Buk Suhaena adalah mbak sepupuku. Sekarang (2011) umurnya 31 tahun. Tapi dia tidak menikah. Entahlah, aku kasihan padanya bila sampai beberapa tahun kemudian dia juga tidak menikah. Padahal, Mak Enna – emaknya – sudah ingin menimang cucu; Mbuk – nenekku – ingin menimang cicit; dan aku juga ingin menimang keponakan. Aku selalu berdoa, semoga Allah segera memberikannya jodoh yang baik dan sholeh.
Dulu semasih aku kanak-kanak, sering aku bertengkar dengannya, tetapi bukan karena aku tidak menyayanginya. Aku sangat mencintainya. Dialah mbakku yang paling aku cintai. Ketika aku kelas dua SD, dia yang mengajariku membaca buku, menulis tegak bersambung, menghafal perkalian 1 sampai 10. Dan setelah aku di Jogja, mengarang beberapa buku dan bisa hidup mandiri, dia sangat bangga kepadaku. Diceritakannya aku kepada teman-temannya. Dipuji-pujinya aku setinggi langit. Bukan karena telah ”dipromosikannya” aku kepada orang lain yang membuatku terharu, tetapi karena aku tahu bahwa ini adalah bukti betapa sebenarnya dia sangat menyayangiku meskipun sikapnya kepadaku sangat dingin, bahkan terkesan keras.
Pada sekitar tahun 1999 dan 2000-an, mbakku menyukai acara atensian dan dangdutan di radio Pesona 2000. Acaranya siang, sehabis dhuhur. Saat-saat seperti itu aku sudah pulang dari sekolah (SD). Aku selalu diajaknya mendengarkan radio bersama. Awalnya aku tidak mau, tetapi setelah lama-kelamaan akhirnya aku turut menyukai acara itu. Ini pula yang membuatku pada saat-saat setelah itu banyak menyukai acara-acara radio.
Dia mengatakan kepadaku bahwa dia banyak hafal lagu dangdut, dan mengejekku karena tak satu pun lagu dangdut yang aku hafal. Maka aku pun merengek-rengek untuk diajari lagu dangdut. Dan dia sangat antusias sekali. Aku masih ingat, dan mungkin tidak akan pernah kulupa, lagu dandut pertama yang diajarinya kepadaku adalah karya pedangdut daerah, Firmansyah, yang judulnya telah aku lupa. Beginilah lagunya:
Yang manakah, yang mana harus kupilih
Untuk kumiliki, untuk kumiliki, selamanya (2x)
Ni..wes-wes-wes ni
Bhelerhek kalare tarebung manyang
Beres mare tedung nyaman
Beres mare tedung nyaman
(Reff)
Ingin kutepis kenyataan ini
Sampai tiada rasa bimbang lagi
Hanya satu cinta yang kudambakan
Impian asmaraku tak ingin terbeli
Ingin kumiliki, ingin kumiliki
Dia, untuk selamanya
Ketika kunyanyikan lagu itu, bahkan hingga kini, yang tergambar di kepalaku adalah wajahnya, kenangan-kenangan bersamanya yang sungguh luar biasa indah. Tidak hanya lagu, dia pun mengajariku main remi, dom, tebak-tebakan, lagu Madura, dan banyak mainan lainnya. Kalau punya pacar, dia pasti memperkenalkannya kepadaku. Dia membanggakan aku di depan pacarnya.
Dia pula yang mengajariku bagaimana mengarit rumput yang benar, menyuruhku untuk mencuci sendiri baju-bajuku yang sudah kotor, membantuku menyelesaikan PR sekolah, memarahiku jika aku berbuat kesalahan, menyuruhku untuk mengaji dan sekolah yang benar, memberikanku banyak bayangan yang indah tentang masa depan, dan sebagainya-dan sebagainya. Ketika aku sedang bertengkar dengan temanku, aku selalu mencurhatkannya kepadanya. Pokoknya, she is the best my sister!
Tetapi ini hanya kenangan. Ya, hanya kenangan semata. Setelah aku pulang ke Madura, aku tidak akan melihatnya lagi. Dia tidak akan lagi menemaniku bercerita banyak hal tentang perjalanan hidupku di Jogja. Dia tidak akan lagi mengajakku mengarit rumput, mengajariku menanam padi, mengajakku merawat tembakau dan mendengarkan acara dangdutan di radio. Dia tidak akan lagi marah-marah padaku bila aku berbuat salah.
Ya, sudah sekitar seminggu dia meninggalkan rumah. Dia sekarang jadi TKW di Malaysia. Tujuannya satu: untuk membayar hutang-hutang emaknya yang sudah menumpuk. Kata bibiku (mak Enna), dia akan kembali ke Madura setelah masa kerja kurang-lebih dua tahun. Aku kaget mendengarnya. Bukankah dia berjanji kepadaku bahwa dia akan menemani wisudaku nanti? Lalu siapa yang akan mendengarkan cerita-ceritaku ketika aku pulang ke Madura? Siapa pula ketika pagi-pagi akan memarahiku dan mengajakku pergi ke sawah biar kerjaanku tidak hanya tidur saja?
”Buk,” kataku ketika dia hampir berangkat ke Malaysia. ”Seandainya aku kaya, akan kuajak kau tinggal di rumahku. Akan kubantu kau membayar hutang-hutangmu. Akan kucarikan kau jodoh, biar tugasmu sebagai tulang-punggung keluarga tidak seberat ini. Aku sebenarnya tidak ingin kau pergi jauh dari rumah. Kasihan sama mak Enna yang penyakitan begitu, adikmu juga masih kecil-kecil dan bapakmu sudah tua. Siapa lagi kalau bukan kamu yang akan mengurus mereka.” Dia hanya menangis dan berkata, ”Sudahlah, dik, aku minta doamu saja. Hentikan omelanmu itu!”***
(05 April 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar