Selama di Jogja (17 Agustus 2006) sampai hari ini (24 Mei 2011), hanya dua kali aku berpengalaman jadi penyaji. Pertama di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang dalam acara Pekan Tadarus Sastra – sebagai bagian dari perayaan Haflatul Imtihan – pada tanggal 20-21 Juni 2010. Di sana aku didakwah jadi pembedah buku novel Sepasang Sayap di Punggungmu karya Mangun Kuncoro pada tanggal 20 dan antologi puisi Mazhab Kutub karya penyair-penyair Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta pada tanggal 21. Audiennya rata-rata adalah anak SMA-SMP, sedikit mahasiswa, penggiat sastra Jombang serta wartawan Radar Mojo.
Kedua di Ruang Teatrikal Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam acara bedah buku antologi puisi karangan M. Faizi, Permaisuri Malamku, pada tanggal 21 Mei 2011. Sebagai penyaji, selain penulisnya, adalah aku dan Afrizal Malna. Aku ditugasi berbicara isi sajak-sajak dalam antologi puisi tersebut yang rata-rata berisi tentang alam semesta, sementara Bang Afrizal dari sisi kritik sastranya. Audiennya cukup banyak, barangkali 100-an orang yang terdiri dari berbagai latar belakang: mahasiswa (UIN, UNY dan UGM), anak teater ESKA, anggota IAA Yogyakarta (Ikatan Alumni Annuqayah Yogyakarta) serta satu-dua penyair (baik muda dan tua).
Untuk pengalaman yang kedua ini ada kesan tersendiri bagiku. Bagaimana tidak, buku yang dibedah adalah karangan penyair yang sudah kesohor. Selain itu, aku didudukkan satu kursi dengan Afrizal Malna yang menurut sejumlah kritikus sastra adalah merupakan “penyair besar“. Untungnya aku hanya ditugasi untuk berbicara soal “kisah alam semesta“ serta hubungannya dengan isi puisi, sehingga aku dapat dengan leluasa berbicara ini dan itu tentang topik yang memang pernah aku mempelajarinya di kampus. Uniknya, meskipun bagiku apa yang aku bicarakan tidaklah cukup istimewa, mendapat sambutan antusias dari audien. Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah jika memang betul bahwa para audien merasa senang dengan apa yang aku sampaikan.
Undangan untuk acara tersebut datang secara mendadak ketika aku di Kost Bahauddin – temanku – sedang memperbaiki notebookku. Undangan itu melalui sms, dari teman Bernando J. Soedjibto (biasa dipanggil BJ). BJ memintaku untuk membahas puisi-puisi M. Faizi dalam perspektif ilmu Astrofisika. Tanpa dipikir panjang, aku terima tawaran itu. Aku pikir, ini merupakan jalan buatku mengamalkan ilmu yang aku miliki. Aku tidak menanyakan soal honor, sebab bagiku hal yang paling membahagiakanku adalah dapat bersilaturrahim dan saling berbagi ilmu dan pengalaman. Apalagi setelah tiga hari setelah undangan itu aku tahu panitianya (IAA-ESKA) tidak cukup dana untuk membayar pembicara. Jadi, aku semakin bisa untuk tidak menghiraukan soal itu.
Setelah acara tersebut selesai, Bang Afrizal meminta kontak saya. Katanya, dia mau mengudang saya untuk acara pertunjukannya. Aku menerima email darinya tanggal 23 Mei. Isi email itu, Bang Afrizal berharap aku bpergabung dalam acara pementasan tari Group Kelola sebagai perpanjangan program instansi EWA 2011 (Empowering Women Artis 2011) di Taman Budaya Jawa Tengah Solo. Hingga hari ini, aku belum bisa memutuskan bisa-tidaknya. Hanya saja, aku pikir, jika ini adalah jalan buatku berbagi ilmu dengan orang lain, apalagikah alasan untuk menolaknya. Dalam acara itu, demikian minta Bang Afrizal, adalah sebagai pendamping dan pembicara dalam acara diskusi pengenalan seputar “fenomena langit“.
Mungkin ini adalah berkah, tetapi mungkin juga hal yang hanya akan mengakibatkan sesuatu yang buruk bagi diriku. Aku tidak ingin disibukkan oleh hal-hal di luar aktivitasku. Aku tidak ingin jadi orang sibuk, itu saja. Sebab kesibukan membuatku menjadi tidak “istimewa“ dalam menjalani hari-hari. Aku sangat tidak bisa untuk menjadi terkenal seperti mereka-mereka, bisa bersombong diri, menjadi elit dan teralienasi dari kehidupan “sederhanaku“. Tetapi aku selalu ingat pesan guruku, “Jadilah orang yang bisa membahagiakan orang lain, sebab tanpa orang lain, kau tidak berarti apa-apa“. Kata-kata itulah yang selalu terngiang-ngiang dalam diriku, dan aku menyadarinya sebagai suatu “kebenaran“. Lagi pula, betapa kecewanya Bang Afrizal yang sudah dengan rendah hatinya memintaku bergabung dengan dia dalam acara itu ketika nanti aku putuskan untuk menolak tawarannya? Bagaimana juga bila seandainya aku meminta temanku untuk membantuku kemudian dia tidak mau?
Aku pikir, jika aku terima tawaran ini, mungkin akan semakin memperbanyak perbendaharaan pengalamanku. Pengalaman, kata orang, adalah guru yang paling baik. Lagi pula, apa sih susahnya bergabung bersama mereka dalam acara yang tidak terlalu lama itu. Apalagi acara itu, aku yakin, adalah bagian dari kebaikan. Mungkin jika acara itu adalah bagian keburukan, maklum saja aku berpikir panjang untu menerimanya, atau langsung menolaknya. Ini kebaikan kok. Mungkin acara ini akan menjadi semacam ritual untuk memperbanyak amal kepada orang lain. Hitung-hitung juga, aku pikir, bila Allah telah membuka jalan bagi manusia, tidakkah dia menyambutnya dengan suka cita? Aku selalu minta jalan yang lurus kepada Allah, tetapi setelah diberiNya jalan lurus, aku malah menolaknya. Bukankah tindakan itu sangat aneh dan tidak rasional? Ya sudahlah, aku akan menerimanya segenap jiwa. Ya Allah, jadikanlah ini sebagai media untukku semakin mendekat ke hadiratMu. (24 Mei 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar