Sabtu, 25 April 2015

MENCURI JAMBU MENTE PAK MANTOLANI



Rudi, Hamdi, Aan, Nasiroh, Sri dan aku adalah sepaket teman akrab. Pada suatu kali di tahun 1997 (waktu itu aku kelas 4 SD), di musim tanam jambu mente, kami berinisiatif untuk mencuri jambu mentenya Pak Mantolani. Kami berencana mencurinya sekarung saja, untuk keinginan kami membeli mainan yang kala itu lagi musim-musimnya, yakni layang-layang, bhejeng, kelereng, kentat, dan lain-lain. Pokoknya, banyak amat rencana kami. Mengapa jambu mente Pak Mantolani dan bukan yang lain? Karena Pak Mantolani waktu itu suka jail sama kita-kita. Ada saja cara dia untuk membuat kita menangis. Dan kami sangat membencinya. Kami bersepakat bahwa pada saatnya nanti kami akan menuntut balas. Dengan mencuri jambu mentenya kami pikir adalah balasan yang setimpal.

Maka, sehabis jam sekolah, di hari Jum’at (hari itu adalah hari pasaran di desa kami), kami berduyun-duyun menuju sawah Pak Mantolani lengkap dengan clurit kecil dan karung. Nasiroh kami mintai untuk memantau keadaan, aman dan tidaknya, sementara kami berlima naik ke pohon mente untuk memetik jambu mentenya dengan cepat. Sial, sungguh sial, Nasiroh bukannya memantau keadaan, tetapi malah bermain-main sendiri ke luar areal persawahan. Jadinya, kehadiran Pak Mantolani tidak kami ketahui. Pertama-tama dia tidak melihat kami, karena kami ada di bagian tengah sawah. Tetapi akhirnya ketika dia masuk ke dalam sawah, seketika dia melihat kami, lantas berteriak-teriak supaya kami turun.

Kami yang tiba-tiba tahu kehadirannya, balingsatan lari. Pak Mantolani mencabut cluritnya dari balik punggungnya dan mengejar kami. Untung lari kami lebih cepat dari dia. Kalau tidak, mungkin di antara kami akan ada yang ditebasnya. Soalnya, dari gelagatnya, Pak Mantolani tidak main-main dengan ancamannya itu. Dia betul-betul mengejar kami sekuat tenaga, mukanya berubah tajam, garang dan menakutkan. Seumpama kami tertangkap, mungkin dia tidak akan segan-segan untuk membacokkan cluritnya. Tapi untungnya tidak. Aku pikir barangkali nasib belum saatnya berkata buruk bagi kami.

Kami kagetnya minta ampun. Karena saking kagetnya, sampai-sampai karung dan clurit kecil kami tinggal di sawahnya tanpa sadar. Kami lari sekencang-kencangnya hingga bukan saja jauh dari kejaran Pak Mantolani, tetapi bahkan sampai ke pantai yang jaraknya kurang-lebih 3 kilometer dari tempat itu. Setibanya di pantai kami berenam bersembunyi di bawah rimbunan pohon bakau sambil menyelesaikan rasa capek yang luar biasa itu.

Kami tidak tahu bagaimana seandainya orang tua kami tahu akan hal ini. Kami juga tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh orang tua kami bila mereka tahu bahwa kami (terutama aku, Hamdi dan Rudi) tidak pergi Jum’atan ke masjid. Hah, benar-benar kami menyesal akhirnya. Kami merasa sangat ketakutan untuk pulang ke rumah, sebab pulang berarti menyerahkan diri ke Pak Mantolani. Tempat lewat satu-satunya dari laut ke rumah kami adalah sawah Pak Mantolani itu. Dan kami pikir, Pak Mantolani akan terus menunggu hingga sore. Makanya kami bersepakat untuk pulang ke rumah bila magrib tiba.

Dan magrib pun tiba, kami berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing. Setali tiga uang, semua dari kami harus tidak hanya menghadapi kemarahan orang tua kami, tetapi juga beberapa pukulan. Katanya, orang tua kami sama-sama mencari kami sedari tadi siang. Sebenarnya hal ini sudah terpikirkan oleh kami, tetapi apa daya kami merasa lebih takut pada Pak Mantolani ketimbang kepada orang tua kami. Maka, pagi-pagi keesokan harinya, kami bertemu di sekolah. Kepala pinggang Hamdi memar, demikian juga pipi Rudi, telinga Aaan merah, dahi Nasiroh benjol, hidung sri bengkak dan di pahaku tercetak tiga lambang gagang sapu. Tanpa saling bilang apa yang terjadi, kami pun sama-sama tahu, semua itu karena kemarin kami sama-sama mendapatkan hadiah pukulan dari orang tua kami. Kami pun saling mengejek satu sama lain, saling tertawa cekikikan, dan saling berusaha sendiri-sendiri menghilangkan rasa gundah dalam diri.

(Kutulis catatan ini ketika pada jam 00.02 sedang teringat teman-teman masa kecil, terutama Rudi, Hamdi, Aan, Nasiroh dan Sri. Rasa rinduku pada mereka tiba-tiba menjadi besar dan tak terbendung. Ingin rasanya aku pulang segera dan bertamu ke rumah mereka satu-persatu. Tetapi apa daya, di Jogja aku masih ada banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Tak apalah. Tetapi aku janji, nanti kalau sudah bisa mudik ke kampung, aku akan mengumpulkan mereka dan menceritakan kisah kenangan aneh ini!). (Jogjakarta, 25 April 2011).

Tidak ada komentar: