Hampir setahun lebih aku mengikuti pengajian tasawwuf Cak Kuswaidi Syafi’ie, meskipun tidak istiqamah. Pengajian itu kadang dimulai pukul 01.00 sampai subuh, kadang juga sore pukul 16.00 sampai maghrib. Tempatnya pun berpindah-pindah, kadang di warung kopi, caffe dan di Lapangan Karang Kota Gede. Cak Kus – begitu kami memanggilnya – adalah guruku spiritualitasku yang pertama. Beliau adalah guru keduaku di Jogja setelah almarhum K.H. Zainal Arifin Thoha (semoga Allah menempatkannya bersama para auliya’ dan para ‘abidin yang dicintainya).
Dulu, Cak Kus sangat keras dalam mendidikku. Kalau aku salah, beliau kerap memarahiku, sehingga hingga kini pun, di mana Cak Kus sudah semakin arif dan bijaksana, perasaan takutku kepada beliau belum pula pudar. Aku jujur, lebih besar rasa takutku dari pada tawaddu’ku kepada beliau. Jadi, rasa takut itulah yang membuatku selalu merasa salah tingkah di hadapan beliau. Tetapi demikianlah, beliau adalah guru spiritualku yang sangat luar biasa alim dan sangat aku kagumi.
Aku tidak bisa menguraikan satu-persatu apa saja yang beliau ajarkan kepadaku. Aku hanya menangkap – ingat, ini hanya tangkapanku belaka – bahwa aku diajarkan bagaimana menganggap selain Allah itu tidak penting. Kemuliaan manusia adalah apabila dia telah tenggelam ke dalam telaga Ilahi. Dunia adalah kenyataan yang fiktif, tidak ada, dan oleh karenanya sangat rendahlah ia. Aku dibimbing bagaimana senantiasa merasakan kehadiran Allah, bersama Allah, hidup di dalam cahaya cinta Allah.
Awal-awal aku dapat menerima akan hal itu. Aku menganggapnya adalah jalan hakikat yang mesti disadari olehku dan aku jalani sepenuh hati. Membenarkan syari’at dan “bercumbu-rayu” dengan hanya Allah adalah tujuan mulia hidupku di dunia – begitu menurutku dulu. Membuang cinta dunia merupakan satu hal yang pokok yang harus aku usahakan. Oleh karenanya, aku menjadi sangat menikmati kehidupan yang demikian. Aku sedikit demi sedikit dapat “mencicipi” air “telaga yang tak berpantai” itu. Aku sangat senang bershalawat sendiri, berdzikir di tengah malam sendiri, senang menghadiri majelis-majelis dhiba’ dan sebagainya yang berhubungan dengan Allah dan Nabi.
Tetapi entah kenapa aku menjadi seperti hidup di dalam bayang-bayang yang tak nyata. Dunia di mataku seperti onggokan sampah yang tak berguna. Aku menjadi sangat tidak tertarik kepada dunia, sehingga apa pun yang berhubungan dengan dunia aku mulai sedikit abai. Aku semakin menganggap minor dengan pandangan-pandanganku terhadap impian-impian duniaku. Aku menjadi sangat asing dengan cita-citaku dulu yang ingin menjadi seorang intelektual, fisikawan dan sastrawan. Aku menjadi ogah-ogahan belajar dan menulis.
Itu aku kira belumlah seberapa. Terhadap semua derajat-derajat keduniaan aku sudah mulai menertawakannya, menganggapnya sebagai sesuatu yang hampa dan sama sekali tak berguna. Terhadap orang-orang yang menggumuli dunia aku kian menilainya secara minor. Aku menjadi tidak tertarik lagi berteman dengan orang-orang yang jauh dari Allah. Pokoknya aku merasa seperti orang asing terhadap dunia dan kehidupan di sekelilingku, bahkan mungkin terhadap diriku sendiri.
Lalu setelah lebaran kemarin (2011), aku jadi menggelisahkan anggapan dan jalanku ini. Aku menjadi bertanya-tanya, mengapa aku menganggap jalanku ini lebih suci ketimbang jalan yang ditempuh oleh teman-temanku atau orang-orang di sekelilingku yang tidak berbau akhirat? Mengapa aku sudah tidak produktif lagi menulis, sudah jarang lagi membaca, belajar dan menajamkan otakku? Mengapa aku harus menganggap dunia tidak penting, padahal aku ini hidup di dunia? Mengapa aku harus meninggalkan teman-temanku yang menurut pandanganku tidak dekat dengan Allah? Mengapa aku harus memaksakan diri untuk tidak hanya mendekat kepada Allah, tetapi juga “bercinta” dengan-Nya?
Ini hanya sebagian dari pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dalam kepalaku. Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada skeptisisme terhadap jalan dan pola pikirku yang demikian itu. Pertanyaan-pertanyaan ini kian membuatku yakin bahwa jalan dan pandanganku salah, sebab mengabaikan dunia dan menjauhi orang-orang yang menurutku jauh dari Allah bagiku adalah kedhaliman yang nyata. Aku ini ditugaskan oleh Allah untuk menjadi khalifah di bumi.
Lalu aku menarik kesimpulan dari sejumlah perenunganku bahwa tugas seorang khalifah menurutku ada tiga macam, yakni hamblum minallah, hablum minannass dan hablum minal’alm. Ketiga-tiganya harus seimbang dalam tiap-tiap diri manusia. Tidak boleh ada yang berat sebelah. Sebab makna dari ketiganya adalah satu, yakni ‘amrullah. Sementara itu, tujuan dari hidup manusia di dunia ini itu hanya satu, menjadi ‘abdun, yaitu “menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya”. Kalau begitu, mengapa aku harus abai kepada manusia dan dunia, bukankah itu juga merupakan rahmat Allah yang diturunkan oleh-Nya kepadaku? Aku dituntut supaya menjadi rahmatan lil ‘alamin, tapi mengapa aku harus mengabaikan manusia dan dunia?
Menurutku apa yang dinamakan sebagai ma’rifat (mengenal) itu ada tiga macam, yakni ma’rifatullah, ma’rifatunnass dan ma’rifatul’alm. Jadi kenalilah ketiga-tiganya sekaligus, berjalanlah di jalan yang baik di dalam ketiga-tiganya. Kalau memang begitu, mengapa aku hanya menganggap penting ma’rifatullah di samping ma’rifatunnass dan ma’rifatul’am?
Menurut sepenangkapanku, Cak Kus lebih banyak mengajarkanku tentang bagaimana dan seperti apa itu ma’rifatullah. Sementara ma’rifatunnass dan ma’rifatul’alm mendapat porsi yang sedikit dari pengajian-pengajiannya. Aku sebagai orang awam jadi bingung sendiri. Jadinya aku seperti “manusia langit” yang terkadang kabur melihat dunia dan manusia. Padahal bagiku, aku ditugaskan tidak hanya menjadi “manusia langit”, tetapi juga menjadi “manusia bumi”. Jadi aku adalah “manusia langit” sekaligus “manusia bumi”. Oleh sebabnya, ketiga macam ma’rifat itu mesti aku jalankan secara bersandingan dan bersama-sama.***
(Jogja, 20 Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar