Pagi itu (02/12/2010), saya dan Aziz diajak Pak Daroji pergi ke kebun salaknya untuk ikut bantu-bantu memanen salak dan menebangi pelepah-pelepahnya. Katanya, buah salak itu mesti kami panen semua, sebab bila tidak, akan cepat membusuk akibat kena debu vulkanik Merapi. Begitupun pelepah-pelepahnya harus ditebangi agar tidak layu dan mati.
Di sela-sela kerja, saya bertanya kepada Pak Daroji, kapan salak ini bisa dipanen lagi? Saya kaget ketika Pak Daroji menjawab, “butuh dua tahun lagi, mas!”. Betapa tidak, tulang punggung perekonomian beliau, juga rata-rata warga Cempan, adalah tani salak. Kalau selama dua tahun panen salak vakum, lalu dari mana beliau mendapatkan uang buat kebutuhan hidup sehari-harinya, buat belanja istri dan sekolah anak-anaknya?
Ia hanya tersenyum, seperti tidak pernah risau dengan keadaan semacam ini. Ia yakin bahwa Allah tidak miskin dan bahwa Allah tidak akan menelantarkan hambanya yang sedang diterpa bencana. Sungguh ketabahan yang luar biasa saya kira. Padahal beliau juga harus kehilangan sekitar 3 hektare sawahnya yang ditelan lahar dingin. Sawah itu terletak di bantaran Kali Batang. Dulu kali itu tidak dialiri air. Tetapi sekarang, alih-alih kering, Kali Batang diluapi oleh lahar dingin yang mengalir dari puncak Merapi.
Tahu akan hal ini, Pak Daroji sama sekali tidak bersedih. Malahan beliau berkata, kalau Allah mau mengambil sesuatu dari kita, siapa pun tidak akan bisa menghalanginya, begitu pun sebaliknya. “Kita enggak usah khawatir, mas. Jalan rezeki itu tak terhitung banyaknya. Orang yang bersedih karena kehilangan satu jalan rezekinya, berarti dia takabbur kepada Allah. Na’uzubillah,” katanya.
Saya mengenal Pak Daroji di barak pengungsian daerah Mantingan Salam Magelang sewaktu beliau bersama warga Cempan yang lain mengungsi ke sana. Kami dari Forum Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Jogjakarta (FS-KMMJ) menjadi relawan di sana. Kerja kami di barak pengungsian ialah mengurusi kebutuhan logistik pengungsi dan mengadvokasinya.
Tidak lama kami di Mantingan, hanya sekitar seminggu. Setelah dinyatakan aman dalam radius 10 km dari puncak Merapi untuk daerah Magelang, para pengungsi diperbolehkan pulang kampung. Pak Daroji meminta kami ikut ke kampungnya, yakni dusun Cempan Jeruk Agung Srumbung Magelang, untuk Bantu-bantu merekonstruksi desa pasca bencana Merapi. Kami pun menyutujuinya. Pak Daroji mengizinkan kami tinggal di rumahnya sampai tugas kami di Cempan selesai.
Kerja kami di Cempan ialah membantu-bantu masyarakat membersihkan jalan, masjid, kuburan dan semua infrastruktur umum lainnya. Sejak itu, secara pribadi, saya mengagumi kesabaran Pak Daroji dan istrinya, Bu Sri Mulyati. Saya banyak belajar kepada kepadanya tentang kehidupan. Selama sembilan tahun berumah tangga, mereka tidak pernah sekali pun bertengkar. Mereka begitu taat beribadah. Keyakinannya pada Tuhan amat luar biasa. Kata Pak Daroji, tujuan kita hidup di dunia tidak lain kecuali terus-menerus berusaha belajar menghamba kepada Tuhan.
Pandangan hidup demikianlah, saya pikir, yang menjadikannya begitu sabar dan tabah dalam menghadapi bencana. Kata Pak Daroji, bencana erupsi Merapi merupakan bentuk kasih sayang Tuhan kepada kita semua. “Banyak hikmah yang dapat kita petik dari setiap bencana dalam hidup kita, lebih-lebih bencana Merapi sekarang ini. Salah satunya ialah kita disadarkan oleh Tuhan bahwa kita sesungguhnya tidak memiliki kekuatan apa-apa. Bahwa kita mesti menyempurnakan penghambaan kita kepada-Nya. Bahwa kita harus lebih banyak belajar menerima keadaan, banyak bersabar dan bersyukur,” katanya sambil tersenyum berbunga-bunga.***
Yogyakarta, 07 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar