Di seberang
jalan depan kostku terdapat sebuah warung nasi Padang. Nampaknya itu
satu-satunya warung nasi Padang di Jl. Panjaitan. Sejak 7 bulan yang lalu,
ketika aku mengidap penyakit anemia, aku suka beli makan di warung itu. Tujuannya
adalah: sayur hijau dan rendang sapi. Tapi lama-kelamaan aku ketagihan,
sehingga aku jadi pelanggan setianya. Sejak itu, aku tidak lagi beli makan di
warung Mbok Danang atau Mbok Ira – dua warung nasi paling murah
di Krapyak.
Penjual warung
padang itu adalah seorang bapak-bapak paruh baya, mungkin berusia sekitar 40
tahunan. Dia, tentu saja, berasal dari Padang, tapi beristrikan orang Jogja dan
menetap di Jakarta. Dia di Jogja hanya mencari nafkah. Warung itu bukan
miliknya, tapi milik kakaknya. Katanya, setiap 2-3 bulan sekali dia pulang ke
Jakarta. Dia orang yang baik dan perhatian, sederhana, suka batu akik dan murah
senyum. Tubuhnya tidak tinggi, tapi kurus. Rambutnya cepak, pakai celana
pendek, baju lengan pendek dan deretan giginya sudah agak menghitam.
Nasi sayur 6.000
biasanya cuma dapat lauk tahu. Tapi Pak Padang – sebutlah begitu, karena aku
lupa namanya – memberiku tambahan satu tempe. Selalu begitu tiap kali aku beli.
Bahkan dia bilang: “Kalo mas-nya belum
ada uang, boleh kok ngutang dulu.” Dia ngomong
demikian lantaran pernah satu mingguan aku tidak punya uang dan tidak beli nasi
di sana. Aku beli nasi, biasanya, dibungkus dan dimakan di kost. Tapi pernah
sesekali dimakan di sana. Dan bila demikian, Pak Padang mengajakku ngopi-ngopi,
merokok bareng sambil nonton TV dan ngobrol seputar Madura dan Padang.
Pertengahan
bulan Ramadhan kemarin aku pulang ke Madura. Dan ketika aku balik ke Jogja,
warung itu sedang direnovasi. “Kayaknya
butuh waktu lama warung itu buka lagi,” batinku. Tapi ternyata, setelah
direnovasi sekitar 2 minggu yang lalu, warung itu jualan bakso dan penjualnya
bukan Pak Padang. Aku coba bertanya kepada si penjual bakso, penjual angkringan
dan nasi pecel di sebelah warung itu, tapi mereka bilang tidak tahu. Aku coba
tanya alamatnya, mereka pun tidak ada yang tahu. Sejak itu aku yakin, Pak
Padang pasti sudah boyongan ke Jakarta dan aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Dan itu membuatku sedikit sedih.
Sobat, ketahuilah,
Pak Padang itu tidak ada hubungan apa-apa denganku. Dia hanya penjaga warung
dan aku pelanggannya. Tetapi, entah kenapa, setiap kali aku melihat warung itu,
aku selalu ingat Pak Padang dan aku merindukannya. Bahkan sempat beberapa kali
kerinduanku sangat kuat, sampai-sampai aku berusaha tak menoleh ke warung itu
bila aku lewat di depannya. Itu semua gara-gara “tempe” dan, tentu saja,
kehangatan persaudaraan yang dia tunjukkan kepadaku.
Pernah sekali
waktu, setelah shalat Maghrib, aku khususkan untuk mendoakan Pak Padang. Aku memohon
kepada Tuhan, semoga Pak Padang dan keluarganya dilimpahi kebahagiaan
dunia-akhirat dan dianugerahi husnul
khotimah. Dari fenomena ini, aku merenung dan dapat satu pesan moral: “berbuatlah kebaikan meskipun hanya memberi satu
potong tempe kepada orang lain, karena satu kebaikan kenangannya sepanjang masa”.
Pak Padang, semoga kita dipertemukan kembali oleh Tuhan di lain waktu. (16
Oktober 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar