Secara substansial, agama diturunkan untuk membentuk kemanusiaan yang beradab. Seandainya manusia diciptakan tuhan dengan sempurna, baik secara sikap maupun sifat yang utamanya bertendensi pada kemanusiaan universal, barangkali agama tidak akan pernah dihadirkan. Maka pentingnya ajaran agama ialah mengatur bagaimana sesungguhnya manusia menyikapi kehidupan pribadinya, sosial, lingkungan, tuhan, dan sebagainya. Menurutku, terlepas dari tujuan itu, dalam tataran tertentu, agama tidak terlalu penting. Perkembangan pembahasan seputar agama yang selama ini kita kenal dalam teologi, relegiusitas, spiritualitas, dan filsafat agama hanyalah berupa turunan dari tujuan utama itu. Namun yang perlu dipertanyakan, apakah keempat termin tersebut telah membawa spirit tujuan agama secara substansial?
Pertama-tama harus dipahami bahwa lahirnya banyak faham dan interpretasi terhadap suatu agama ialah karena terdapatnya penekanan khusus para penganutnya terhadap sisi syakralitas dan profanitas agama yang dianutnya itu. Namun dapat kita saksikan, indikasi dari hal ini kemudian memunculkan aliran fundamentalisme atau liberalisme, yang pada batas lebih ekstrem, menampakkan suatu pengertian dan tendensi yang menganggap agamanya lebih baik daripada agama lain dalam segala sesuatunya. Indikasi inilah yang kemudian manurut saya turut menciptakan kesenjangan antar pemeluk agama. Padahal jika mengacu pada hakikat tujuan diturunkannya agama, indikasi tersebut merupakan hal di luar batas kewajaran, bahkan dapat dikatakan melenceng dari apa yang diharapkan oleh lahirnya agama itu sendiri.
Bagiku, agama yang baik ialah ketika ajaran-ajarannya menjadi ruh para pemeluknya. Selain itu, misalnya agama yang hadir dalam ruang filsafat, teologi, spiritualitas, atau pada paham lain yang diturunkan dari ajaran-ajarannya yang justeru kemudian menciptakan keretakan sosial dalam batas hidup wajar kemanusiaan, bagiku, hanyalah menjadi petaka atau sumber anarkisme sosial belaka yang diciptakan oleh umatnya sendiri. Agama semacam ini tidak lagi azali, karena telah dicampur-adukkan atau dikomodifikasi dengan penalaran objektif dan tidak subjektif. Dan hal ini belum disadari oleh rata-rata manusia pada zaman ini, suatu zaman yang dikatakan maju.
Sesungguhnya seluruh ajaran agama yang ditunjukkan dalam kitab sucinya, ialah semata-mata untuk kemaslahatan sosial dan perbaikan hidup individual. Di samping itu, bagi saya pribadi, agama tidak mempunyai maknanya. Namun pertama-tama untuk mesjustifikasi pendapat saya ini, maka harus diperjelas terlebih dahulu secara garis besar, apa isi dari keseluruhan kitab suci dalam tiap agama?
Pertama, kitab suci membicarakan tentang tuhan, berkenaan dengan sifat dan eksistensi dzatnya. Tentang eksistensi dan sifat dalam tiap kitab suci agama-agama, tuhan digambarkan sebagai dzat tunggal yang memiliki dimensi sifat penguasa, pencipta, pengatur, pengasih, penyayang, absolut dan sebagainya. Dan ajaran tentang semua ini, sepenuhnya dipegang sebagai yang-determinan oleh tiap-tiap pemeluk agama, sehingga seandainya ada yang mencela “sifat tuhannya” itu, mereka tidak segan-segan akan mengutuknya, bahkan membunuhnya. Mereka akan mengagungkan tuhannya sendiri secara berlebih-lebihan tanpa didasarkan pada satu kerangka filosofis yang lebih mempuni. Sikap semacam inilah, bagi saya, merupakan kesalahan fatal manusia.
Menurut saya, umat semacam ini telah teretidur di atas kesadarannya sendiri. Ajaran tentang eksistensi dan sifat tuhan, dalam pemahaman mereka masih dianggap sebagai medium bagi tuhan untuk disembah dan diagungkan oleh mereka. Padahal, jika memang itu landasan epistemologinya, betapa tuhan tidak Maha Kuasanya, karena masih butuh terhadap apa yang oleh manusia dikatakan sebagai penghambaan. Bila demikian, tuhan tidak lagi sebagai yang-absolut, dalam artian masih memiliki sifat berketergantungan.
Bagi saya pribadi, tuhan tidak memerlukan pengagungan dan penyembahan dari manusia, karena Dia adalah pencipta yang Maha Sempurna dari segala kebutuhan. Dia adalah yang Haq dan sama sekali tidak memiliki sifat egois seperti yang dibayangkan oleh manusia selama ini. Dia tidak butuh apa-apa dari mahluk ciptaannya, kecuali hendak mengantar mereka kepada alam kemaslahatan dan keberadaban. Tidak lebih dari itu. Tapi mengapa tuhan masih membicarakan tentang sifat dan eksistensi Dirinya dalam tiap kitab suci agama secara – lebih radikal dikatakan – berlebihan? Inilah sebenarnya yang harus pertama-tama direnungi oleh manusia, bukan lantas menerimanya tanpa adanya daya kritisisme dan kuroisitas yang tinggi.
Jogja, 23 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar