Kamis, 01 Mei 2008

(28 Maret 2008)

Aku juga tak tahu, mengapa siang ini (15.01) begitu mencekam. Bukan perasaan takut karena setelah aku bangun tidur ternyata tidak ada orang-orang kecuali Fathollah yang juga tidur di sisiku, melainkan karena tiba-tiba, sejenak aku bangun, masa lalu bagai angin malam, memukul-mukul ingatanku. Aku serupa anak kecil yang diperlihatkan kepadaku oleh waktu berbagai pernak-pernik mainan hidup: sejumlah mainan yang pernah aku jalani dan rasakan.

Kesunyatan selanjutnya menguasai jiwaku ketika aku sedang bertamasya melihat rias halaman kantor Indeks Press dari dalam kamar. Kutatap cecabang teratai di beranda itu, semuanya, namun serasa aku tak pernah ada di mana atau melihat apa saja. Aku juga tak tahu, aku ini berada di mana. Yang kuingat bahwa di tempat ini aku telah merasakan kebosanan karena tawaran lanskap kamar dan halaman begitu terasa memuakkan. Barangkali aku sedang mengimpikan sebuah tempat, sebuah masa, sebuah kehidupan, di mana orang-orang yang aku cintai berkumpul denganku sebagaimana waktu yang sudah-sudah dulu.

Tiba-tiba saja, keinginanku untuk kembali kepada masa lalu begitu kuat. Tiba-tiba saja, masa kini ingin aku tinggalkan meski aku tahu bahwa ia adalah pertaruhanku yang sebenarnya dengan hidup. Tiba-tiba saja…..aku menangis sendiri, menikmati keterasingan.

Aku merasa seperti tidak punya siapa-siapa lagi hidup di Jogja. Itu alasan kuat mengapa aku ingin kembali ke masa lalu. Karena di sana aku dapat berkumpul bersama ayah, ibu, nenek, kakek, adik, paman, bibi, teman-teman masa kecil, semuanya. Di sana aku bisa menikmati hidup dan tidak malah melawan kegetiran seperti di sini, di Jogja. Di masa lalu itu barangkali tidak pernah aku rasakan kegetiran hidup, kesedihan, pengorbanan, kedekilan, perasaan yang tidak menentu, dan apa saja yang kerap menjengkelkan. Aku bisa senang hidup bersama keluarga yang sangat aku sayangi dan, bagitu, tidak ada duanya itu.

Aku sangat merindukan belaian tangan ayah meski keras serupa batu. Aku tidak akan membencinya hanya karena beliau sering memukul dan memarahiku. Seandainya kini beliau ada, akan aku katakan kepadanya bahwa aku merindukan bentakannya, pukulan-pukulannya, wejangan-wejangannya, meski aku harus menahan rasa sakit hati. Aku cukup bahagia bahwa beliau adalah seorang nelayan dan petani yang tangguh. Aku tidak akan malu mengatakan yang sesungguhnya kepada teman-teman kalau ayahku adalah seorang petani dan nelayan. Aku bangga dengan kehidupan ayahku yang seperti itu. Aku sangat mencintainya bahkan melebihi masa depanku. Aku berani mengorbankan apa saja demi membahagiakan beliau.

Demikian juga dengan ibu. Dialah seorang yang ulet, gigih, tajam. Matanya selalu nyalang meradang masa depan anak-anaknya. Seperti bahwa hidupnya murni buat kebahagiaan anak-anaknya. Beliau rela berkorban jiwa-raga, seperti menjadi PRT di Jakarta misalnya, demi kesuksesan anak-anaknya. Dia adalah seorang ibu yang tangguh dalam memegang pesan ayah supaya aku dan adik disekolahkan ke jenjang tertinggi. Karena itu aku sangat menyayanginya. Aku ingin selalu didekatnya, membantu dia bekerja atau sekedar membuatnya bahagia, tetapi apa daya kini aku mesti menjalankan cita-cita ayah supaya aku kuliah di sini, di Jogja.
Karena itu, saat ini aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa akan aku tunjukkan kepada mereka bahwa mimpi-mimpi mereka agar aku jadi “orang besar”, yaitu orang yang berbakti kepada bangsa dan negaranya bukanlah pengandaian yang utopis. Akan aku kibarkan Merah-Putih dengan rasa bangga dan kepala tegak, kemudian berkata lantang kepada mereka, “Demi kalian, demi negeri tumpah darah ini, kupersembahkan jiwa-raga sepenuhnya!”.

Tidak ada komentar: