Kamis, 01 Mei 2008

BUNDAKU YANG LUAR BIASA

Namanya aslinya Maya Veri Oktavia, dan saya beserta teman-teman pondok biasa memanggilnya Bunda Maya. Dia adalah istri tercinta Gus Zainal Arifin Toha, seorang guruku yang paling aku takzimi, hormati dan sayangi, karena jasa-jasa beliau terhadap masa depanku tidak dapat dibandingkan dengan segala sesuatu. Pada 14 Maret 2007 kemarin beliau berpulang ke rahmatullah dengan bekal yang aku kira sangatlah cukup. Yang ditinggalkannya “pergi” bukan hanya keluarganya, tetapi juga para santri pondok yang sedang dirintisnya beserta juga orang-orang yang sangat mencintainya.

Awalnya aku mengira bahwa Bunda Maya tidak akan mengurusi kami lagi, dengan alasan karena beliau masih mengandung anaknya yang ke lima, mengurusi semua anaknya yang rata-rata masih kecil, juga karena beliau seorang wanita muda (kira-kira umur 28 tahunan) yang tak pantas hidup sendirian tanpa adanya seorang suami. Barangkali beliau akan pulang ke Kediri dan hidup bersama keluarganya di sana. Karena aku pikir, “Ngapain di Jogja kalau hanya untuk menemani kami yang terkadang tak tahu diri ini!”.

Tapi ternyata perkiraanku itu meleset dan sama sekali tidak benar: Bunda Maya masih sudi menemani kami menatap masa depan di Jogja dan pula sudi meneruskan riwayat pondok yang selama bertahun-tahun dirintis oleh Gus Zainal ini. Keteguhan sifat dan sikap yang dijarkan oleh Gus Zainal, betul-betul telah mengakar dalam jiwa Bunda Maya. Seakan-akan beliau rela mengorbankan diri dan kehidupannya hanya demi kami. Beliau tak ada bedanya dengan Gus Zainal: “keras kepala” terhadap kebahagiaan orang lain. Kedua orang yang sangat aku cinta-kasihi ini merupakan pasangan unik yang selalu mengabaikan dunia dan kehidupannya di bawah dunia dan kehidupan orang lain. Sifat dan sikap kesalehan sosial keduanya barangkali adalah yang tertinggi selama yang dapat kuketahui.

Mengenai Bunda Maya, terkadang aku merasa iri. Beliau sangat luar biasa berspekulasi dengan kehidupannya. Demikian juga aku kira beliau bukanlah wanita dalam pengertian biasa. Jiwa maskulinitasnya sangat dominan, tetapi bukan dalam artian bahwa beliau itu tomboi. Dikatakan beliau sangat maskulin ialah karena ketabahannya dalam hidup. Kehidupan, bagi beliau, tak ubahnya srigala yang akan sulit ditundukkan jika tidak dilawannya dengan gigih. Hidup menjadi tak berarti, seperti ilustrasi ini, apabila seseorang hanya tunduk dalam tikaman srigala yang mematikan itu.

Barangkali seorang wanita yang masih muda, tanpa suami, dengan lima anak yang kesemuanya belum baligh, berada di rantau orang, akan memutuskan untuk kembali ke desa kelahiran agar dia bisa berkumpul lagi bersama keluarga dan ada yang mengurusnya jika suatu hal yang tidak diinginkan sedang melanda diri dan anak-anaknya. Atau dalam waktu dekat (pasca-melahirkan atau pasca-iddah dalam ketentuan syari’at Islam) dia akan mencari laki-laki lain untuk menjadi pendamping hidupnya.

Tapi keputusan semacam ini sama sekali tidak diinginkan oleh Bunda Maya terjadi pada dirinya. Beliau lebih memilih hidup bersama kelima anaknya di sebuah rumah mungil agak kusut yang aku kira begitu menyedihkan untuk ukuran beliau. Bunda Maya memilih untuk hidup di Jogja daripada harus pulang ke Kediri untuk mengurus kami dan semua temen-temen Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’arie. Kami sangat berhutang budi, moral, sifat dan sikap arif, serta material kepada beliau. Beliau begitu luar biasa - hanya itu kata-kata yang pantas untuknya. (30 Maret 2008).

Tidak ada komentar: