidak aku dapatkan saat ini. Saling meledek di antara kami telah menjadi budaya yang sulit dikubur. Terasa hampa bila kami tidak saling meledek satu di antara yang lain.
Setelah sampai di rumah teman yang sakit, kami disambut dengan bahagia oleh keluarga di sana. Kami langsung disuguhi minuman dan makanan. Senda-gurau masih bertahana di antara kami. Sehingga, dan ini sangat sering terjadi, senda-gurau kami yang kadang keterlaluan itu membuat teman yang sedang sakit itu merasa terhibur, dan keesokan harinya sudah sembuh. Akhirnya, ia bisa berkumpul kembali dengan kami mengikuti pelajaran Pak Saleh.
Sekedar catatan, teman kelasku yang sering dijodoh-jodohkan denganku – baik di sekolahan maupun ketika kami berkumpul di luar jam sekolah, lebih-lebih ketika sedang dalam perjalanan ke rumah teman yang sakit – Vera Yuli, tahun kemarin (2008) meninggal dunia. Ia meninggal saat melahirkan anak pertamanya. Kebetulan waktu itu aku ada di Jogja. Aku terenyuh mendengar berita itu dari teman-teman. Aku sedih, seharian mengurung diri di kos: merefleksikan kembali tali persahabatan yang dulu sempat kami rajut dengan luar biasa bahagianya.
Yuli, maafkanlah segala kesalahanku, baik yang aku sengaja atau yang tidak aku sengaja. Maafkanlah temanmu ini yang tidak bisa melayat ke rumahmu, tidak bisa berada di sampingmu ketika kau sedang menghirup nafas terakhirmu. Semoga persahabatan kita tetap kekal, meski kau sudah tiada. Semoga di surga kelak, kita dapat lagi merajut kebahagiaan bersama dengan teman-teman yang lain. (06 November 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar