Kamis, 07 Januari 2010

MENGINGAT YANG TERLUPA

Aku kuliah pada tahun 2007. Tetapi aku sampai di Jogja tanggal 17 Agustus 2006. Jadi aku menganggur di Jogja selama setahun. Waktu menganggur itu aku gunakan bekerja. Baru sampai di Jogja tiga hari, aku langsung disuruh oleh Gus Zainal supaya mengikuti pelatihan dakwah di CDP (Center Dakwah Pedesaan). Salah satu programnya adalah belajar bekerja di salah satu perusahaan sablon di Krapyak. Namun selang beberapa hari, aku tidak kerasan di CDP. Aku keluar. Hanya tinggal temanku (Ne’ Rosyid) yang bertahan di situ.

Gus Zainal adalah orang yang benci pada santrinya yang hanya malas-malasan, tidak bekerja, sementara untuk makan ia numpang kepada temannya. Aku tidak enak dengan sindiran-sindiran beliau. Makanya, aku ambil inisiatif untuk ikut teman-teman yang jualan koran. Maka jadilah aku penjual koran di perempatan Dongkelan. Selang beberapa bulan, aku ditawari oleh Yasin (anak Cilacap) untuk memanfaatkan rombong Angkringan milik Gus Zainal. Aku terima tawaran itu. Kami bersepakat untuk minta modal ke Gus Zainal dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Aku bekerja jadi penjual Angkring selama kurang-lebih lima bulan.

Di bulan terakhir (Januari 2007) tulisanku di muat (Esei di Media Indonesia). Aku ditahbiskan oleh Gus Zainal sebagai penulis. Beliau memintaku untuk lebih konsentrasi menulis. Untuk itu, aku harus rela memberikan “jabatanku” sebagai penjual Angkring ke Fathorrahman MD yang pada waktu itu belum dimuat tulisannya. Namun demikian, hari-hariku setelah itu suntuk oleh baca buku dan nulis. Aku tidak enak kalau tidak bekerja. Lagipula tidak mungkin aku hidup hanya dari honor tulisan yang kadang tidak jelas dan lama turunnya. Oleh sebab itulah aku kembali berjualan koran. Kawasanku waktu itu di perempatan Wirobrajan Malioboro. Profesi penjual koran itu bertahan sampai dua bulan pertama aku jadi mahasiswa (Fisika Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga).

Sebelum jadi mahasiswa, aku berkabung atas wafatnya guruku tercinta, Gus Zainal. Beliau meninggal bulan Maret 2007. Salah satu semangatku untuk kuliah adalah dari beliau. Aku kuliah berangkat dari Krapyak ke Kampus naik onthel (sepeda). Jarak dari Krapyak-UIN ialah sekitar 9 kilometer. Sepeda yang aku pakai bukan milikku sendiri. Sampai sekarang pun aku tidak pernah beli sepeda. Sepeda itu aku pinjam dari teman-temanku. Aku nyepeda tiap hari Krapyak-UIN sampai awal-awal tahun 2008.

Setelah itu, pondok pindah ke daerah Panggungharjo Sewon Bantul Jl. Paris km 7. Kepindahan itu sangat menyakitkan bagiku. Sebabnya adalah kami “diusir” oleh tetangga di Krapyak dengan cara halus, yakni tidak boleh memperpanjang kontrak pondok. Jadi sekarang jarak Pondok-Kampus bertambah 7 kilometer. Berarti aku harus mengayuh sepeda tiap hari dari pondok ke kampus sekitar 16 kilometer. Barangkali, bagi orang, jarak itu terlampau tidak mungkin dijalani tiap hari. Tapi apa bagi kami yang tidak mungkin. Bila semangat menggelegar, gunung pun terasa kecil.

Tidak selang beberapa bulan kemudian, setelah aku cuti semester 3, aku merasa harus lebih konsentrasi kuliah, dan karenanya aku memilih untuk kost di sekitar UIN. Hal ini terjadi sekitar awal-awal 2009. Aku sudah tidak menjadi pengontel ria sepanjang hari dengan menempuh jarak yang sekonyol itu lagi. Hidupku menjadi agak istimewa bagiku, meski ada banyak kendala keuangan dan kendala hidup lainnya selama aku kost. Tapi aku tetap bertahan. Menurutku, setiap orang pasti dihadapkan oleh tantangan dan cobaan. Aku tebas semua itu dengan kesabaran dan tawakkal.

Baru setelah habis kost terakhir (di sebelah timur Kali Gajah Wong atau di belakangang Social Agency), aku tidak kost lagi. Itu terjadi pasca liburan semester genap (empat), sekitar bulan Agustus 2009. Disamping aku tidak punya uang untuk memperpanjang kost, juga aku sudah merasa tidak enak hidup di sekitar kampus. Aku sering gelisah dan diterpa oleh goncangan-goncangan jiwa yang dahsyat. Dan ini, aku kira, salah satunya adalah masalah lingkungan yang melingkupiku. Makanya, setelah berpikir lama, aku harus menemukan tempat yang membuatku tenang dan damai. Tempat itu adalah Krapyak, tempat pertama aku sampai di Jogja. Barangkali aku adalah termasuk orang yang melankolia.

Pilihan itulah yang hendak aku jalani saat ini. Aku berdoa, semoga Krapyak versi ke-II itu menjadi simbol kelahiranku yang baru, baik kelahiran spiritualku, kelahiran intelektualku maupun kelahiran profesionalitasku. Amien! (8 Januari 2010).

1 komentar:

Cinta Syahadah mengatakan...

mamarengisan kawan.. tapi bersyukurlah..semangatmu masih berapi-api kawan.. kita masih muda. Ayo berjuang terus..