Sabtu, 25 April 2015

MEMBACA PUISI DI HADAPAN RIBUAN ORANG



Praktis, di desaku tidak ada sesosok penyair atau setidak-tidaknya orang yang bisa menulis dan membaca puisi. Sementara sosok itu sangatlah dibutuhkan terutama ketika perayaan Khatmil Qur’an dan Haflatul Imtihan di Yayasan Madrasah at-Taqwa di desaku. Satu-satunya yang bisa menulis dan membaca puisi, anak muda yang juga merupakan alumni madrasah tersebut adalah aku. Entah dari siapa kiaiku yang mengasuh madrasah tersebut tahu bahwa aku suka puisi dan bisa menulis puisi, aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja pada tahun 2008 yang lalu, beliau memintaku untuk membaca puisi penganugerahan siswa/santri tauladan pada malam puncak Khatmil Qur’an dan Haflatul Imtihan. Maka apa dayalah aku menolak permintaan guru yang telah dengan sabar dan ikhlas dulu semasih aku kecil mengajariku membaca alif-baa-taa itu. Meskipun merasa terpaksa, dan uang ongkos ngutang, akhirnya aku pun pulang ke Madura hanya untuk sebuah urusan yang sangat sepele itu: “membaca puisi penganugerahan siswa/santri tauladan”.

Sesampainya di rumah, aku sowan ke ndalem kiaiku itu. Beliau berkelit bahwa sesungguhnya beliau memaksaku pulang kampung bukan hanya untuk alasan “membaca puisi”, tetapi – kata beliau dengan sifat humorisnya yang khas itu – karena rindu kepadaku. “Kamu kan sudah lama tidak pulang, sampai-sampai saya rindu kamu. Makanya saya paksa kamu pulang. Sekalian juga bantu-bantu madrasah dalam acara ini!” kata beliau dengan enteng. Dan aku pun hanya bisa menunduk senyum.

Pada malam itu digelarlah acara paling akbar di desaku, yakni Khatmil Qur’an dan Haflatul Imtihan Madrasah at-Taqwa Kerta Timur Dasuk Sumenep Madura. Acara kali itu adalah yang terbesar selama sejarah madrasah. Undangannya pun banyak sekali, terdiri dari para kiai se-Kabupaten, ustadz madrasah se-Kecamatan, kelompok gambus hadrah dari desa sebelah, dan – ini yang membuatku terheran-heran – penonton yang mencapai ribuan orang. Ternyata penonton sebanyak itu tidak hanya warga desaku saja, tetapi hampir mencapai seluruh warga di 4 desa tetangga.

Tata acara pembacaan puisi penganugerahan siswa/santri tauladan tahun ajaran 2006-2008 itu terletak sebelum mau’idhah hasanah dari Kiai Haji Mawardi asal Surabaya. Aku siap-siap di belakang panggung, membaca berulang-ulang puisi sepanjang tiga lembar yang adalah karanganku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diri berkali-kali bahwa aku mampu untuk tidak gugup membaca puisi di hadapan ribuan penonton dan para kiai-kiai besar se-Kabupaten itu.

Sungguh aku tidak pernah membayangkan banyaknya jumlah penonton, karena biasanya hanya ratusan orang saja. Ini sangat luar biasa. Dan selama pengalamanku, aku tidak pernah membaca puisi di hadapan ribuan orang. Paling banter hanya puluhan orang saja, baik ketika masih di Pondok Annuqayah maupun di Jogja. Hampir-hampir aku keder dan memutuskan diri untuk tidak tampil. Tetapi guruku sangat memaksa. Dan, sekali lagi, apa daya, aku tak bisa menolaknya.

Akhirnya dipanggillah aku ke atas panggung. Aku pun naik ke panggung setelah memberi hormat kepada seluruh undangan dan penonton terlebih dahulu. Sebelum memegang mic, detak jantungku tidak teratur. Aku berusaha untuk yakin, tidak gugup dan menganggap semua orang di hadapanku adalah benda mati. Aku panggil salam pembuka, kulihati seluruh penonton dengan tatapan tajam, dan kubaca judul puisi dengan suara diafragma. Tiba-tiba saja – dan mungkin karena besar dan gemuruh suaraku – semua orang diam dan terpana kepadaku. Omongan-omongan kecil yang sedari tadi terdengar dari kerumunan orang, sebegitu saja lenyap. Kesunyian seakan-akan telah menjerat ribuan orang di hadapanku. Dan karenanya dadaku terasa sedikit lega.

Bait-perbait puisi itu aku baca dengan sangat jelas dan tajam, dengan suara yang dinaik dan turunkan dan dengan mimik muka yang meyakinkan. Entahlah, ketika sampai di lembaran kedua, aku seakan-akan sudah bisa menghayati puisi. Mentalku dan sikapku lepas. Aku benar-benar tidak merasa sedang membaca puisi di hadapan orang-orang yang sudah semestinya untuk bersikap Islami. Kujiwai puisi itu dalam-dalam, sehingga suaraku meraung-raung tak karuan, ekspresi tangan dan mukaku betul-betul lahir dari ketidaksadaran, dan aku benar-benar telepas. Anehnya, semua orang semakin terdiam, seakan-akan tercekam oleh penampilanku. Sedikit pun tidak terdengar suara dari kerumunan mereka. Aku lihat semua wajah mereka nampaknya sedang khusuk memperhatikanku.

Maka seketika selesai pembacaan puisi, demikian pula penganugerahan siswa/santri tauladan, aku turun dengan salam dan sikap yang halus. Kini aku tampak lebih tenang dari sebelumnya. Tepuk-tangan dari penonton bergemuruh. Kasak-kusuk tentang aku pun terdengar di antara para kerumunan, terutama di kumpulan ibu-ibu. ”Wah, dia itu anak siapa? Sudah ganteng, pintar pula. Seandainya aku punya anak perempuan......,” kata seorang ibu yang entah siapa. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Dan aku kembali ke balik panggung dengan rasa senang karena sukses dan ”telinga lebar” karena banyak disanjung.

Setelah itu, di acara Khatmil Qur’an dan Haflatul Imtihan pada tahun-tahun berikutnya, sampai sekarang, aku senantiasa diminta pulang dan membaca puisi di hadapan ribuan orang. Sampai hari ini, itu sudah terjadi sebanyak tiga kali. Hahaha, sebuah pengalaman yang betul-betul mengesankan. Dan aku berterima kasih kepada guruku! (26 April 2011).

Tidak ada komentar: