Beberapa bulan belakangan ini, hatiku terasa hampa, kosong dan seperti tak pernah menemu tambatan. Entah bagaimana waktu begitu cepat membawaku jauh dari masa lalu. Tak sekali waktu, seperti biasanya dalam hidupku, ia mampir dalam perenungan, membawa aroma baru yang mencerahkan dalam hidupku. Ia terasa lain, seperti sesuatu yang tak pernah berarti sama sekali. Padahal, betapa ia menjadi obor dalam setiap jalan yang aku tapaki. Ia seperti seorang ibu, mengasuhku sepenuh hati. Aku terasa asing tanpanya. Merasa bahwa tak pernah menjadi seorang manusia, seorang anak desa.
Di tanah perantauan ini, aku rasa masa lalu adalah kekuatan, sesuatu dimana ketika dahaga ia selalu menyediakan air kesadaran. Tanpanya, entah bagaimana gersangnya hatiku. Saat dalam keadaan susah dan dipenuhi oleh kesulitan hidup, ia datang membawa kehangatan. Dikala hidup terasa sumuk, jiwa gelisah, hati merana, ia adalah satu-satunya kawan yang paling setia berbagi rasa, berbagi duka. Aku tak sudi, ia hilang dan lenyap dalam kesadaranku.
Meski aku tak pernah bisa menyemainya lagi, setidaknya hidupku terasa berarti dengan kehadirannya. Barangkali dialah satu-satunya yang dimiliki oleh manusia ketika tak punya apa-apa lagi Dialah yang paling setia mendampingi perjalanannya dan memberinya pelajaran hidup yang kekal dan abadi. Dialah mungkin sesuatu yang diciptakan Tuhan agar manusia selalu sadar dari mana ia berasal dan bagaimana ia harus memperlakukannya.
Jogja, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar