Tadi malam (Rabu, 12 Januari 2011) akhirnya ibu berangkat ke Malaysia. Kabar ini sangat mendadak. Kemarin sore aku baru diberitahu menganai keberangkatan itu. Padahal kemarin lusa aku telpon beliau belum memastikan kapan mau berangkat. Seketika aku mendengar beliau berucap, "Nak, nanti malam ibu berangkat ke Malaysia. Doakan ibu ya, nak, doakan" dengan suara serak menahan tangis, dadaku tiba-tiba penuh dengan kesedihan. Air mataku menetes tak terasa. Sore yang indah jadi suram seketika. Sesuatu yang paling tidak aku kehendaki, yakni ibuku kerja di tempat jauh - apalagi di luar negeri - akhirnya terjadi pula. Takdir memang kerap kali tidak seperti yang kita inginkan. Rencana Tuhan jauh dari perkiraan manusia. Aku merasa betul-betul rapuh di hadapan nasib.
Ibu pergi ke Malaysia dengan satu tujuan: jadi TKW (Tenaga Kerja Wanita). Keputusan itu sebenarnya sungguh sangat terpaksa. Hutanglah yang menuntut ibuku pergi ke sana. Kemiskinan memang sering kali memaksa diri mengambil langkah-langkah yang tidak kita kehendaki. Tapi mau apa lagi. Di rumah ibu hanya kerja sebagai tukang pijat anak kecil dan ibu-ibu. Hasilnya tidak seberapa, hanya cukup untuk makan. Sementara kebutuhan ibu sangat besar: arisan yang tiap bulan rata-rata 500 ribu, biaya adik sekolah dan tetek-bengek lainnya. Jadi kerja ibu di rumah hanya ngutang, ngutang dan ngutang. Serasa tiada hari tanpa ngutang. Ketika aku pulang ke rumah sangat miris melihat ibu yang menangis karena seharian cari hutangan tidak dapat-dapat. Kadang sampai-sampai beliau tidak makan. Apalagi tiap hari berdatangan orang-orang ke rumah untuk menagih hutang. Keluh-kesah ibu kepada mereka membuat hatiku menangis. Keluargaku secara turun-temurun memang begitulah: miskin semiskin-miskinnya.
Sebenarnya keinginan ibu jadi TKW di Malaysia sudah dari dulu, tetapi selalu tidak aku perbolehkan. Aku pikir beliau lebih baik kerja di rumah atau setidak-tidaknya jadi pembantu di kota. Sudah dekat rumah, ibu masih bisa menyempatkan diri berkumpul bersama keluarga. Tetapi kerja semacam itu tidak gampang didapat. Ada satu-dua informasi, tetapi selalu tidak sesuai dengan keinginan ibu. Akhirnya ibu tetap bertahan di rumah.
Kalau ibu kerja di luar daerah, aku kasihan sama adik dan nenekku yang sudah tua itu. Siapa kemudian yang akan mengurus mereka. Ketika aku masih kelas 2 SMA, ibu pernah setahun kerja di Bandung dan Jakarta, jadi PRT (Pembantu Rumah Tangga). Tujuan beliau ialah untuk mencari biaya kuliahku. Padahal sudah aku cegah, tetapi beliau selalu mengatakan, "Ayahmu sebelum meninggal dulu berpesan sama ibu supaya ibu mendukung kamu untuk mencari ilmu sampai setinggi-tingginya. Ayahmu ingin kamu jadi orang berilmu, tidak seperti kita yang bodoh. Untuk memondokkanmu saja ayahmu bekerja tanpa kenal waktu untuk mencari biaya, sampai-sampai beliau jatuh sakit dan meninggal dunia. Sudikah aku mengabaikan wasiat ayahmu itu? Sudahlah, Insyaallah ibu tidak akan kenapa-kenapa di sana. Kamu jangan khawatir. Doakan saja ibu semoga selamat dan sukses." Ketika itu aku tidak dapat berkutik lagi. Akhirnya dengan berat hati aku mengizinkannya.
Aku pikir kerja di dalam negeri masih lumayan. Tetapi sekarang di Malaysia, jadi TKW lagi. Aku jadi sangat khawatir. Soalnya sudah bukan rahasia umum lagi kalau TKW di Malaysia sering diperlakukan tidak becus oleh majikan-majikannya. Tetapi aku tidak kuasa dengan keluh-kesah ibu yang sering diburu-buru oleh para penagih hutang. Ketika curhat tentang kondisi hutang dan kondisi perekonomian di rumah yang amat melarat, kerap ibu tidak bisa menahan tangisnya. Setengah memohon beliau meminta aku mengizinkannya. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Serba dilema. Maka akhirnya, sekali lagi, dengan berat hati aku izinkan.
***
Ibuku adalah orang yang sangat luar biasa. Beliau adalah pahlawanku, inspirasiku, tempat kasih-sayangku dikembalikan. Beliau sangat perkasa. Beliau seorang diri membiayai keluarga. Selama sepuluh tahun ayah meninggal, selama itu pula ibu memikul beban yang tidak berat. Di tengah kondisi kemiskinan keluarga yang amat rentan, dengan tegar ibu menghadapinya. Beliau sangat ulet, tidak pernah mengeluh dalam bekerja. Kerja apa pun beliau kerjakan, bahkan kerja sebagai kuli tani sampai kuli bangunan serta jadi pemulung di desa sendiri. Tanpa kenal lelah beliau bekerja menafkahi kami, menyekolahkan adik, membiayaiku mondok, menanggung segala keperluan nenek dan mengurus pertanian seorang diri. Bayangkan, seorang wanita yang menanggung tugas sedemikian berat itu. Sungguh aku bersyukur kepada Allah bahwa aku dilahirkan dari rahimnya.
Sudah aku usulkan kepada beliau supaya beliau bersuami lagi. Bukan untuk maksud apa-apa, tetapi karena aku merasa sangat kasihan sama beliau menanggung beban seorang diri. Tetapi dengan berbunga-bunga berkata, "Ibu masih kuat, nak. Kamu jangan khawatir. Asalkan kita berusaha dan tawakkal kepada Allah, Insyaallah kita bisa mengatasi kesulitan ini. Allah tidak akan menyianyiakan perjuangan hambanya. Lagipula ibu tidak berpikir mau bersuami lagi. Ibu masih cinta sama ayahmu. Apa kamu tidak kasihan sama ayahmu kalau sampai ibu bersuami lagi? Seluruh cinta-kasih ibu sudah ibu curahkan sama ayahmu. Ibu merasa beliau masih hidup, memberi dorongan dan semangat kepada ibu dalam berusaha mengatasi keterjepitan hidup kita."
Yang sangat diberatkan oleh beliau adalah pendidikanku dan adikku. Kata beliau, jangan sampai putus di tengah jalan. "Biarlah ayah dan ibu yang bodoh, nak. Kalian harus jadi orang 'alim dan bijaksana. Ayah dan ibu kelak mau berteduh di bawah ilmu kalian. Ibu selalu berharap, meski amal-amal ayah dan ibu di dunia tidak dapat menjadikan ayah dan ibu ahli surga, semoga dengan pengorbanan ibu mendukung kalian mencari ilmu, ayah dan ibu jadi terangkat ke surga. Makanya, belajar yang rajin dan mengabdilah kepada Allah dengan sebaik-baiknya," katanya.
Makanya dengan cara apa pun, ibu berusaha membiayai pendidikanku dan adikku. Meski sekarang aku mandiri - dan aku memang tidak ingin dikirim oleh beliau - selalu beliau memaksakan diri mengirim uang kepadaku walaupun jumlahnya sedikit. Terhadap adik juga begitu. Adik yang orangnya suka ngeyel, manja dan pemalas, tidak luput dari kasih-sayang ibu. Dengan kesabaran yang barangkali tak ternilai dengan bijaksana beliau menyadarkan adikku sedemikian sehingga kini semangat keilmuan adikku tumbuh sedikit demi sedikit. Adikku termasuk orang yang cerdas, malah lebih cerdas ketimbang aku. Barangkali lewat kegigihan ibulah dalam mendidik adikku sehingga dia menjadi begitu.
Kami sangat menyayangi ibu. Beliau bagai jantung bagi hidup kami. Kini beliau ada di negeri jauh yang tidak dapat kami jangkau. Oleh karenanya aku memasrahkan sepenuhnya kepada Allah, Tuhanku tercita. Kami berdoa semoga dengan jadi TKW di Malaysia Allah memuliakan ibu. Semoga jalan beliau ini diridhai oleh Allah. Semoga beliau dilindungi dari marabahaya, dari terputusnya iman, islam dan ihsan, dari segala yang akan membuatnya menderita di negeri sana. Semoga beliau berbahagia dan tergapai cita-citanya. Amin ya Robbal 'Alamin.***
Jogja, 13 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar