Malam ini
(22-05-2016), di tengah aku menggarap buku Marxisme, kuputar lagu Gereja Tua karya Benny Panjaitan. Lagu
ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang sedang mengenang kembali kisah
cintanya dengan seorang perempuan ketika dulu mereka masih remaja dan hidup di
desa. Pada suatu senja, suatu momen yang membuat si lelaki tak bisa lupa, hujan
sedang turun rintik-rintik dan mereka berteduh di bawah atap sebuah gereja tua.
Mereka berdiri begitu rapat. Tangan si lelaki memegang erat tangan si
perempuan. Cinta sedang menatap jiwa mereka dengan sinar matanya yang paling
murni.
Tapi peristiwa
itu toh sudah 10 tahun yang lalu. Si
lelaki kini tak tahu di mana si perempuan berada. Hanya saja setiap kali teringat
kenangan itu, meski mungkin si perempuan kini sudah menikah, ia ingin sekali
menjumpainya. Ia hanya ingin melihat, barang sebentar, wajah si perempuan yang
dulu pernah jadi satu-satunya cermin, mata si perempuan yang dulu baginya sebuah
dunia, atau rambut si perempuan yang dulu selalu dipujanya. Ia hanya ingin sekedar
bertemu, karena itulah kepuasannya. Ia hanya ingin sekedar bertemu, karena
itulah kepuasannya.
Sudah dapat
kuduga, si lelaki itu, si aku-lirik itu, si penyanyi lagu itu, sedang berkisah tentang
cinta pertama, sebuah cinta yang bagi khalayak dianggap sakral, sebuah cinta
yang memang terjadi sekali tapi kenangannya bertahan hingga mati. Aku tahu
karena sebagaimana kalian, aku pun pernah mengalaminya. Dan – mugkin kalian tak
percaya – sungguh aneh: kubawa di hatiku nama perempuan seorang saja dari sejak
kelas 6 SD hingga tahun pertama kuliah. Selama itu aku serasa “buta” pada yang lain.
Dalam pikiranku, satu-satunya perempuan di dunia ini adalah dia, sedang yang
lain adalah “tiang listrik”.
Aku dan dia sama-sama
bisu. Tak sepatah kata cinta pun terucap dari mulutku dan mulutnya. Kami hanya
tahu bahwa kami saling mencintai. Aku dan dia yang kala itu masih sangat lugu
tak pernah paham apa yang dimaksudkan oleh satu kata yang sering dilontarkan
kakak-kakak kelas kami: romantika. Dalam hubungan ini, bahkan kami tak pernah,
misalnya, berjalan sambil bergandengan tangan dan menjalani apa yang kalian
sebut sebagai pacaran. Ya, cinta kami memang lugu. Tapi, hai kawan, kalian tak
akan pernah menemukan warna putih yang sebanding dengan putihnya cinta kami.
Demikianlah, cintaku
kepadanya bertahan hingga 7 tahun. Tapi dunia banyak berubah. Mawar yang kini
cerah kelak akan layu. Tembok yang dulu putih akhirnya juga kusam. Lima tahun
sebelum ia melepaskanku dari hatinya, tak dinyana, ia berlabuh di hati lelaki
lain. Ia mengkhianatiku. Ya, ia telah benar-benar berkhianat. “Hebat,” batinku. Tapi cukup gila, bukan,
bahwa bahkan setelah pengkhianatan itu, aku masih percaya jika cinta suci itu memang
ada. Selama 2 tahun, saat dia dan pacar barunya mungkin sedang senang-senangnya
menjalin hubungan, aku masih bertahan mencintainya tanpa sedikit pun permisif
dan apologi.
Kehidupan ini
jahat – begitulah yang aku rasakan kala itu. Terlalu banyak waktu yang kusia-siakan
untuk memikirkannya, bertungkus-lumus dengan bayangannya dan berupaya untuk
tetap keras kepala merindukannya. Sedari itu aku dapat hikmah, bahwa pengkhianatan
adalah dosa terbesar seorang pecinta. Pengkhianatan, bagiku, cukuplah sekali.
Setelah itu tak ada lagi. Andai kau kini punya kekasih, hai kawan, peganglah
prinsip ini dan patrikan ia dalam-dalam dalam dirimu: perempuan pengkhianat
adalah sampah, dan oleh karenanya, pantas dicampakkan. Untuk urusan ini, janganlah
kau berbaik-baik pada perempuan, karena perempuan semacam itu pantasnya dibuang
ke laut. Katakan kepadanya: “Tolong
jangan kau sekali-kali mengkhianatiku, karena sekali saja berkhianat, kau akan
kehilanganku selamanya.”
Tapi, intinya,
lagu itu tak mengingatkanku pada cinta pertama. Aku menikmatinya murni sebagai
sebuah karya. Apakah ciri-ciri karya lagu yang baik? Menurutku setidaknya ia
mampu membangkitkan imajinasi pendengar: musiknya jatuh ke dalam rasa, liriknya
membayang di pikiran. Pendengar dapat dibuat berada di ruang hasil ciptaanya. Kalau
kau dengar lagu Gereja Tua dan
bertanya sebagaimana aku bertanya, “Bagaimana
sakitnya jika si perempuan sempat mendengar lagu ciptaan mantan kekasihnya ini?”,
berarti lagu tersebut telah memenuhi ciri-ciri sebagai lagu yang baik.
Lagu Gereja Tua konon sangat terkenal,
terutama bagi mereka yang menyukai lagu-lagu kenangan. Tapi aku baru mengenalnya
dua hari yang lalu dari teman kosku, Mas Puguh. Setiap kali aku mendengarnya,
imajinasiku dibawa justru bukan ke dalam kenangan cinta pertama, tetapi ke
hampir seluruh kenangan – terutama kenangan masa kecil di desa – yang pernah
aku lalui, baik bersama emak, eppak, adik, nenek, paman, sahabat, dan
sebagainya. Aku tidak mau membahas lebih panjang lagi. Silakan kau nikmati saja
sendiri dan rasakan belaian alunannya dalam perasaanmu. Berikut lirik
lengkapnya:
Masihkah kau ingat waktu di desa
Bercanda bersama di samping gereja
Kala itu kita masih remaja
Yang polos hatinya bercerita
Waktu kini telah lama berlalu
Sudah 10 tahun tak bertemu
Entah di mana kini kau berada
Tak tahu di mana rimbanya
Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya
Kita berdiri begitu rapat
Hingga suasana begitu hangat
Tanganmu kupegang erat-erat
Kenangan itu selalu kuingat
Waktu kini telah lama berlalu
Sudah 10 tahun tak bertemu
Entah di mana kini kau berada
Tak tahu di mana rimbanya
Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya
Meskipun kini kau telah berdua
Itu bukanlah kesalahanku
Ku hanya ingin dapat bertemu
Bila bertemu puaslah hatiku
Bila bertemu puaslah hatiku
Krapyak,
22-05-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar