-->
Pada sebuah ashar akar musim kemarau, aku terlahir ke dunia (Selasa, 8 Maret 1988) – dengan nama pemberian almarhum ayahku (Asyikurrahman), Ahmad Ali Faqih. Kelahiran itu adalah sejarah hidup pertamaku. Selama sembilan bulan bertapa di rahim ibu (Rusipa) – seorang yang kelak kukatakan sebagai “cahaya yang tak berlentera” itu – aku jadi tahu apa arti waktu.
Menurut penuturan ibu, tangisku lamat-lamat terngiang, memekikkan penderitaan hidup yang hendak aku jalani di hari depan. Kisahnya, aku adalah bayi sareang yang cukup sehat dibanding dengan bayi-bayi lainnya, walau tanpa asupan vitamin dan gizi yang sempurna.
Tanda kelahiranku, berwarna bening hitam, terletak di sisi dalam pangkal paha kanan. Ari-ariku ditanam di sebelah kanan depan rumah – rumah kuno khas Madura kesayanganku itu. Aku terlahir sebagai laki-laki dan karenanya tugas seorang ayah tersemat di pundakku.
Kehadiranku di dunia untuk kali pertama telah menjadi kebahagiaan seluruh keluarga; sebuah keluarga yang telah turun-temurun dijerat kemiskinan, sebuah keluarga yang tak pernah berdendang lagu afia (kebahagiaan) – sebuah lagu yang kelak ingin kunyanyikan untuk mereka. “Tahukah kau Sareang-ku, betapa telah lama kau kunantikan. Dan hari ini kami adalah keluarga yang sangat berbahagia di dunia,” mungkin itulah kata-kata yang diucapkan oleh ayah dulu.
Beliau mengisahkan bahwa aku sempat sakit berkepanjangan, kira-kira berumur belum satu tahunan. Dalam dunia mistik orang madura – sebagaimana yang tercetak dalam beberapa buku tentang Madura, juga dalam buku Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura yang terbit Maret 2007 ini – bahwa persoalan nama dapat menghambat apa saja dalam diri seorang anak, dan dapat juga sakit, karena namanya tidak cocok. Maka dengan jalan inisiatif seperti itu ke dua orang tuaku mengubah namaku – tetapi tidak dari segi arti dan tujuan nama itu dibuat – dengan nama Muhammad Ali Fakih. (Dalam ijazah maupun akte kelahiran tertulis Moh. Ali Faki). Sekarang kuubah (kutambahi) lagi, sebagai nama pena dan nama sepanjang masa, yaitu Muhammad Ali Fakih AR, (AR adalah kepanjangan dari nama orang tuaku, yaitu alm. Asykurrahman dan Rusifa).
Aku adalah bayi yang manying, hingga sampai air mataku sempat kering. Ini barangkali adalah bukti bahwa suka-derita hidup telah menanti kehadiranku di dunia yang penuh teka-teki ini.
Aku tumbuh besar dan sehat, walau batapa yang ia makan dan minum sangatlah jauh dari kelayakan umum. Kedua orang tuaku sangat bahagia ketika aku memperoleh apa yang sebelumnya tak pernah dikira: juara balita sehat se-Kecamatan Dasuk. (Sertifikat itu masih kuabadikan hingga sekarang). Perkembanganku sangat pesat. Dalam dada orang tuaku kemudian terserak harapan yang diluncurkan; “inilah sang buah hati yang bakal meneruskan perjuangan dan cita-citaku”.
Kira-kira umur lima tahunan, kata ibu, aku merengek minta untuk di sekolahkan. Padahal pada waktu itu (sekitar bulan Juli 1993), jarang anak-anak seusiaku yang sekolah. Tapi karena keinginanku yang kuat, kedua orang tuaku tak dapat membendungnya. Maka diambillah inisiatif untuk menyekolahkannya, meskipun ro’noro’ babhang. Ibuku memang sudah minta kepada bapak kepala sekolah, Suwito, untuk tidak menaikan kelas, lantaran aku masih terlalu kanak-kanak. Pada tahun itu pula aku resmi jadi siswa Sekolah Dasar (SDN Kerta Timur Dasuk Sumenep Madura).
Setahun aku tak naik kelas (kelas satu) lantaran memang permintaan dari orang tua. Padahal waktu itu aku peringkat delapan, suatu peringkat yang tak beralasan untuk tidak dinaikkan. Bahkan sempat aku kalahkan kakak kelasku (kelas dua) saat lomba antar kelas dalam bidang matematika dan menyanyi. Itu suatu prestasi yang dapat aku banggakan dan menurutku adalah sebuah batu loncatan semangat di tahun-tahun mendatang.
Maka aku masih bertahan di kelas satu. Ada satu kenangan menarik yang tak pernah lekang dari ingatan. Setiap kali jam istirahat aku mesti jadi harimau-harimauan untuk menghibur teman-teman. Itu kulakukan atas keinginan untuk mendapatkan uang jajan dari teman-teman. Karena setiap anak yang merasa puas dengan penampilanku, ia harus memberiku uang. (enak juga buat jajan dan simpanan, pikirku). Maklum uang sakuku waktu itu 75 rupiah: terlalu rendah untuk ongkos saku anak sekolah. Tapi apa boleh dikata, kekuatan orang tuaku hanya segitu saja. Itu pun masih diperoleh dari banting-tulang dan keringat kuningnya dalam bertani, berjualan buah kedonong ke pasar, kuli sawah dan nelayan, yang kini ketika aku ingat kembali sungguh betapa beratnya hidup mereka.
Aku menjalani masa siswa pertama itu seperti biasa; menghibur teman-teman saat istirahat untuk mendapat uang jajan. Perjalanan itu aku lakukan sampai kelas tiga. Setelah kelas tiga, aku punya inisiatif baru untuk sekedar tambahan uang jajan dan simpanan, yaitu berjualan jajan-jajan kecil, buah-buahan yang dipanen di kebun rumah, dan juga urmang (kicot laut) – suatu pekerjaan yang kemudian menginspirasi adikku (baru lulus SD) untuk juga berbuat sebagaimana aku – di ruang kelas, karena kalau di luar aku takut dimarahi kepala sekolah. Itu kulakukan hingga lulus SD. Kunikmati jalan Allah yang satu ini. Mendingan juga kurasa. Sedang uang saku dari emak (ibu) aku simpan, dan lalu kubelikan ayam untuk diternak.
Satu hal lagi yang menarik saat aku masih SD: aku jadi peternak ayam yang ulung. Semua ayam itu adalah hasil simpananku sendiri. Aku sangat bangga karena itu. Aku bekerja sama dengan Hamdi – seorang teman kecilku, anak yang kini senasib denganku: tidak punya ayah, tetapi aku kagum pada ketangguhannya dalam mempertahankan idealismenya, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua dan berkorban hanya untuk mereka.
Banyak hasil yang kudapat dari usahaku itu. Aku dapat membeli baju dan perangkat sekolah sendiri. Selain itu juga, kira-kira akhir kelas enam aku juga beternak ikan hias. Setiap hari Jum’at (hari pasar Dasuk) aku menjualnya dan membeli yang baru. Namun sayangnya, semua itu kutinggalkan akibat keharusanku pergi menuntut ilmu ke pondok pesantren.
***
Masa kecil (SD) bagiku adalah masa di mana segala rasa susah-senang tertumpah menjadi sejumput kenangan yang tak pernah lekang dari ingatan. Bahkan begitu sangat mengakar, ingin sekali rasanya aku melipat waktu dan kembali pada masa lalu, walau perih saat kuingat, tapi indah kala kubayangkan. Karena masa kecil adalah dunia bebas, tak pernah tertuntut oleh aturan. Sebab masa kecil merupakan suatu tonggak menuju kecemerlangan masa remaja. Sebab masa kecil….sebab masa kecil….ah, tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Lebih baik aku merenung saja, karena waktu terus menjulur, dan segala kenangan kini telah jadi sejarah, sedang sejarah tak dapat terulang.
Ingin sekali rasanya aku menjenguk teman sekelas yang sakit bersama teman-teman lainnya dengan penuh kebersamaan. Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu dan memberi telur ayam pada guru saat lebaran. Ingin kudengar kembali suara Ibu Narti, Ibu Hos, dan Bapak Heri yang mengayomi kami dalam memberi pelajaran dan dengan kesabarannya mendidik kami yang nakal. Ingin aku kembali berolah raga bersama teman-teman di pagi hari pada waktu pelajaran olah raga dan kesenian dengan dipandu oleh Bapak Musyafak; guru yang mengantarkanku mendapat penghargaan sebagai juara ke II dalam lomba lari Agustusan se-Kabupaten Sumenep untuk kategori SD, guru yang mengantarkan kami dapat juara I lomba senam se-Kabupatan. Ingin sekali aku merasakan pukulan Bapak Sholehuddin, cubitan Bapak Kusairi, karena kini cubitan dan pukulan itu sejatinya adalah belaian kasih saying, kurasa. Ingin lagi aku mendengar sanjungan guru-guruku saat aku menorehkan prestasi dan mengharumkan nama sekolah. Ingin sekali aku dipentungi bapak tani, karena tanaman pisangnya, tanaman kacangnya, jambu mentenya kucuri. Dan ingin sekali rasanya aku menanak bersama teman-teman, bernyanyi lagu perpisahan, menangis bersama saat bersalaman kepada semua guru. Ingin…ingin….ingin…. ingin sekali semuanya terangkum, dan aku adalah raja waktu. Tapi aku tetaplah aku; kerdil dan mengerdilkan.
Keinginan untuk kembali pada masa kecil sama besarnya dengan keinginan untuk pulang ke alam kandungan – sekali lagi kata Hazrat Inayat Khan. Semuanya telah menjadi arca. Masa SD adalah masa keindahan yang tak pernah pulang dari sanubari. Sedang perpisahan dengan masa kanak-kanak untuk menuju masa remaja adalah masa peralihan yang penuh dengan kelabu kepenatan. Aku mungkin termasuk orang yang selalu penat, karena begitu dahsyatnya daya kemanusiaan saat masa itu diingat. Akulah orang yang merasa bahagia dengan masa kanak-kanakku, dan juga akulah orang yang paling perih menahan gejolak takdir pada masa kanak-kanak.
Perpisahan hari itu cukup haru. Semuanya menangis. Air mataku menetes dan bumi menelannya, lalu kini jadilah ia bayang-bayang dan tonggak hidup. Betapa apa yang aku tangisi ialah masa yang penuh dengan keriangan. Betapa keriangan itu menjadi saksi menetesnya air mataku kini. Saat ijazah di serahkan, aku dan sekalian teman kelas akhir SD bersenandung lagu “Anak-Anak Desa”, lagu kebangsaan, dan “Wajib Sekolah Sembilan Tahun”. Mungkin perasaan kami semua lepas dari kesadaran kata-kata. Kami adalah makna yang bukan mantra, dan kesadaran yang tak dapat disaksikan adalah bukan kami. Tapi akulah orang yang sangat sayang dengan kesadaranku sendiri, karena darinya kutemukan makna hidup.
Perpisahan itu benar-benar terjadi (10 Juli 2000). Semua teman-teman telah menemukan tujuannya masing-masing, sedang aku bagai batu karang, seturut dengan nazar orang tua yang bermaksud untuk memondokkanku di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Dengan perasaan yang berat aku setujui keinginan itu, karena itu nadzar yang diucapkan ayah sebelum aku lahir. Padahal seandainya aku masuk SMP, mungkin masa dengan teman-teman seperjuangan sejak SD dapat aku rajut kembali sebuah tali ikat perkawanan. Tapi itulah jalan yang terbaik dari Tuhan. Tak dapat aku berbuat apa-apa kecuali dengan petunjuk-Nya.
Dengan persiapan bekal yang kurang, akhirnya aku berangkat juga. Yang dituju adalah PP. Annuqayah daerah Lubangsa, karena di sana ada pamanku. Jadi aku ada yang mengayomi. Dipesan dua mobil untuk mengantarku ke pondok yang bakal menjadi tempat prosesku selama enam tahun (MTs-SMA). Sedang ayahku masih tetap tergolek di tempat tidur, karena sakit kanker darah (kata dokter, sedang kata masyarakat di sihir. Menurutku memang adalah jalan takdir). Jelas tak dapat mengantarku ke pondok. Hatiku luruh, selain diberatkan oleh sebuah perpisahan dengan tanah kelahiran, ditambah oleh pikiran yang bukan-bukan tentang ayah (tapi akhirnya pikiran itu benar-benar terjadi).
Pondok yang dapat ditempuh selama 2 kilo meter/jam, seturut keyakinanku pada waktu itu, adalah tempat yang dapat membunuh; tempat yang memisahkanku dari teman, tempat kelahiran, dan aroma panorama desaku tercinta, Kerta Timur. Tapi demikianlah, tidak boleh tidak aku harus ke sana. Dan ini atas nama nadzar. Kadang aku menyesal sekali patuh pada nadzar itu, tapi apa daya bahwa aku harus jadi anak yang patuh kepada orang tua, sebagaimana pesan Bapak Heri sewaktu SD.
Panorama pondok yang begitu asing. Bunyi-bunyian teralienasi dari perasaan. Walau aku sudah di pondok, perasaan tetap masih di rumah. Apalagi ketika ingat saat-saat perpisahan dengan ke dua orang tua, nenek, dan seorang adik yang sangat aku cintai. Rasanya aku ingin pulang saja. Aku tidak kerasan dengan panorama pondok. Semuanya asing bagiku. Aku merasa bahwa yang asing bukanlah duniaku. Duniaku adalah dunia keriangan yang tak penuh oleh perintah dan larangan. Mungkin dunia pondok bukanlah gantungan cita-cita. Sebuah cita-cita yang dipaksa akan berkonsekuensi pada keterpaksaan kehendak. Tetapi kehendak itu tetap saja akan jadi suatu identitas, suatu jati diri. Aku adalah korban dari pemikiran yang demikian. Tapi kuyakini itu sebagai takdir, yang pada akhirnya menjadi tambatan kemanusiaanku kelak. Dengan terpaksa aku berusaha untuk kerasan.
Awal-awal aku di pondok adalah cerita tentang realitas yang menggelikan. Suatu ketika, kira-kira sudah mencapai satu bulan, aku belajar menanak. Kaum tanakku ada tiga orang; syamsul, pamanku sendiri (Tsabits) dan aku. Karena aku baru dan seorang santri baru itu harus belajar menanak, maka aku menjadi ahli dapur. Tak ada yang menanak kecuali aku. Pada suatu ketika aku ketiduran dan lupa menanak. Pamanku yang aktif di organisasi dan sangat sibuk itu marah atas “insiden” ini. Kuhadapi dengan biasa saja. Tapi akhirnya kemarahan pamanku itu memuncak dan tak pernah mengajakku makan. Ia hanya makan dengan syamsul. Aku marah dan sangat sedih.
Mungkin ia tak tahu tentang karakterku dan psikologi seorang anak yang jiwanya dalam keaadan ngambang. Karenanya, ketidakkerasanku semakin memuncak. Akhirnya perbuatan konyol kulakukan; mengambil inisiatif untuk pulang sendiri, walau aku tak faham jalan menuju ke rumah. Tapi keinginanku itu sangat kuat. Lalu kukemasi barang-barang bawaan, dan menuju ke perempatan; tempat menunggu mobil ke arah kota.
Tapi akhirnya, karena rasa tanggung jawab, pamanku mengejarku ke perempatan dan mengajakku kembali ke pondok. Aku merengek seperti anak kecil. Padahal aku tak pernah berbuat seperti itu, walau kepada orang tuaku. Jadinya aku sangat malu sekali, terutama pada diriku sendiri. Namun akhirnya aku kembali juga. Dan meneruskan hidup di pondok.
Perjalanan itu kunikmati. Hari demi hari telah menikamku, sekaligus juga menambah usiaku di pondok itu. Sampai sekitar usiaku dua bulan di pondok itu, adalah saat pertamaku pulang, karena aku di parani oleh orang rumah untuk menjenguk ayah yang katanya sedang sekarat. (Tapi sebelumnya aku tak diberitahu tentang hal itu. Jadinya seperti burung yang diberi kesempatan untuk terbang oleh pemiliknya; sangat bahagia.). Kini aku pulang; suatu harapan yang ditunggu-tunggu. Kini aku benar-benar kembali dan hendak menghirup aroma desa kelahiran. Pikirku bahwa kepulanganku itu menjadi momentum yang sangat indah. Tetapi tidak. Kepulanganku bahkan merupakan saat-saat yang sangat menyedihlam, bahkan mencapai puncaknya. Ayakku, tak lama setelah aku bacakan surat Yaasin, ia berpulang ke rahmatullah dengan membawa Syahadat. Aku tak menyangka hal itu akan terjadi. Tapia pa bolek dikata; semuanya Allah yang menentukan.
Akhirnya tulang punggung keluarga itu telah tiada. Akhirnya orang yang selalu memberiku semangat untuk terus iqra’ dan belajar ilmu setinggi-tingginya telah tiada. Rasa sedih ini tak tertahankan, bahkan aku luapkan dengan menjerit sekeras-kerasnya, walau ada tokoh masyarakat yang aku segani pada waktu itu, dan memarahi orang-orang rumah yang tak pernah memberiku berita tentang keadaan ayah yang sebenarnya. Pada waktu itu aku merasa, segala tentang diriku, harapan dan cita-cita, segala tentang keluarga, keinginan dan hamparan jalan, luruh bersama kesedihan panjang. Kukira inilah awal dari kehancuran, momentum keterpurukan, dan sejarah yang mencatat kisah-kisah pedih yang melimpah.
Hidupku jadi blingsatan; tak tentu arah untuk beranjak. Pernah aku berusaha untuk menghabisi diriku sendiri, dan orang yang dikira telah menyihir ayah. Ke mana saja aku bawa clurit (senjata orang Madura) dan berusaha mengambil kesempatan untuk membunuh orang itu dengan tanganku sendiri. Sampai-sampai aku berkomplotan dengan teman-teman yang agak dewasa, bahkan pamanku. Aku benar-benar gila pada waktu itu. Padahal pada waktu itu aku masih sangat kecil (umur 12 tahun). Karena kemarahan, sesuatu yang mustahil akan jadi kenyataan. Tapi akhirnya niat itu kuurungkan setelah aku tahu bahwa tak ada yang kuasa mencabut nyawa manusia kecuali Allah. Dialah yang Maha Penguasa. Kuyakini saja bahwa ini adalah takdir-Nya. Karena separah apapun penyakit seseorang jika tidak sampai pada waktunya ia berpulang, maka di harus pasti hidup, sebagaimana nabi Ya’kub.
Benar sungguh segala harapan jadi hambar, bahkan aku ingin berhenti mondok dan lebih baik membantu orang tua saja mengais rezeki. Tapi walau bagaimanapun, jika Allah telah memberi jalan yang lurus kepada sekalian manusia, maka manusia itu akan tetap dengan jalannya. Alhamdulillah, walau dengan bantuan Bapak kepala desa, aku kembali kepondok dan belajar ilmu Agama. Aku sangat berhutang budi kepadanya. Tetapi denyar-denyar darah ini ingin mengatakan kelak esok, bahwa tidak sia-sia engkau membiayai proses pematanganku. (Terima kasih bapak kepala desa. Doaku bakal terus mengalir kepadamu).
Selama itulah biaya sekolahku (MIs) termasuk buku-buku wajib di gratiskan, karena aku yatim. Aku bersekolah seperti biasanya, dan selalu menjadikan segala keperihan (jeratan kemiskinan dan kematian ayah) sebagai gumpalan semangat. Kuharap gumpalan itu teruah oleh kekokohanku untuk menunaikan niat sang ayah tercinta. Selama tiga tahun sekolah tingkatan pertama kujalankan (2000-2003). Aku lulus dengan nilai biasa. Satu bidang pun tak ada yang kudalami, tak sama dengan idealismeku sebagai penuntut ilmu yang terserak di dada. Tapi aku bersyukur, karena aku banyak tahu tentang kehidupan; jalan dan batasan-batasannya.
Aku hendak melanjutkan ke sekolah tingkat atas (SMA). Kupilih SMA Annuqayah yang baru berdiri. Awalnya tak ada alas an mengapa aku tertarik padanya, padahal masih ada sekolah yang tua yang berada di naungan Yayasan Annuqayah (MA 1 dan MA 2). Tapi setelah kujalani, sangat jauhlah berbeda, karena sekolah yang baru pasti penuh dengan peraturan yang bertujuan untuk mendisiplinkan. Buatku SMA paling faforit. Walau aku tak mau pada formalitas, tetapi darinya aku dapat belajar bagaimana jadi orang formal. Kepada SMA aku sangat berhutang budi, karena dialah yang membesarkanku dengan ilmu-ilmu yang diajarkannya, juga karena guruku di sana, semangat keilmuanku semakin berhasrat.
Kujalani sekolah SMA (2003-2006) dengan keriangan, keakraban, keeratan tali hubungan antar teman. Tak ada yang sangat paling terkesan dari segala sesuatu hidup masa remaja, kecuali masa-masa SMA. Hingga kini masih terngiang tentang apa yang terlipat; teman-tema seperjuangan, semua guru-guru yang bersahabat, kisah-kisah sekolah yang meriangkan hari-hari. Sungguh di sana hari-hariku jadi hidup, bersinar, dan pancarannya bertahan hingga kini.
Perpisahan memang menguras air mata dan gejolak hati. Sebagaimana juga sewaktu SD, perpisahan SMA menjadi ujung kisah sedih. Perpisahan kali itu adalah puncak perpisahan, karena waktu itu sekaligus perpisahanku dengan pondok yang semakin kusayangi dan teman-guru yang sangat aku cintai.
Perpisahan selalu mengundang romantika luka. Setelah segalanya terangkai, setelah segalanya selesai, perjalanan seakan kurang. Tak sudi kiranya aku meninggalkan jejak kakiku di pondok yang dulu sangat tak kusukai. Tak sudi aku meninggalkan teman-teman yang sering menolongku saat lapar, mengajakku cangkruan, merangkum hatiku, menjejaki segala yang bakal jadi sejarah. Ingin lagi kunikmati panorama pondok yang serba islami, ingin kurajut jejak-jejak yang tertinggal, ingin semai pertemanan sepanjang asa menggumpal. Tapi apalah daya, sebuah tangisan di awal juga akan berakhir dengan tangisan. Aku tak bisa terlalu lama bertahan di podok, karena prosesku tak harus sepenuhnya tertambat di sana. Aku harus beranjak, dan menatap cakrawala di ketinggian.
Karenanya maka dipilihlah Yogyakarta (17 Agustur 2006), sebagai ruang proses ke tigaku. Aku tertambat di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim ‘Asyi’ari; tempat aku jernih memandangi langit dan bumi, sebuah pondok yang diasuh oleh Gus Zainal Arifin Thoha; ilmuwan, penyair, budayawan, sufi, presiden kuburan, guru hidupku setelah orang tua, yang meninggal pertengahan Mei lalu. Darinya aku banyak belajar tentang landai-terjal kehidupan dan bagaimana cara untuk menghadapinya. Aku belajar “hidup” dan sekaligus “mati”, belajar “menjual kehormatan”, dan hidup mandiri sepenuhnya dari beliau.
Karena beliau aku menjadi penjual angkrengan (selama kira-kira empat bulan), penjual Koran di perempatan Malioboro, menjadi seseorang pengais jejak-langkah diri sebagai proses pematangan spiritual. Darinya aku dapat jadi remaja yang tangguh, kuat, dan mengakar. Salam hormat dan doaku selalu mengalir pada beliau.
Dengan KUTUB-nya aku dapat menjadi “besar” berkenaan dengan proses kepenulisan. Dari lembaga ini beberapa tulisan-tulisanku, berupa Essai, opini, cepen, puisi dan resensi, bermunculan di koran-koran pusat maupun daerah, seperti di Seputar Indonesia, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Karya, Suara Merdeka, Surya, Bali Post, Bisnis Jakarta, Solo Pos, Surabaya Pos dan di sejumlah online.
Dasuk bagai sarang tempat aku pulang nanti. Annuqayah bagiku lebih dari segala apa yang tercipta di luar diriku. Jogja buatku adalah kota kecil tempat untuk menatap cakrawala yang lebih luas.. Sekarang aku masih dalam proses menjadi “manusia”, dengan motto hidup “spiritualitas, intelektualitas, kreativitas dan profesionalitas”.
Itulah mungkin tentang siapa, apa dan bagaimana aku, guru. Tentang cinta, mungkin aku adalah lelaki sejati. Aku masih terlalu cinta buat kekasihku yang sejatinya kini telah menghilangkan aura cintanya yang dulu ditebarkannya saat aku masih kelas tiga MTs. Aku memilikinya, tapi dia tidak. Tetapi ketahuilah bahwa aku bukanlah lelaki pejantan – sebagaimana juga Ahmad Wahib, dalam catatan hariannya yang diterbitkan LP3S. Aku tak dapat menumpahkan rasa cinta di hatiku kepadanya, karena pikirku; hingga aku tak pernah berubah dari keterpurukan keadaan, dari kemiskinan, biarlah cinta ini kunikmati sendiri. Tanpa diucapkanpun kuyakini dia mengerti. Tapi ia tak pernah mengerti dengan kemengertiannya.
Jogja, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar