Sabtu, 25 April 2015

KADO ULANG TAHUNKU YANG KE-20

PP. Mahasiswa Hasyim Asy'ary Cabeyan Panggungharjo Bantul sedang berkilau hari ini. Sebuah pagi yang bangkit sumringah. Angin berhembus lirih membelai daun-daun pisang, pohon jambu, dan tanaman-tanaman kecil lainnya di halaman depan pondok. Embun yang menyala di setiap sesuatu yang meruncing ke bawah sedari subuh tadi, sedikit demi sedikit dibelai sinar mentari yang segera perlahan mengumbar dari balik bukit. Melodi pagi yang tak sama dengan pagi-pagi sebelumnya, tetapi nyaris persis seperti pagi ketika Idul Fitri/Idul Adha atau Maulid Nabi Muhammad SAW.

Jam 09.00 hari Sabtu 08 Maret 2008 yang lengang, ketika baru bangun tidur dan aku tidak ingat bahwa hari ini adalah ulang tahunku yang ke-20. Seandainya Noor Fatma – seorang teman yang sangat perhatian kepadaku – tidak sms ke HPku pada jam 04.30, mungkin aku tidak akan menangis. Aku menangis karena tanpa disadari bahwa sepertinya aku telah melupakan sejarah hidupku, karena bahkan orang lain yang tak mempunyai ikatan apa pun denganku telah mengingatkannya. Aku sangat merasa berdosa sekali karenanya. Dan aku sungguh berterima kasih pada temanku itu karena dapat mengembalikan kesadaranku sebagai manusia, sebagai pribadi yang tidak akan pernah lepas dari sejarah.

Sebenarnya dua hari yang lalu aku sudah dapat menerka apa yang harus aku lakukan di hari ulang tahunku ini – dan sekarang baru ingat pada rencana sebentuk mawas diri itu setelah lupa dan disadarkan kembali. Aku akan merayakan ulang tahunku ini, meski sendirian, dengan "hanya" mengadakan ritual membaca Surat Yaasin dan memohon kepada Allah semoga diturunkan rahmat yang lebih baik di hari depan, sehingga harapan dan keinginanku menjelma sesuatu yang kelak merebak menjadi kenangan yang tak dapat dilupakan. Aku berencana slametan kepada teman-teman pondok sekedar untuk membahagiakan mereka dan bercengkrama dengan mereka, saling mengumpat tentang "etnisitas", dan berguyon tanpa habisnya – sesuatu yang sekiranya dapat menentramkanku dan membuatku senang karena dapat melakukan apa yang aku inginkan. Aku ingin berpuasa, dan selama sehari penuh akan merenung tentang hidup, pengembaraan, tentang hal-hal yang tak pernah selesai dirasakan dari kesedihan dan kesenangan yang telah jadi kenangan selama hampir dua tahun di Jogja.

Tetapi aku sangat sedih ketika tahu bahwa tak semudah yang dibayangkan untuk melaksanakan semua rencana itu. Sampai detik ini, jam 12.07 ketika catatan ini kutuliskan, aku hanya dapat melakukan shalat duha dan shalat sunat lainnya, membaca Surat Yaasin tiga kali dengan permintaan masing-masing yang berbeda-beda; merenungi kisah hidupku pada masa silam, masa kini dan masa depan dengan sejenak saja – tidak seperti yang diharapkan. Tetapi dua hal yang membuatku sedih bahwa aku tidak dapat berslametan kepada teman-teman karena memang telah lama aku tidak punya uang, dan karena aku tidak berpuasa lantaran aku masih belum bisa menahan kebiasaanku merokok di pagi hari.

Aku sangat menyesal sekali karenanya, dan aku merasa betapa tidak bergunanya seorang aku yang tidak menghargai hidupnya sendiri. Apalagi ditambah dengan "keteledoran" shalat subuh yang telah menjadi kebiasaanku setiap hari. Dengan ini aku merasa bahwa inilah awal bagiku untuk semakin tidak yakin pada hari depan yang lebih cerah dan lebih baik seperti apa yang aku inginkan sebelumnya. Ini mungkin lembaran hari terburukku selama jadi manusia: keinginan untuk berubah yang tidak pernah dipaksakan di hari yang teramat bersejarah ini. Semakin aku tidak yakin dengan keyakinanku sendiri, dengan pendirianku, dengan apa yang selama ini aku gelisahkan. Mungkin aku tidak dapat mengubah sifat dan sikap buruk hidupku di hari depan.
Namun untungnya aku bisa merenungi "keretakan" itu, kenangan hidup yang akan berpendar untuk hari-hari yang kelak jadi sejarah tersendiri dalam pengembaraanku. Sepertinya aku tak dapat melupakan apa yang aku renungkan sehabis bermunajat kepada Allah tadi, sebuah permenungan yang terlalu sulit dijelenterehkan dengan kata-kata. Aku menangkapnya sebagai sesuatu yang mesti kuungkapkan, agar setidaknya aku dapat mengklasifikasi tentang sejauh mana aku bisa menangkap kisahku sendiri.

Aku membayangkan peristiwa kelahiranku itu. Sebuh rumah kuno khas Madura – tempat ibu melahiranku, tempat ayah menunggu saat-saat kebahagiaannya - dan kondisi masyarakat Kerta Timur yang masih memegang teguh tradisinya, barangkali telah menjadi saksi lahirnya seorang bayi sareang yang kelak bercita-cita ingin membangun desanya. Yang dapat aku rasakan bahwa aku menangis ketika pertama kali dibuai dukun beranak yang kelak menjadi langgananku aoro', nyi Rawe. Ketika itu, ayah mengadzaniku, mencopot tali pusarku dengan menggitnya bersama daun sirih (ini adalah mitos Madura yang menandaskan bahwa dengan begitu sang bayi kelak akan menjadi manusia yang tangguh dalam hal apa pun), dan menimangku dengan derai peluh kebahagiaan. Air-ariku ditanam di tepi kanan rumah (suatu mitologi masyarakat Madura, bahwa jika bayi laki-laki maka ari-arinya di sebelah kanan rumah, sedangkan jika perempuan di arah kiri), dan nenekku kemudian memandikanku di lenchak kecil di halaman rumah, serta banyak tetangga yang menyambangi rumahku. Meski dalam kondisi miskin, barangkali akulah satu-satunya sang penghibur keluarga yang sangat kusayangi setelah peristiwa bersejarah itu.
Demikian yang dapat aku bayangkan tentang masa lalu yang sesungguhnya tidak aku kenal itu. Namun kukira masa itulah yang kini berpendaran di kepala, menyeruak ingin segera ditumpahkan untuk sekedar menyapa kesadaranku akan masa depan: sebuah masa yang barangkali tak mungkin dibayangkan manusia kecuali oleh seribu keinginanan yang luhur, oleh sekian pengharapan yang kelak menyumbul berupa kelopak bunga ketika seruan "padamu negeri, jiwa raga kami" merebakkan air mata haru.

Sebegitu nyalang mataku akan semua itu: sebersit "kenyataan" yang membeku dan kemudian mencair dalam angan-angan. Dengan sekuat apa pun, aku akan berusaha memikulnya, memalugodamkannya dalam jiwa dan lubukku paling dalam. Aku berharap ini adalah keyakinan yang benar-benar keyakinan – bukan hanyalan yang diperkarakan oleh hayalan lahiriah semata. Aku hendak membawanya ke dalam kesadaranku yang paling intim, paling primordial, paling…..ah, barangkali paling suci.

"Lembaran yang baru terbuka untuk kesekiankalinya ini", telah kupersiapkan pena buat menggoresnya: sebuah pena kesadaran dengan tinta darah yang hendak kuperas dari empedu dan hatiku sendiri. Tetapi semuanya tergantung oleh "tanganku" yang akan menggerakkan. Apakah tanganku tidak akan atau bahkan tergelincir meskipun sedikit, barangkali inilah yang akan menjadi tantanganku saat-saat kemudian.

Inilah barangkali kado untuk ultahku yang ke-20 (Semester II), saat aku yakin dengan kehidupan hari depan yang lebih buruk dan saat aku berharap banyak dari keburukan itu di mana nantinya menjelma harapan-harapan "yang utuh"!(08-10 Maret 2008).

Tidak ada komentar: