Jumat, 27 Mei 2011

SISKA DAN LAGU-LAGU MALAYSIA

Aku masih ingat, ketika aku kelas 6 SD dan Siska kelas 4 SD, aku suka menyanyikan lagu-lagu Malaysia bersama teman akrabku, Nono. Aku dan Nono, ketika istirahat sekolah, kerap duduk-duduk santai di belakang sekolah dan menyanyikan lagu-lagu Malaysia yang banyak kami hafal bersama-sama. Kami duduk di pinggir lapangan – lapangan sepak bola itu terletak di belakang sekolah kami – sambil melihati anak-anak yang sedang bermain riang. Nono melihat Sri, perempuan dambaannya, sementara aku melihat Siska. Begitu PD-nya kami ketika itu, kami merasa bahwa kamilah laki-laki terganteng dan teromantis ketimbang teman-teman yang lain, sehingga belumlah kami mengungkapkan rasa cinta kami kepada perempuan pujaan kami masing-masing, kami sudah memastikan bahwa mereka juga merasakan hal yang sama dengan kami.

Tidak ada yang tahu bahwa aku menyukai Siska kecuali Nono. Bahkan mungkin Nono pun tidak terlalu memahami perasaanku yang sebenarnya kepada Siska, sebab aku hanya menceritakan sedikit dari perasaanku kepadanya. Memang orang yang sangat introvert, apalagi terrhadap perasaanku. Aku merasa lebih enak menikmati perasaanku sendirian, temasuk juga menikmati hanyalan dan impian-impianku.

Saat musim sepeda, Siska selalu memamerkan sepedanya kepada teman-temannya. Aku yang tidak memiliki sepeda, sering meminjam sepeda kepada Nono atau Sipul. Aku bermain sepeda dengan teman-teman yang lain, kadang berusaha menunjukkan kelihaianku beratraksi sepeda. Hanya satu tujuannya, biar Siska kagum kepadaku. Tetapi ternyata Siska tidak kagum dengan sikapku yang seperti itu. Sepertinya dia ingin aku menjadi diriku sendiri, Fakih yang romantis dan tidak ugal-ugalan seperti anak yang lain. Itu anggapanku saja. Aku tidak tahu apakah memang demikian perasaan Siska, sebab kalau tidak ada hal yang sangat penting, aku tidak bicara dengan Siska. Aku menikmati senyumannya, kegenitannya, kecantikannya, kemanisannya, gerai rambutnya, lentik bulu matanya, langsing tubuhnya, dan lain-lainnya dari jauh.

Melihatnya saja aku sudah bersyukur. Aku sudah bisa menghayalkan hal-hal yang manis dengannya. Ketika Siska tersenyum kepadaku saat aku melakukan hal-hal yang bodoh, misalnya, aku sungguh berbunga-bunga. Ketika dia memarahiku karena alasan yang kadang-kadang aneh, hatiku berpendar-pendar. Menyebut namaku saja, meskipun entah dia memarahiku atau menjelek-jelekkanku, aku bisa menjadi sangat bangga. Ah, sungguh luar biasa energi cinta yang mengaliri tubuhku.

Kadang dia memamerkan kecerdikannya bermain permainan-permainan perempuan di hadapanku. Mungkin agar aku memerhatikannya. Aku pun membalasnya dengan menyanyikan lagu-lagu Malaysia kesukaanku. Dia pun ketawa-ketawa melihatku yang sok romantis, bahkan tidak jarang ketika itu, dia menjelek-jelekkanku di hadapan teman-temannya. Tetapi anehnya, aku merasa tidak dijelek-jelekkan, tetapi justru merasa hal itu sebagai bahasa lain bahwa dia menyukaiku. Dengan berbekal itu, aku pulang sekolah dengan perasaan yang riang.

Meskipun rumah dan sekolahku berdekatan, aku biasa datang pagi ke sekolah. Ini aku lakukan agar bisa melihat Siska datang. Biasanya dia bersama adiknya atau diantar orang tuanya, tetapi lebih sering jalan bersama teman-temannya. Dapat dipastikan, ketika datang ke sekolah pagi-pagi, rambutnya basah. Ini yang aku suka, sebab dengan begitu kecantikan Siska lebih natural dan aura mukanya bersinar. Kebetulan ruang kelas 4 ada di paling pojok sekolah, sehingga anak-anak kelas 4 harus lewat di depan kelas 6. Ketika Siska lewat di depan kelas 6, aku berusaha berpenampilan perfect. Kunyanyikan lagu-lagu Malaysia untuk menyindirnya. Dia pun menoleh kepadaku dengan senyumnya yang indah. Dan aku pun sangat bahagia sekali.

Hal yang paling aku sesali bahwa setelah lulus SD, orang tuaku menuntutku supaya mondok di PP. Annuqayah Guluk-Guluk (perjalanan sekitar 2 jam dari rumahku). Dengan begitu aku tidak lagi bisa melihat wajah Siska tiap hari. Serasa aku ingin menangis dengan keputusan orang tuaku itu. Serasa aku tidak bisa dilepaskan dari sisi Siska. Aku ingin melihatnya tiap hari meskipun hanya sesaat. Tak apalah aku dan dia jarang bicara karena perasaan kami masing-masing, yang penting aku bisa bertemu dia setiap hari. Tetapi apa daya, keputusan orang tua itu tidak dapat kutolak.

Kesempatan satu-satunya bertemu dengan Siska adalah ketika liburan atau idzin pulang ke rumah setiap bulan. Aku manfaatkan kesempatan itu. Untuk awal-awal mondok, aku memang jarang pulang agar aku bisa cepat beradabtasi dengan kehidupan baru itu. Tetapi lebih dari setahun aku mondok, aku pamit pulang tiap bulan sekali. Tujuannya hanya satu, ingin melihat Siska. Kesempatan melihat wajahnya pun sangat terbatas, yakni hanya di sekolah SD, sebab rumahku dengan rumahnya agak berjauhan. Atau kadang kalau rinduku sudah meluap-luap, aku bermain ke rumah Bambang, kakak kelasku. Kebetulan rumah Bambang berhadap-hadapan dengan rumahnya, hanya dibatasi oleh jalan raya. Jadi aku tidak perlu mencari alasan yang tidak-tidak untuk sekedar melihat wajah Siska. Tinggal duduk di teras rumah Bambang, aku sudah bisa melihatnya.

Biasanya, ketika aku ada di rumah Bambang, selalu saja ada alasan bagi Siska untuk bermain di halaman rumahnya. Mungkin dia ingin juga melihat wajahku yang sudah jarang dilihatnya. Mungkin dia juga merindukanku ketika aku ada di pondok. Mungkin dia merasakan hal yang sama dengan perasaanku. Mungkin dia mencintaiku. Mungkin dia menyayangiku. Aku tahu itu dari gelagatnya yang aneh ketika kutatap wajahnya. Sungguh betapa bangganya aku bisa menjadi laki-laki yang dicintai oleh seorang perempuan yang sangat aku cintai.

Saat aku duduk-duduk di depan rumah Bambang dan Siska duduk di rumahnya berhadapan denganku, kunyanyikan lagu-lagu Malaysia yang nampaknya sudah menjadi kenangan itu. Dia tersenyum pahit. Aku tahu bahwa kenyataan ini juga turut menyakitinya. Aku tahu Siska juga ingin kenyataannya berubah seperti dulu-dulunya, aku kelas 6 dan dia kelas 4, dan kita bisa bertemu setiap hari. Dia seperti ingin menangis saat kukeraskan nyanyianku. Aku bisa merasakan sakit hatinya terhadap takdir yang sepertinya tidak sesuai dengan keinginan-keinginan kami.

Dia pernah berkata kepadaku bahwa ketika aku pulang kampung agar sekali-kali bermain ke sekolah. Mungkin dia ingin mengulang kenangan-kenangan dulu. Aku pun turuti kemauannya. Tidak hanya sekali-kali aku datang ke sekolah SD, tetapi justru tiap hari. Bisa saja sampai setengah hari aku di sekolah. Hanya satu tujuannya, melihat raut wajahnya dan ingin mengulang kenangan-kenangan manis dulu. Dia pernah berkata kepadaku, “Seandainya kamu masih sekolah di sini, Fakih!“. Aku hanya bisa menunduk di hadapannya. Ingin sekali aku memeluknya, memegang tangannya dan mengecup keningnya sebagai tanda cintaku kepadanya.

Siska adalah perempuan pertama – dan mungkin hingga saat ini – yang mengenalkanku pada hakikat cinta yang sejati. Dia cinta pertamaku. Dia perempuan yang pernah mengajariku banyak hal, terutama tentang bagaimana tegar di hadapan takdir yang tidak memungkinkan cinta kita bersama kembali seperti dulu-dulunya. Sekarang Siska sudah tunangan dengan seorang polisi dari Pamekasan. Aku tahu berita ini dari emakku. Dia pun sudah lulus kuliah keperawatan di Bangkalan. Katanya, sebentar lagi dia akan menikah. Sementara di Jogja, aku terus-menerus mengenangnya sebagai kekasih abadi. Aku selalu bertanya-tanya, apakah sekarang perasaannya sudah tidak seperti perasaanku? Apakah dia telah melupakanku sepenuhnya?

Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku hanya ingin keadaannya manis seperti semula, yakni ketika aku masih mondok, di mana Siska berulang kali bertanya kapan aku akan pulang kampung kepada emakku. Siska bertanya macam-macam tentangku kepada emak, apakah aku kerasan di pondok atau tidak? Apakah tubuhku kurus atau malah tambah gemuk? Bagaimana prestasi-prestasi sekolahku? Apakah aku masih nakal seperti dulu? Aku tidak bisa membayangkan apakah dia juga bertanya, apakah aku sering menyanyikan lagu-lagu Malaysia untuk mengingatnya?

Siska, Siska, engkau sebentar lagi akan memasuki jenjang hidup baru, pernikahan itu, sesuatu yang dulu pernah kita hayalkan bersama. Kita menikah, hidup bersama sampai tua, sampai ajal menjemput kita. Kini kau secara resmi akan menjadi milik orang lain untuk selamanya. Aku relakan engkau, sebab aku tidak ingin menggangu kebahagiaan kalian. Aku juga tahu bagaimana perasaan calon suamimu. Mungkin dia cinta dan sayang kepadamu sebagaimana aku. Biarlah aku menjelma dalam dirinya. Selamat menempuh hidup baru, Siska! Selamat menempuh hidup baru! Meskipun kita tidak bersama, aku akan selalu mencintaimu dan merindukanmu hingga akhir hayatku. Sampai kapan pun aku akan selalu menyanyikan lagu-lagu Malaysia kesukaanku dulu. Sampai kapan pun, aku akan selalu mengingatmu. (27 Mei 2011)

Tidak ada komentar: