Selasa, 18 November 2008

Liburan di Rumah Pada Semester Genap Pertama

Liburan kali ini memberiku kesan yang lain. Kesan tentang keluarga, teman-teman dan semangat hidup yang baru. Mereka seperti segetun masa lalu yang kembali aku merajutnya. Mereka adalah serangkum harapan yang terus aku damba. Memang ini bukan pengalaman yang pertama, tapi setidak-tidaknya adalah kesan yang paling mempengaruhi hidupku sebagai seorang pemuda yang selalu gelisah mencari makna.

Tidak ada perubahan yang berarti memang dari penampilanku saat pertama kali menginjakkan kaki di desa tumpah-darahku, Kerta Timurku. Baju, celana, tas dan segala asesoris yang aku pakai sangatlah sederhana, seperti tak menampilkan aku datang dari kota. Memang aku tidak suka gaya-gayaan. Bahkan tas dan sandal yang aku pakai pinjam kepada teman. Rambutku agak gondrong, sampai setengah punggung. Ini sudah biasa setiap kali aku pulang dari Jogja. Aku lebih suka rambut gondrongku dipotong di rumah saja kepada teman. Tapi yang esensi kesan atas liburanku bukan terletak pada hal remeh-temeh itu.

Tujuan aku pulang ialah selain rindu kampung halaman juga ingin bantu-bantu orang tua menanam tembakau. Aku ingin belajar bagaimana menjadi petani yang sesungguhnya, karena itu aku selalu berusaha mengisi tiap waktu liburanku dengan hal-hal yang biasa dilakukan oleh para petani: jalan hidup rata-rata para tetanggaku.

Pagi-pagi aku menyapu halaman, menyiram tanaman, dan setelah itu pergi ke sawah buat menyiram tembakau. Siangnya aku sisihkan waktu buat bersenda dengan sanak keluarga atau teman-teman, atau malah tidur. Sore harinya kalau tidak main bola, aku menyabit rumput atau membantu nenek menanam sayur-mayur, mencari kayu bakar dan memanen singkong. Malamnya, aku pasti ngumpul-ngumpul bareng teman-teman. Demikianlah hari-hari liburanku aku lalui.

Tapi ini tidak monoton. Selalu ada hal-hal kecil yang bisa aku lakukan seperti membaca buku, menulis puisi, belajar mendalami rumus-rumus fisika. Apalagi setelah tembakau jatuh panen. Tak ada sepertinya hidup tanpa tembakau. Pagi dan sore aku pasti membantu para tetanggaku memanen tembakau. Dan malamnya aku membantu mereka masat tembakau. Tak luput di sela-sela itu, aku membantu emak atau embuk menyabit rumput.

Dalam liburan itu sungguh aku merasakan betapa beratnya menjadi petani, tapi disamping itu pula sangat menyenangkan menjalani hari-hari. Kalau di Jogja hari-hariku penuh dengan penderitaan, seperti sering kelaparan, selalu gelisah mencari jati diri, dan gedung-gedung menjadi obyek tatapan, lain halnya aku di kampung. Hari-hari aku lalui dengan suka cita, permai, dan pemandangan-pemandangan hijaunya sungguh menyejukkan mata.

Lebih-lebih memang ketika ngumpul dengan keluargaku. Aku sangat menyayangi mereka: ibu, nenek dan adikku yang nakal itu. Bagitu pula nenk-kakek samping, paman-bibi, dan keluargaku di Ambunten. Aku merasakan kehangatan yang luar biasa dari mereka. Semangatku terangkum dalam tawa-murung wajah mereka. Kesan itu bertambah besar ketika aku merasa bahwa sudah saatnya aku memberikan kasih-sayang kepada mereka dengan cara yang lebih dari sebelum-sebelumnya.

Apalagi saat turut merasakan penderitaan mereka, aku merasa semakin berat untuk kembali ke Jogja. Aku ingin selalu berada di samping mereka, turut ikut dalam suka dan derita mereka. Tapi keputusan itu menurutku terlalu sempit, walau sesungguhnya hal ini sangat aku paksakan. Untuk membahagiakan mereka aku kira tidak harus selalu bersama mereka. Dengan menuntut ilmu di Jogja dengan sebenar-benarnya belajar menurutku lebih urgen. Karena aku yakin kelak, setelah aku sukses mencari sesuatu yang kurang dari diriku, aku dapat lebih membahagiakan, mensejahterahkan dan membanggakan mereka.

Karena itu, aku putuskan untuk kembali ke Jogja, kembali mengeja hidup yang penuh makna. Itu saja. (28 Juli 2008).

Tidak ada komentar: