KELAHIRAN
dan mungkin untuk selamanya
waktu mengeras di kabut dingin
sedingin kematian
di dadaku yang hening
waktu yang asing untuk sebuah impian
tapi begitu dekat, begitu menyekap
dan aku mengakrabinya
seperti mengakrabi air mata:
sesuatu yang mungkin tercipta
untuk tanahnya sendiri
tanah yang sepi dan abadi
tanah di dadaku ini
Jogja, 2009
Puisi di atas ini aku anggap sebagai puisi pertamaku. Orang pertama yang memuji puisi ini adalah seorang teman yang entah apakah ini betul atau tidak aku anggap sebagai kritikus sastra, yakni Purwana. Anggapanku ini muncul ketika berkali-kali aku berjumpa dengannya dalam beberapa waktu yang tak terduga, memperbincangkan soal puisi dan cerpen, yang dengan cara-cara aneh, dia melontarkan beberapa kritik dan penilaian terhadap beberapa karya sastra Jepang, China, Eropa Kontinental, India dan Amerika Latin dengan sangat fasih, dalam, mengesankan serta merupakan sesuatu yang baru bagiku.
Dia memang tidak terkenal, tetapi kawan-kawan penyair muda Yogyakarta (terutama kawan di Komunitas Rumah Poetika) ”mengakui” kepakaran dan keluasan wawasan kritik sastranya. Saat itu, pada sebuah Minggu sore yang hangat, aku, Purwana, Mahwi Air Tawar, Indrian Koto, Mutia Sukma, As’adi dan Iman ”Kedung” Romansyah berkumpul di depan Gedung Multi Perpuse UIN Sunan Kalijaga untuk sebuah diskusi sastra terbatas. Kawan-kawan tersebut – dan juga aku – membacakan sajak-sajaknya di depan Purwana, dan selanjutnya dia ”menghakiminya”. Anehnya, puisiku di atas termasuk salah satu puisi yang dipujinya ketika itu.
Purwana bilang, puisiku tersebut memuat makna yang luas dan dalam, dengan kata-kata metomini yang tajam. Entahlah, bagiku, tidak penting diuraikan dengan kriteria-kriteria apa dan bagaimana Purwana menilai puisiku itu. Yang penting bahwa pada waktu itu aku merasa bangga dan tersanjung, sehingga dengan seketika kekuatanku untuk membangun kembali pondasi-pondasi puisiku bangkit lagi setelah berbulan-bulan sempat kendor. Mentalku merasa terangkat di hadapan kawan-kawan sastrawan muda Jogja tersebut yang karya-karyanya telah jauh melampaui karyaku. Aku sangat berterimakasih pada kawan Purwana, karena dengan kritiknya, menjadikanku semakin bersemangat untuk benar-benar menenggelamkan diri ke dalam samudera puisi. Memang aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyair. Aku hanya berpikir untuk membuat karya puisi, dan itu saja telah cukup membahagiakanku.
Setelah diskusi terbatas tersebut, aku mengirimkan puisi KELAHIRAN bersama lima puisiku yang lain ke koran Minggu Pagi dan Suara Pembaruan. Dan tidak disangka, pada bulan Juli dan November yang indah, puisi itu dimuat di kedua media tersebut. Ini merupakan pemuatan puisiku untuk yang ketiga kalinya setelah sempat pada akhir 2006 lima puisiku dimuat di Surabaya Post dan pada 2007 di Pontianak Post. Setelah pemuatan ketiga kali itu, puisi-puisiku pada kesempata selanjutnya (dari 2009 hingga saat ini) mengalir dimuat di beberapa media. Puisi KELAHIRAN itu turut aku kirimkan pula ke acara kritik sastra di radio Pro-2 FM pada akhir tahun 2010, dan secara tidak terduga, mendapat pujian dari penyair Evi Idawati sebagai puisi terbaik untuk malam kali itu.
Sebenarnya aku belajar menulis puisi mulai tahun 2005. Ketika itu aku masih di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura. Di pondok itu tak satu pun komunitas sastra atau di forum-forum sastra aku ikuti. Hanya saja aku berteman dekat dengan banyak kawan penyair pesantren yang aktif di komunitas-komunitas sastra. Bersama mereka, aku mendiskusikan banyak hal soal sastra dan teater. Tetapi bagiku itu hanya sekedar ”basa-basi” yang tidak menghasilkan apa-apa dalam diriku. Sebaliknya, semangat kesusasteraanku tumbuh untuk pertama kalinya ketika aku dapatkan dua buah buku luar biasa karangan HB. Jassin dan Harry Aveling yang menghimpun karya puisi penyair Angkatan Poejangga Baroe, angkatan 45, 60-an, 70-an dan 80-an. Aku habiskan malam-malamku untuk menikmati puisi-puisi mereka, dari Chairil Anwar hingga Sapardi Djoko Damono. Aku pun tergugah untuk turut menulis puisi. Maka pada sekitar pertengahan tahun 2005 itu, persentuhanku dengan dunia puisi untuk pertama kali dimulai.
Dari 2005 hingga awal 2009 ratusan puisi yang kucipta. Awal-awal aku membikin 3 puisi dalam sehari-semalam. Tetapi semuanya mentah. Aku berpikir untuk lebih menseriusi dunia puisi adalah sekitar pada tahun 2007. Secara konsisten aku mempelajari dan mengkaji puisi-puisi para penyair terkenal secara mandiri, aktif mengikuti forum-forum sastra, mendatangi rumah-rumah para penyair angkatan tua Jogja dan sering berkumpul dengan teman-teman sastrawan muda. Akibatnya, aku pun tahu banyak hal tentang puisi, hingga akhirnya aku merasa puisi bukan hanya semacam genre tulisan, tetapi bahkan inti keberbahasaan, sebab di dalam puisi tidak hanya terdapat pergulatan bahasa, tetapi juga pergulatan makna dan permenungan. Maka tidak terlalu banyak puisi yang ciptakan dari tahun 2007 hingga awal-awal 2009. Aku tidak lagi menulis 3 puisi dalam sehari-semalam. Puisi-puisiku tercipta hanya ketika pada suatu waktu apa yang disebut sebagai ”momen puitika” datang menghampiriku. Kedatangan ”momen puitika” itu sungguh sangat pelik dan tidak mudah. Kadang ia datang 6 bulan sekali, 3 bulan sekali, 2 bulan sekali, sebulan sekali, seminggu sekali, tetapi terkadang ia datang hampir 5 kali dalam semalam.
Puisi yang aku karang dari tahun 2005 hingga awal 2009 aku anggap semuanya ”sampah”. Tak satu pun dari ratusan puisi itu yang dapat membanggakanku. Hingga datang sebuah ”momen puitika” pada Selasa sore yang lungrah, bertepatan dengan hari ulang tahunku yang ke-21, yakni tanggal 08 Maret 2009, ketika hampir-hampir permenunganku mencapai klimaks tentang cerapan dan makna kelahiran bagi hidupku, maka lahirlah puisi KELAHIRAN tersebut. Puisi itu aku buat persis selama 2 menit. Aku dalam keadaan tidak sadar ketika itu. Tahu-tahunya, ketika aku sadar, di atas kertas yang memang kupersiapkan tertulis puisi itu. Hingga saat ini tak ada yang kurubah atau kuperbaiki kalimat-kalimat yang muncul saat pertama kalinya puisi KELAHIRAN hadir. Jadi puisi KELAHIRAN itu murni sebagai puisi yang jadi secara seketika. Dan aku memang membiarkannya seperti itu, dan sedikit pun aku tidak memperbaikinya, karena aku yakin bahwa puisi yang lahir dari ketidaksadaran terkadang lebih ”dahsyat” ketimbang puisi yang lahir dari kesadaran.
Maka sejak lahirnya puisi yang aku anggap sebagai puisi pertamaku itu (2009), aku semakin memantapkan diri untuk lebih jauh bergelut dengan dunia perpuisian, dengan dunia kepenyairan. Ketika pada 2010 bangkit ketertarikanku untuk lebih mendalami fisika, sehingga sejak saat itu aku berpikir untuk mendalami kedua-duanya: fisika dan puisi. Mungkin ini terkesan aneh untuk pikiran-pikiran sempit seseorang yang sudah terperangkap di dalam cara pandang spesialisasi bidang keilmuan, juga dalam konstruksi metodis yang cenderung menganggap tidak ada hubungannya antara sastra dan ilmu fisika. Padahal, menurutku, keduanya adalah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan jika seseorang masih menghargai sesuatu yang amat berharga bagi hidupnya, yakni permenungan. Tanpa permenungan, aku rasa hidup seperti sebuah kehampaan.
Di dalam hidup ini, aku hanya menginginkan satu hal, yakni kemasygulan: masygul melihat alam, masygul melihat diri sendiri, masygul melihat rahasia-rahasia paling rahasia dalam kehidupan dan – ini terutama – masygul di hadapan Tuhan. Dan kemasygulan itu tidak akan pernah bisa di temui di sebuah diri yang kosong oleh permenungan. Kemasygulan merupakan akibat dari permenungan, atau dengan kata lain, permenungan merupakan sebab hadirnya kemasygulan. Aku tidak percaya pada orang yang mengatakan bahwa kerap kali kemasygulan datang tanpa didahului oleh permenungan. Tanpa permenungan yang panjang – atau sebuah usaha ke arah itu – tidak mungkin seseorang pada suatu waktu merasakan kemasygulan yang luar biasa.
Untuk saat ini, aku telah sedikit menemukan ”bentuk” kemasygulanku di dalam fisika dan puisi. Aku menemukan sesuatu yang membuatku ekstase di dalam keduanya: sebentuk transendensi yang aku pikir tak dapat dihargai dengan apa pun. Aku berhasrat untuk berkarya di dua bidang ini – atau dalam istilah akademis, ingin mengembangkannya – hingga kemasygulanku semakin bertambah, bertambah hingga mencapai puncak transendensi yang tak terkirakan....Tuhan, semoga ini sesuai dengan jalan-Mu. Amin! (22 April 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar