Setiap kali aku merenungi hidup, aku merasa, perempuan adalah hal yang amat luar biasa. Perempuan, barangkali, adalah salah satu alasan mengapa hidup menjadi demikian berharga dan masih bertahan hingga detik ini. Puisi hadir karena perempuan. Cinta – dan ini terutama – mengilhami banyak orang karena keberadaan perempuan. Namun bagiku, perempuan adalah hal yang agak rumit. Dalam sejarah hidupku yang tragik, aku tidak pernah sekali pun mengalami hidup yang dalam bahasa anak muda sekarang disebut sebagai ”pacaran”. Hal ini kadang membuatku tersenyum-senyum sendiri, karena merasa – untuk urusan ini – hidupku sungguh lucu sekali.
Sering aku ditanya oleh kawan, apakah aku sudah punya pacar atau setidak-tidaknya pernah pacaran? Dan ketika aku jawab ”tidak”, mereka tertawa dan berkata: ”Naif sekali hidupmu, Fakih!” Barangkali, memang, adalah sesuatu yang tabu bagi mereka bahwa diumurku yang ke-23 ini aku belum pernah sekali pun menjalin tali kasih dengan perempuan.
Tetapi bukan berarti aku tidak pernah mencintai perempuan. Aku adalah laki-laki normal, seperti halnya laki-laki kebanyakan. Tetapi setiap kali aku mencintai perempuan, setiap kali pula aku tidak pernah mengungkapkannya. Mungkin ada rasa takut, khawatir dan bimbang yang mendorongku bersikap demikian. Dan aku tidak mengerti dengan perasaanku ini. Aku lebih memilih diam, menikmati perasaanku sendiri dan menuliskannya dalam puisi. Anehnya, sikap ini masih bertahan hingga kini.
Cinta pertamaku adalah tetanggaku sendiri. Dia orangnya cantik, manis, pintar, cerdas, terbuka dan terkesan agak centil. Cukup ganjil memang ketika para pemuda menganggapnya sebagai bunga desa. Tetapi aku tidak menolak anggapan itu, sebab dia memanglah demikian adanya. Itu terjadi sekitar tahun 2003 yang lalu ketika aku masih kelas III MTs dan dia kelas I SMP. Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku kepadanya, tetapi nampaknya dia tahu akan perasaanku itu. Dia pun demikian, sepertinya juga memiliki perasaan yang sama denganku, sebab kerap kali dia datang ke rumah untuk sekedar menanyakan kepada ibuku apakah aku pulang dari pondok atau tidak. Dan kalau tidak, seringkali dia menitipkan salam kepada ibuku. Saat aku pulang, ibu selalu berkata: ”Ada salam dari calon menantuku!” Aku hanya tersenyum-senyum malu ketika itu.
Percintaan yang gelap dan rumit itu berjalan seperti apa yang biasa dikatakan sebagai ”cinta monyet”. Aku dan dia kadang-kadang bertemu secara tak terduga dan mengobrol panjang-lebar tentang segala hal. Di sisinya, hari menjadi demikian sempit. Melihat wajahnya, aku seperti telah melihat wajah keabadian. Aku sangat mencintainya, sungguh mencintainya setulus hati. Tetapi sayangnya, aku harus kecewa pada akhirnya, sebab tiba-tiba pada sekitar tahun 2005 dia datang kepadaku dengan wajah lesu dan mengatakan bahwa dia sudah jadian dengan temanku sendiri yang juga masih tetanggaku. Hancur-leburlah ketika itu. Angan-angan masa depan yang telah kupancangkan rapuh seketika. Aku tidak bisa melukiskan betapa sakitnya hatiku, hingga bertahun-tahun lamanya. Tetapi aku simpan dalam-dalam rasa sakit itu. Aku tak ingin orang-orang tahu. Aku menyimpannya sendiri.
Meskipun sudah tidak ada harapan lagi, rasa cintaku kepadanya tetap bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Sebenarnya aku tidak menginginkan hal ini, sebab sangat mengganggu terhadap hidupku. Tetapi terkadang perasaan seringkali tidak pernah bisa diatur. Apalagi terhadap cinta pertama yang kata orang-orang sulit dilepaskan. Namun alhamdulillah akhirnya perasaan cintaku kepadanya pudar juga. Dan ini terjadi sekitar pertengahan tahun 2009 yang lalu, ketika salah seorang temanku bercerita tentang sisi-sisi negatif dan aib-aibnya. Aku tidak pernah menyangka bahwa – menurut cerita temanku itu – dia playgirl dan sudah berkali-kali berhubungan badan dengan pacar-pacarnya. Bahkan temanku itu bercerita sendiri kepadaku pernah berhubungan badan dengannya.
Setelah itu, mulai tahun 2009 (artinya aku sudah di Jogja sudah sekitar 3 tahun, mulai tahun 2006 lalu), aku berusaha berusaha membuang jauh-jauh kenangan bersamanya dan guratan namanya dalam hatiku. Untuk awal-awal sulitnya minta ampun. Wajahnya, senyumnya, suaranya selalu menghantuiku siang dan malam. Namun akhirnya, aku punya cara, yakni berusaha membuka diri pada perempuan lain. Setidaknya dari saat itu sampai pertengahan tahun 2010 yang lalu ada sekitar 3 perempuan yang sempat menyita perhatianku. Tetapi lagi-lagi aku tidak berani mengungkapkan perasaanku kepadanya. Apalagi setelah aku telusuri, ketiga-tiganya sudah punya pacar. Jadinya aku mengurungkan diri dan berusaha dengan keras membuang jauh-jauh perasaanku kepada mereka.
Saat ini aku sedang menyukai seorang perempuan lagi. Dia orangnya baik, pintar, supel dan sangat mungkin solehah. Wajahnya ayu, seayu personalitas dirinya. Aku yakin dia perempuan yang dapat menjaga diri dan dewasa. Entah, apa karena aku terlalu terbawa perasaan atau tidak, aku tidak tahu. Yang pasti bayang-bayangnya selalu menghantui hari-hariku. Aku selalu tidak yakin bahwa dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Karena dilihat dari tingkah laku dan gelagatnya, perhatiannya kepadaku tidak seperti halnya perhatianku kepadanya. Atau mungkin ini hanya dugaanku saja, bahwa sebenarnya aku tidak pernah mengungkapkan perhatianku lebih jauh kepadanya, sehingga dia tidak merasakan apa-apa.
Aku tahu bahwa dia perempuan yang sangat istimewa dan mengagumkan. Bahkan saking istimewa dan kagumnya aku kepadanya, kerap kali aku meyakinkan diri bahwa dia perempuan yang tidak pantas untukku, bahwa bukan laki-laki sepertiku yang pantas bagi hidupnya. Dia lebih dariku dalam segala hal, baik materi, keanggunan jiwa dan aura fisiknya. Atas dasar perhitungan itu, aku jadi mengutuk diri. Sering aku berkata pada diriku sendiri, ” Fakih, Fakih, kau ini sungguh aneh. Apa yang kau miliki untuknya? Apa kau bisa membahagiakannya dengan keadaanmu yang sekarang ini? Kau itu laki-laki yang sangat tidak pantas baginya. Kau sungguh bodoh dan tolol dengan perasaanmu itu. Kau ini tidak punya apa-apa. Tak ada yang dapat dibanggakan darimu. Kasihan kepadanya bila punya kekasih sepertimu. Meskipun kau ngotot untuk mendapatkannya, paling-paling kau akan ditolak, sebab perempuan sepertinya tidak menginginkan laki-laki sepertimu. Sudahlah, lupakan saja perasaanmu itu daripada nantinya kau sakit hati dan tersiksa lagi.”
Aku termasuk orang yang sulit mencintai perempuan. Tetapi setelah mencintainya, aku adalah orang yang paling sulit melepas rasa cintaku itu. Selama hidupku, hanya 2 kali aku mengungkapkan cinta pada perempuan. Dan sungguh sayang, semuanya ditolak. Mungkin aku memang laki-laki yang tidak pantas dicintai.
Tetapi aku sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa tidak ada perempuan yang mencintaiku selain cinta pertamaku itu, bahwa aku tidak diberi kesempatan berpacaran, sehingga sampai saat ini pun aku belum pernah menyentuh tubuh perempuan. Aku sangat bersyukur bahwa aku merasa masih dijaga oleh Tuhan dari kebiasaan hidup yang barangkali tidak senonoh. Dan seandainya kelak aku dianugerahi seorang perempuan, aku berdoa semoga itu adalah jodohku; semoga dia perempuan yang baik, solehah dan bisa menjadi pasangan yang setia dan bertanggung jawab, sehingga aku bisa mencurahkan dengan sepenuh hati seluruh rasa cinta serta kasih dan sayangku kepadanya. Amien!***
Jogjakarta, 29 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar