Sebaik-baiknya orang adalah dia yang tak ingin berhenti belajar. Sebaik-baiknya pembelajar adalah dia yang ingin mencapai kesempurnaan hidup. Sesempurna-purnanya hidup adalah yang dibangun di atas dasar ilmu. Oleh karenanya tidak salah bila Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menyatakan bahwa sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu al-hal, yakni ilmu yang sangat dibutuhkan oleh seseorang dalam keadaannya di sini dan saat ini.
Setidaknya sejak tahun 2007 aku baru sadar bahwa aku sedang mencari hidupku, Fakihku. Pada awalnya aku belajar filsafat. Tujuanku bukan untuk pintar bicara ilmu filsafat, tidak juga ingin menjadi filsuf. Tujuanku ialah untuk tahu siapakah manusia, siapakah alam semesta, siapakah aku? Setelah itu aku belajar puisi. Tujuanku bukan ingin menjadi penyair, tetapi untuk tahu apa makna dari segala sesuatu, dari diri sendiri, dari alam, dari semua yang tampak ini? Aku ingin tahu, apakah sebenarnya kehidupan itu?
Aku telah menjalani hidup yang cukup berwarna-warni: jadi tukang sablon di dekat Kantor CDP (Corps Dakwah Pedesaan) Jl. Bantul, penjual angkringan di Jl. Ali Maksum Krapyak, pekerja kasar di percetakan buku Pak Taufiq Krapyak, penjual koran di perempatan Malioboro. Karya-karyaku berupa puisi, cerpen, esai, opini, resensi dan artikel sudah pernah dimuat di beberapa media massa nasional dan daerah serta di sejumlah buku antologi. Aku juga telah menerbitkan beberapa buku pesanan beberapa penerbit. Aku juga pernah sempat diundang jadi pembicara di sejumlah acara diskusi, seminar atau bedah buku. Semuanya memberikan kesan tersendiri bagiku.
Aku juga telah mempelajari, meski secara serampangan dan tidak jelas, sedikit dari berbagai topik ilmu, mulai dari matematika, fisika, kimia, biologi, filsafat, sosiologi, sastra, cultural studies, sampai studi Islam tauhid, fiqih, akhlak dan tasawwuf. Semuanya memberikan kesan tersendiri bagiku.
Tapi apa makna dari semua itu? Apakah dengan begitu aku telah menemukan jati diriku sebagai manusia, terlebih-lebih, sebagai Fakih? Belum. Sama sekali belum. Tetapi sekarang ini aku mulai sadar bahwa ilmu tasawwuf – dan laku sebagai sufi – yang sedang aku geluti kini seperti menjadi pintu bagiku untuk membuka rahasia-rahasia cakrawala yang sedari dulu gelap gulita; membuka penglihatanku yang sedari dulu buta; membuka hatiku yang sedari dulu keras bagai batu. Aku merasa bahwa aku harus memulai segalanya dari dasar ini. Aku merasa bahwa inilah tambatanku, sesuatu yang aku cari tanpa lelah-lelahnya, inti sari hidupku sebagai manusia, atau minimal, sebagai Fakih.
Dari tasawwuf aku menemukan ma’ul hayat. Dari tasawwuf aku berpikir bahwa aku akan bisa merambahi segala model dan alur hidupku yang dulu sering kali aku tentang itu. Dulu aku sering mengalami keadaan di mana hidup ini seperti sampah yang tak berharga, di mana hidupku serasa tak ada artinya. Sampai berkali-kali aku berpikir bahwa jalan terbaik dalam menjalani hidup ini adalah bunuh diri. Setidaknya 3 kali aku mencoba untuk bunuh diri. Aku sering gelisah, aku murung, aku merasa nihil. Banyak penyakit psikologis yang sedang menggerogotiku, bahkan sampai hari ini, tetapi tak pernah aku ceritakan pada siapa-siapa. Aku sering menentang Tuhan dan menjadi ateis.
Kini, setelah sedikit menjalani kehidupan tasawwuf, kehidupanku menjadi sedikit berubah – meskipun masih saja “dosa-dosa masa lalu” itu membebani jalanku – tetapi minimal telah sedikit menemukan arah. Inilah pilihanku. Dan aku tak mau tahu dengan pandangan orang lain terhadap pilihanku ini. Aku ingin menjadi Abdullah.
Kehidupan tasawwuf yang ingin dan sedang aku jalani didasarkan oleh tiga pokok wasiat guru besar kehidupanku, almarhum Gus Zainal Arifin Thoha (semoga Allah mensucikan ruhnya), yakni Spiritualitas, Intelektualitas dan Profesionalitas. Spiritualitas yang wilayahnya adalah hati menjadi dasarnya. Intelektualitas yang wilayahnya adalah akal jadi bangunannya. Profesionalitas yang wilayahnya tindakan jadi hiasannya. Sebelum mencapai nilai hidup dari langgam ketiga-tiganya itu, aku ingin mengatakan kepada diriku: “Kau bukan manusia, Fakih!” (23 Maret 2012).
3 komentar:
Terima kasih banyak, Fakih. Membacanya aku seperti berkaca pada 'cermin yang tak biasa'. Terima kasih...
Iya, Yud, sama2....
Posting Komentar