Selasa, 05 Januari 2010

TENTANG DUA IBUKU DI YOGYAKARTA

Ini kisah tentang dua perempuan yang mulai saat ini aku anggap sebagai ibuku. Dua perempuan itu sangat menyayangiku, lebih-lebih, beliau menganggapku sebagai anaknya sendiri. Dua perempuan itu adalah Bunda Maya Very Oktavia dan Ibu Yuli Anisah.
Aku merasa mereka berdua adalah pengganti orang tuaku di Yogyakarta. Mulai sejak ini aku mulai sadar bahwa rupanya curahan hati mereka terhadap aku sungguh sangatlah besar. Hanya karena keegoisanku sehingga sejak kemarin-kemarin aku menanggapi belai kasihnya hanya sekedar sebuah perbuatan baik semata.

Tetapi ternyata aku salah besar. Mereka tidak sekedar berbuat baik kepadaku, tetapi lebih dari itu. Mereka betul-betul menyayangiku sepenuh hati, sepenuh perasaan seorang ibu. Aku sungguh menyesal mengapa kesadaran ini baru hadir sekarang. Tetapi, dari pada tidak sama sekali, aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menunjukkan kebenarannya kepadaku, meski menurutku itu amat terlambat. Terima kasih, Tuhanku, terima kasihku kepada-Mu.

Bunda Maya adalah istri guru pertamaku di Jogja, Gus Zainal Arifin Thoha. Beliau telah lama menjanda, setidaknya mulai bulan Maret 2007 kemarin. Beliau ditinggali lima putra dan tanggung jawab mengasuh pesantren (Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’arie) yang telah dirintis oleh Gus Zainal. Kelima putra itu (Vina, Hasan, Hafid, Shifa dan Zya) aku anggap sebagai saudaraku sendiri, seperti juga aku menganggap saudara seluruh santri-santri Hasyim Asy’arie.

Kasih-sayang Bunda Maya kepadaku sangatlah besar. Beliau sering memperingatiku ketika aku sedang salah, memberikan wejangan-wejangan, selalu bersedia menerima keluh-kesahku, membantu meringankan tanggung-jawabku, dan mengajariku hidup mandiri.
Beliau telah memberikan banyak hal di dalam proses hidupku mulai sejak awal aku tinggal di Jogja. Aku merasa tidak akan pernah bisa membalas seluruh kebaikannya. Aku hanya bisa menyadarkan diriku untuk benar-benar ta’dhim kepada beliau dan menganggap beliau sebagai ibuku. Ketika beliau berkata, “Kamu aku anggap anakku sendiri, Fakih…”, aku berpikir, tidakkah demikian pantas menjadikan beliau sebagai ibu yang mesti kucurahkan baktiku kepadanya?

Ibuku yang kedua adalah Ibu Yuli Anisah. Beliau menjabat sebagai TU (Tata Usaha) Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga. Aku diperkenalkan kepada beliau oleh suatu kasus yang menimpaku. Kasus itu adalah semacam “tindakan buruk” yang aku lakukan sedemikian sehingga mengakibatkan nama Saintek tercoreng.

Awalnya, aku dipanggil oleh beliau dan diintrogasi macam-macam. Selain soal kasus, beliau juga bertanya banyak hal tentang latar belakangku dan kehidupanku di Jogja. Entah mengapa, setelah aku ceritakan semua seluk-beluk kehidupanku, beliau merasa tersentuh dan kasihan kepadaku. Padalah, demi Allah, aku tidak pernah berusaha untuk membuat beliau bersikap seperti itu.

Beliau menawariku kost di Jl. Babaran Umbulharjo. Waktu itu aku memang tidak punya kost. Aku hidup nomaden (dari kost teman ke kost teman) selama kurang lebih empat bulan. Beliau kasihan kepadaku. Beliau menginginkan aku hidup layak sebagaimana anak lainnya. Kebetulan, di Umbulharjo beliau punya kos-kosan yang masih ada sisa dua kamar. Beliau menawariku untuk tinggal di sana.

Waktu itu, aku belum bisa merasakan hal yang luar biasa dari sikap beliau. Meskipun beliau pada waktu itu juga memberiku uang 100 ribu buat biaya hidup harian, aku masih menganggap sebagai tindakan lumrah bagi orang yang merasa kasihan kepada orang lain. Tetapi, untuk menghargai niat baik beliau, aku menerimanya. Aku berjanji untuk mendatangi kost tersebut dan ngomong sama orang yang mengelolanya (saudaranya sendiri). Aku diberi kepercayaan oleh saudara beliau itu, dan diberikan kunci kamar yang akan aku tempati.

Namun demikian, aku tidak pernah datang lagi kesana setelah itu. Ada banyak alasan yang menuntutku untuk tidak menyempatkan diri kesana. Selain jadwal kuliah dan tugas kampus yang padat dan banyak, juga aku harus segera merampungkan buku pesanan Diva Press. Selain itu pula aku tidak punya kendaraan untuk bolak-balik kost-kampus (jaraknya kira-kira 9 kilo meter).

Sampai sebulan kemudian, aku dipanggil oleh Bu Yuli. Bagiku sangat maklum beliau memanggilku, karena aku tidak menepati janjiku untuk menghadap beliau setelah lebaran kurban, sekedar untuk mengetahui perkembangan hidupku di kost tersebut. Aku tidak menepati janji itu sebab ada beragam alasan, terutama adanya masalah dalam proses pembuatan Surat Pernyataan ke Pembantu Dekan Tiga untuk kasusku tersebut di atas. Seandainya aku cepat membuat Surat Pernyataan tersebut, mungkin aku bisa langsung menghadap Bu Yuli. Berhubung ada halangan, aku tidak segera mambuat surat itu. Karena itu juga, aku tidak segera menghadap Bu Yuli.

Aku minta beribu-ribu maaf kepada beliau atas kelalaianku itu. Aku juga lontarkan alasan-alasan mengapa aku tidak menghadapnya lagi, juga mengapa aku tidak menempati kost yang beliau hibahkan kepadaku. Aku kira beliau akan marah. Ternyata dugaanku salah. Beliau malah menunjukkan kehangatan dan pengertian tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Seperti biasa, beliau tetap memancarkan senyuman.

Hanya saja beliau agak mengintrogasiku dan memberikan sedikit pandangan terhadap alasan-alasanku itu. Aku hanya mengangguk dan menunduk saja, menunjukkan rasa bersalahku. Setelah itu, kami berbincang-bincang cukup banyak dan cukup panjang pula. Beliau bertanya banyak hal kepadaku, terutama tentang pengalaman-pengalaman hidupku. Beliau memberikanku pencerahan dengan pandangan-pandangannya. Beliau juga mengucapkan selamat kepadaku lantaran aku telah masuk 10 besar Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Beliau berkata, “Sekarang kamu pengen apa, Fakih? Mau tempat tinggal? Silahkan kamu cari kost yang membuatmu nyaman. Saya Insyaallah bisa membantumu menanggung bayarannya. Kamu disuruh kost di Babaran atau tinggal di rumahku tidak mau. Sekarang terserah kamu saja…”.

Aku terhenyak dengan kata-kata itu. Masa, ada orang yang belum begitu lama mengenalku ingin berbuat baik kepadaku dengan sesuatu yang menurutku “tidak wajar”. Padahal beliau tahu kalau aku terkena kasus yang mencoreng nama Fakultas. Itu saja aku kira cukup bagi setiap orang untuk enggan berbuat baik kepadaku. Aku mulai tidak paham dengan beliau. Apa yang diinginkan beliau dariku. Ketika sedikit menyindir, beliau hanya bilang, “Aku hanya ingin membantumu, Fakih”.

Aku menolak tawaran beliau. Aku bilang kalau sebentar lagi aku akan punya uang banyak dari hasil jerih payahku menulis buku. Honor buku tersebut, aku bilang, sangat cukup untuk membayar uang kost selama setahun. Namun nampaknya beliau ngotot untuk menolongku. Beliau bertanya, “Kamu ada uang untuk SPP semester depan?”. Aku menjawabnya ada.

“Pokoknya ibu tidak perlu hawatir. Saya ada cukup uang untuk ngekost dan bayar SPP semester depan. Sekarang saya memang punya hutang ke Fakultas. Tetapi uang saya cukup kalau hanya untuk membayar hutang itu. SPP semester depan saya bisa pinjam lagi ke Fakultas,” kataku.

“Mana saya lihat tanda buktinya?,” tanyanya. Aku cari tanda bukti itu di dompetku. Tapi tidak ada. Aku bilang saja, tanda buktinya tertinggal di rumah.

“Ini saya ada rezeki sedikit untuk kamu. Uang ini terserah kamu mau dibuat apa. Apa kamu buat bayar hutang ke Fakultas atau buat ngekost. Saya minta tolong kamu menerima ini. Dari kemarin saya memang sudah berjanji untuk mensedekahkan uang ini kepadamu”.

Aku kira, pasti uang itu banyak sekali, paling tidak kurang-lebih sejuta. Aku heran. Aku tertegun. Lama aku termenung sendiri, tidak mengindahkan kata-kata beliau. Sampai-sampai beliau menegurku, membuyarkan renunganku. Dan aku mengungkapkan apa yang sedang aku renungkan. Tentu, renunganku itu ialah berkisar tentang kebaikannya, uang itu, dan sesuatu yang berada di balik semua itu.

Mulai dulu, tidak pernah aku diberi uang sebanyak itu. Namun, bukan sekedar itu yang membuatku terhenyak. Aku masygul dan sama sekali tidak habis pikir dengan sikap Bu Yuli itu. Aku tidak yakin pemberian itu tidak tulus. Aku yakin beliau tidak mengharapkan apa-apa dengan pemberian itu. Itu terbukti dari sorot matanya, juga kata-kata beliau:

“Terima, Fakih. Aku tidak bermaksud apa-apa kok. Apalagi aku belum tahu banyak tentang kamu. Aku hanya ingin membantumu, memperingan bebanmu. Aku prihatin dan kasihan sama kamu.”

Aku terharu dengan kata-kata itu. Hatiku menangis. Aku tidak tahan menahan keharuanku. Aku marasa ini suatu keajaiban yang bahkan tidak pantas ditujukan padaku. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa maksud-Mu dengan semua ini, Tuhanku? Mengapa Kau berikan sesuatu yang menurutku sangat tidak pantas bagiku ini? Apa maksud-Mu mempertemukan aku dengan Bu Yuli?

“Ini tidak fire, Tuhanku, benar-benar tidak fire. Pemberian-Mu ini sangat tidak sebanding dengan penghambaanku kepada-Mu selama ini. Mengapa Kau berbuat kebaikan yang besar terhadap hambamu yang tidak sungguh-sungguh “menuhankan-Mu” ini?,” bisikku dalam hati.

Aku tidak tahu harus berbuat apa waktu itu. Ucapan “terima kasih” atau kata-kata yang lebih dari itu pun, aku kira tidak cukup untuk menghargai sikap beliau. Aku merasa bahwa ini simbol kasih-sayang. Tidak mungkin Bu Yuli memberikan semua ini dengan tanpa rasa kasih-sayang yang tinggi kepadaku.

Tiba-tiba perasaan lain hadir begitu saja di dalam hati. Di dekat beliau, aku merasa seperti seorang anak yang sedang berada di dekat ibunya. Dengan cinta dan kasihnya yang agung, ibu itu mencurahkan segala yang dimilikinya untuk kebahagiaan anaknya. Ibu itu ingin anaknya bahagia. Ibu itu ingin anaknya hidup layak sebagaimana anak-anak lainnya. Seakan ibu itu tidak rela bila anaknya hidup menderita. Semua yang dimilikinya seperti ingin diberikan kepada anaknya itu. Hanya untuk kebahagiaannya, itu saja. Tidak lebih.

Sampai di jalan, aku buka amplop itu. 900 ribu, ya, uang yang diberikan Bu Yuli tepat 900 ribu. Melihat uang itu, aku mamatung diri. Semua yang telah terjadi seperti sebuah mimpi. Aku menangis bahagia..aku menangis bahagia. Mulai sejak itu aku menjadi paham bahwa rupanya Tuhan berkehendak memberikan sosok ibu kepadaku. Aku tidak bisa menolak kenyataan. Makanya, mulai sejak itu, aku anggap Bu Yuli sebagai ibuku sendiri, yaitu seseorang yang mesti aku ta’dhimi, cintai dan sayangi sepenuh hati...Terima kasih, ibu, terima kasih atas kasih-sayang dan pemberianmu! (Yogyakarta, 04/01/2010).

Tidak ada komentar: