Ibu, adakah kau merasakan pagi selengang ini?
Angin Adha mengalun lirih dari tiris langit, menawarkan kesejukan di ubun-ubun, menyeka dada dengan tangannya yang lembut dan gemetar. Saat kuraba tubuhnya, kuperikan mimpi masa lalu yang tadi hadir dengan seribu bayang tentang kekalahan, kerinduan, keterasingn, kesenyapan, tentang apa saja yang memuakkan.
Saksikan hari ini aku menangis ibu, setelah kutahu ruang yang kutiduri bukan kamarku, dan orang yang memanggil-manggil namaku bukan suaramu. Aku bangun dengan segenap keringkihanku sendiri. Aku bangun dengan segenap kekalahan, ketakberdayaan.
Berwudu di jeding orang lain membuatku meratap kesejukan sungai Kerta Jaya yang sejuk, indan dan permai, serta ramai oleh celotehan para tetangga kita yang sedang mandi bersama.
Apa yang harus kubayangkan bila hari ini aku tak dapat menghirup aroma desa di pagi buta, berjalan menyusuri sawah, menyeka rumpun ilalang untuk sampai ke makam ayah, dan mencium bau kamboja di sana, betapa sungguh aku merasa terasing. Aku tahu hari ini adalah hari esok dan bukan hari kemarin, tetapi bagaimana mungkin aku tak menangis jika lebaran pagi hari ini, telingaku tak puak oleh bentakanmu yang terkadang menjengkelkan itu ketika aku sulit bangun; ocehan adikku tersayang yang terkadang membuatku jengkel; desah nenek dari dapur yang kecapaian karena semalaman sibuk menyiapkan pernak-pernik masakan. Aku bangun seorang diri, ibu, tanpa seorang kawan. Apakah kau di sana juga merasakan penderitaanku ini?
Kadang aku mengerti bahwa pengor banan seperti pantai bagi lautan. Tapi tahukah kau, ibu, kerinduan itu tak dapat tertebus oleh apa saja. Hari ini aku rindu segalanya tetek-bengek rumah. Aku ingin berkumpul bersama kalian, bersenda gurau dengan kawan-kawan, berangkat ke masjid dengan baju anyar, dan bersalam-salaman ke segenap orang.
Seandainya sekarang aku ditakdirkan beridul adha di rumah, aku tidak akan ngeyel lagi untuk berangkat ke rumah kakek. Aku akan bersemangat mengajak adik dan berkemar diri segera, kemudian dengan sumringah akan menyetop mobil buat kita ke Ambunten. Aku tidak akan menyesal karena hari itu tidak memakai motor. Aku tidak akan lagi merasa gensi ibu karena kita miskin. Rasa gengsi kepada Siska terlebih dulu akan kubuang jauh-jauh. Yang kuharapkan hanya belaian tanganmu di ubun-ubunku, serta tawamu terhadap kebodohanku akan hidup. Itu saja. (Idul Adha, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar