Inilah kehidupanku, bagian terkecil dari duniaku:
Cinta yang hilang ditelan waktu, berlalu tanpa mengajakku.
Hari ini, saat-saat dimana aku sudah merasa sendiri, cinta itu bagai debu yang menempel di alas sepatu. Padanya aku tak lagi peduli, padanya pula aku tak lagi simpati. Cinta hanyalah permata yang siap hilang di telan kenyataan. Tanpa ada jejaknya, tanpa ada sisanya. Kini aku berani bertaruh dan akan mengatakan kepada semua orang bahwa perasaan dan pengalaman cinta seperti air di tanah gurun: fisiknya hilang dalam kekekalan ruhnya.
“Aku benci cinta, aku benci cinta,” batinku selalu, “karena cinta buat orang jadi gila: gila karena memilikinya, gila karena kehilangannya.” Aku hanya merasa, terkadang cinta bagai srigala yang makan apa saja dan pula terkadang bagai kunang-kunang yang menyinari malam. Tapi bagiku kini, cinta lebih jahat dari apa saja.
Ini bermula dari sebuah pengalaman yang sangat pelik dan tak pernah kupunya sebelumnya. Seorang wanita, setelah 7 tahun kutaruh dalam hati, tiba-tiba “menusukku” begitu saja. Ia adalah wanita yang sebelumnya selalu kupuja karena prinsipnya, kepribadiannya dan kepintarannya yang luar biasa. Aku suka padanya bukan karena ia terlalu istimewa rupanya, bukan pula karena ia adalah wanita kaya. Ia telah sempurna membuatku gila, karena dengan tanpa alasan aku telah benar-benar menyukainya. Bahkan jika lebih ekstrim aku katakan, aku cinta padanya sungguh apa adanya, bagai luapan rasa dari hati yang paling curam, dan aku tak tahu mengapa ini bisa terjadi.
Seandainya ada orang yang bertanya mengapa aku mencintainya, barangkali aku tak bisa menjawabnya, karena aku suka padanya sungguh tanpa alasan. Sungguh tanpa batasan. Aku menyukainya karena ia adalah wanita yang pantas aku sukai. Aku mencintainya karena ia adalah wanita yang pantas aku cintai. Entah mengapa, ketika ingat dan atau termenung tentangnya, hatiku jadi berbunga-bunga.
Tapi...kini ia “meludahi” perasaan tulusku itu. Bukan cuma ia telah diambil orang, tapi bahkan sudah kehilangan perawan. Cinta dan keperawanannya yang dulu kudambakan, telah dimakan waktu dan harapan. Wanita yang dulunya aku junjung-junjung sebagai orang yang kuat dalam memegang prinsip ketegaran, kini bahkan tidak sama-sekali ia mengindahkannya. Wanita yang dulunya kupuja sebagai Khotijah, ternyata jadi Monica. Menurut temanku, bahkan kini ia pacaran dengan cowok brandal. Dan tentunya ia akan dikenalkan dengan gaya hidup gemerlap dan “tanpa aturan”. Syahdan, menurut teman-teman, semua dugaan itu benar-benar terjadi.
Mendengar berita itu aku terhenyak, tak percaya. Hatiku menangis dan hancur. Aku merasa pupus dan sekaligus kasihan padanya. Akhirnya...cintaku, sebuah kehidupan yang tak pernah kupunya, hilang tanpa sisa. Rasa cintaku yang sempat kuanggap sebagai kesetiaan telah dibohongi oleh wanita pendusta. Sungguh betapa luluh-lantaknya hatiku. Serasa aku tak lagi bisa menahan diri, aku ingin lari dari kenyataan. Kenyataan yang tak pernah memberiku cinta.
Aku hanya bisa merasa kasihan kepadanya, kepada orang tuanya, kepada masa depannya. Aku hanya bisa berharap semoga masa depan diri dan karirnya berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh orang tuanya. Dan aku selalu berdoa agar ia mendapatkan pendamping yang lebih sempurna, seseorang yang bisa membimbingnya.
Ini akan kuanggap sebagai pengalaman berharga yang mengandung hikmah. Aku tak ingin pupus cinta untuk kedua kalinya. Aku tak ingin sembarangan memilih wanita. Ia harus kupunya sepenuhnya, jiwa-raganya. Dan ia harus selalu bersamaku, agar aku dapat menjaganya selalu. Selai itu, ia adalah orang yang bisa menghargai perasaan, kenyataan, dan hidupku. Ia adalah orang yang selalu mengatakan “tidak” untuk laki-laki selainku. Di luar kategori wanita seperti itu, aku tak manu. Kecuali memang ada takdir lain dari Tuhan, aku tak tahu. Daripada aku selalu sakit hati, mending aku tak sama sekali mengikat cinta. Karena cinta hanya membuat orang jadi gila: gila karena memilikinya dan gila karena ditinggalkannya. (06/09/08).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar