Kamis, 01 Mei 2008

DALAM BELUKAR IDENTITAS

Malam itu (selasa), aku semakin tak tahu dengan diriku sendiri: aku telah mengandaikan Fakih ‘yang lain’ – dan itu sesungguhnya tak kuinginkan. Aku sering bertanya-tanya, kenapa bayang-bayang Fakih ‘yang lain’ itu terus memburuku, padahal jati diriku – dan telah aku katakan padanya – terus saja menolaknya. Apakah keinginan yang termanifestasi oleh pengandaian dan bayang-bayang terlahir dari fikiran dan jati diri adalah rupa asali dari aku? Bagaimana mungkin ‘pertarungan’ itu dapat terjadi, sedang aku menolaknya? Aku tak tahu mengapa aku harus merasa bahagia dengan pengandaianku itu? Aku juga tak tahu, mengapa aku harus berandai, sedang aku sudah lama ingin segera menjadi diriku sendiri, Fakih yang sesungguhnya?

Ah, aku benar-benar bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam diriku, pengandaian, jati diri, dan keinginan, baku-hantam satu sama lain. Dalam ‘pertarungan’ ini, sepertinya aku adalah manusia karnavalia memuakkan; manusia yang belum menemukan jati dirinya. Aku merasa ke-diri-anku, dari waktu ke waktu, dari kecil hingga saat ini, terus berubah. Dan itu aku yakin karena tekanan lingkungan. Aku belum membenarkan, bahwa lingkungan itu bukanlah entitas yang urgen dalam membentuk suatu karakter. Baik karakter hewan, tumbuhan, apalagi manusia, akan selalu tergantung pada ruang di mana mereka hidup. Seperti halnya seleksi alam-nya Carles Darwin, bahwa lingkunganlah sesungguhnya yang menyeleksi manusia, baik secara fisik maupun non-fisik. (26 Desember 2007).

Tidak ada komentar: