Mungkin aku memang tidak bisa lari dari kenyataan latar belakangku, bahwa aku ini adalah anak pesantren tulen. Karena setiap kali aku berpikir untuk melepaskan diri dari latar belakangku itu, selalu saja tersebat di hati perasaan bersalah dan sesuatu yang lalu membuatku ragu akan keberadaanku yang sesungguhnya.
Aku memang tidak bisa baca kitab kuning, setidaknya sampai aku keluar dari pesantrenku, PP. Annuqayah Daerah Lubangsa (2000-2006); tidak bisa berkhotbah dan berceramah; penampilan luaranku juga tidak menampakkan bahwa aku adalah seorang yang benar-benar santri; di pesantren juga aku sering melanggar peraturan, dan banyak teman-teman santri yang bilang, kesantrianku masih perlu dipertanyakan. Tapi entah mengapa, di dalam diriku seperti ada sesuatu yang tak bisa aku elakkan: mungkin ghirah kesantrian, mungkin juga diri kepesantrenan.
Dulu, semasih jadi santri, aku berpikir tentang hal yang macam-macam. Menurut pikiranku kala itu, jadi santri adalah suatu hal yang paling buruk dalam pengalaman hidup. Santri itu adalah lambang dari kekolotan, keterasingan dari gaung peradaban, bagian dari orang-orang yang tidak akan pernah maju-maju, selamanya. Aku juga berpikir, bahwa dalam kenyataanku, aku tidak cocok jadi santri, dengan alasan yang seringkali kubuat-buat sendiri dan kubenarkan sendiri. Pokoknya, ah..waktu itu aku sangat menyesali tuntutan orang tuaku yang membuatku terkurung dalam “kubangan kejumudan” itu.
Setelah lulus dari pesantren pun, pikiran-pikiran semacam itu terus menghantuiku. Pada awal-awal di Jogja (2006) – dan ini berlanjut sampai awal-awal aku jadi mahasiswa (2007) – aku selalu mengelak dari kenyataan latar belakangku. Meskipun di Jogja aku juga hidup di pesantren (PP. Mahasiswa Hasyim Asyi’arie), aku tidak mau orang-orang tahu kalau aku santri. Ketika berkenalan dengan teman-teman kampus, misalnya, aku selalu bilang bahwa aku bukan lulusan Madrasah Aliah, tetapi SMA (identitas Annuqayahnya aku buang), dan juga bahwa tempatku memang bukan di kost, tetapi di asrama mahasiswa (untuk setidaknya tidak mengatakan di pesantren).
Tetapi, sepandai-pandainya orang menyimpan kebenaran, kelak pasti terungkap juga. Akhirnya teman-temanku tahu – bahkan semua orang – kalau aku seorang santri, orang pesantren tulen, produk asli suatu ruang hidup yang dulu aku anggap sebagai “kubang kejumudan”. Meski pada awalnya aku kecewa dengan semua ini, setidaknya aku puas bahwa aku mulai paham dengan keadaan.
Dan memang, ruh kesantrian dalam diriku tidak pernah bisa dihapus atau dipermak sedemikian rupa, bahkan hingga kini – dan aku harap untuk selamanya. Kesantrian memang kadang menimbulkan suatu kecenderungan yang “tidak enak di dengar”, tetapi tidak buatku kini. Aku sudah mulai sadar bahwa selamanya aku tidak bisa memaksakan diri untuk selalu mengelak dari latar belakang yang telah memahat hidupku. Aku adalah santri, dan hal ini tidak bisa dihapus dari catatan hidupku, oleh siapa pun, sekalipun oleh diriku sendiri.
Aku kini sudah merasa cukup bangga dengan kesantrianku, meski hingga detik ini pun aku belum bisa baca kitab kuning, belum bisa jadi khotib atau penceramah, bahkan belum bisa secara benar “memasang songkok dan melipat sarung sendiri”. Kesantrian adalah identitasku, ruh hidupku, suatu bagian yang kini aku rasakan telah menimbulkan efek luar biasa dalam proses kreativitasku, juga proses pembentukan kepribadianku. Bahkan dalam diriku kini tersimpan suatu ambisi: aku ingin menunjukkan kepada publik bahwa stereotipe jelek terhadap santri dan pesantren adalah salah total. (02-10-2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar