Rabu, 25 Mei 2016

Cinta Pertama dan Lagu Gereja Tua


Malam ini (22-05-2016), di tengah aku menggarap buku Marxisme, kuputar lagu Gereja Tua karya Benny Panjaitan. Lagu ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang sedang mengenang kembali kisah cintanya dengan seorang perempuan ketika dulu mereka masih remaja dan hidup di desa. Pada suatu senja, suatu momen yang membuat si lelaki tak bisa lupa, hujan sedang turun rintik-rintik dan mereka berteduh di bawah atap sebuah gereja tua. Mereka berdiri begitu rapat. Tangan si lelaki memegang erat tangan si perempuan. Cinta sedang menatap jiwa mereka dengan sinar matanya yang paling murni.
Tapi peristiwa itu toh sudah 10 tahun yang lalu. Si lelaki kini tak tahu di mana si perempuan berada. Hanya saja setiap kali teringat kenangan itu, meski mungkin si perempuan kini sudah menikah, ia ingin sekali menjumpainya. Ia hanya ingin melihat, barang sebentar, wajah si perempuan yang dulu pernah jadi satu-satunya cermin, mata si perempuan yang dulu baginya sebuah dunia, atau rambut si perempuan yang dulu selalu dipujanya. Ia hanya ingin sekedar bertemu, karena itulah kepuasannya. Ia hanya ingin sekedar bertemu, karena itulah kepuasannya.
Sudah dapat kuduga, si lelaki itu, si aku-lirik itu, si penyanyi lagu itu, sedang berkisah tentang cinta pertama, sebuah cinta yang bagi khalayak dianggap sakral, sebuah cinta yang memang terjadi sekali tapi kenangannya bertahan hingga mati. Aku tahu karena sebagaimana kalian, aku pun pernah mengalaminya. Dan – mugkin kalian tak percaya – sungguh aneh: kubawa di hatiku nama perempuan seorang saja dari sejak kelas 6 SD hingga tahun pertama kuliah. Selama itu aku serasa “buta” pada yang lain. Dalam pikiranku, satu-satunya perempuan di dunia ini adalah dia, sedang yang lain adalah “tiang listrik”.
Aku dan dia sama-sama bisu. Tak sepatah kata cinta pun terucap dari mulutku dan mulutnya. Kami hanya tahu bahwa kami saling mencintai. Aku dan dia yang kala itu masih sangat lugu tak pernah paham apa yang dimaksudkan oleh satu kata yang sering dilontarkan kakak-kakak kelas kami: romantika. Dalam hubungan ini, bahkan kami tak pernah, misalnya, berjalan sambil bergandengan tangan dan menjalani apa yang kalian sebut sebagai pacaran. Ya, cinta kami memang lugu. Tapi, hai kawan, kalian tak akan pernah menemukan warna putih yang sebanding dengan putihnya cinta kami.
Demikianlah, cintaku kepadanya bertahan hingga 7 tahun. Tapi dunia banyak berubah. Mawar yang kini cerah kelak akan layu. Tembok yang dulu putih akhirnya juga kusam. Lima tahun sebelum ia melepaskanku dari hatinya, tak dinyana, ia berlabuh di hati lelaki lain. Ia mengkhianatiku. Ya, ia telah benar-benar berkhianat. “Hebat,” batinku. Tapi cukup gila, bukan, bahwa bahkan setelah pengkhianatan itu, aku masih percaya jika cinta suci itu memang ada. Selama 2 tahun, saat dia dan pacar barunya mungkin sedang senang-senangnya menjalin hubungan, aku masih bertahan mencintainya tanpa sedikit pun permisif dan apologi.
Kehidupan ini jahat – begitulah yang aku rasakan kala itu. Terlalu banyak waktu yang kusia-siakan untuk memikirkannya, bertungkus-lumus dengan bayangannya dan berupaya untuk tetap keras kepala merindukannya. Sedari itu aku dapat hikmah, bahwa pengkhianatan adalah dosa terbesar seorang pecinta. Pengkhianatan, bagiku, cukuplah sekali. Setelah itu tak ada lagi. Andai kau kini punya kekasih, hai kawan, peganglah prinsip ini dan patrikan ia dalam-dalam dalam dirimu: perempuan pengkhianat adalah sampah, dan oleh karenanya, pantas dicampakkan. Untuk urusan ini, janganlah kau berbaik-baik pada perempuan, karena perempuan semacam itu pantasnya dibuang ke laut. Katakan kepadanya: “Tolong jangan kau sekali-kali mengkhianatiku, karena sekali saja berkhianat, kau akan kehilanganku selamanya.
Tapi, intinya, lagu itu tak mengingatkanku pada cinta pertama. Aku menikmatinya murni sebagai sebuah karya. Apakah ciri-ciri karya lagu yang baik? Menurutku setidaknya ia mampu membangkitkan imajinasi pendengar: musiknya jatuh ke dalam rasa, liriknya membayang di pikiran. Pendengar dapat dibuat berada di ruang hasil ciptaanya. Kalau kau dengar lagu Gereja Tua dan bertanya sebagaimana aku bertanya, “Bagaimana sakitnya jika si perempuan sempat mendengar lagu ciptaan mantan kekasihnya ini?”, berarti lagu tersebut telah memenuhi ciri-ciri sebagai lagu yang baik.
Lagu Gereja Tua konon sangat terkenal, terutama bagi mereka yang menyukai lagu-lagu kenangan. Tapi aku baru mengenalnya dua hari yang lalu dari teman kosku, Mas Puguh. Setiap kali aku mendengarnya, imajinasiku dibawa justru bukan ke dalam kenangan cinta pertama, tetapi ke hampir seluruh kenangan – terutama kenangan masa kecil di desa – yang pernah aku lalui, baik bersama emak, eppak, adik, nenek, paman, sahabat, dan sebagainya. Aku tidak mau membahas lebih panjang lagi. Silakan kau nikmati saja sendiri dan rasakan belaian alunannya dalam perasaanmu. Berikut lirik lengkapnya:

Masihkah kau ingat waktu di desa
Bercanda bersama di samping gereja
Kala itu kita masih remaja
Yang polos hatinya bercerita

Waktu kini telah lama berlalu
Sudah 10 tahun tak bertemu
Entah di mana kini kau berada
Tak tahu di mana rimbanya

Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya

Kita berdiri begitu rapat
Hingga suasana begitu hangat
Tanganmu kupegang erat-erat
Kenangan itu selalu kuingat

Waktu kini telah lama berlalu
Sudah 10 tahun tak bertemu
Entah di mana kini kau berada
Tak tahu di mana rimbanya

Hanya satu yang tak terlupakan
Kala senja di gereja tua
Waktu itu hujan rintik-rintik
Kita berteduh di bawah atapnya

Meskipun kini kau telah berdua
Itu bukanlah kesalahanku
Ku hanya ingin dapat bertemu
Bila bertemu puaslah hatiku
Bila bertemu puaslah hatiku

Krapyak, 22-05-2016


Tidak ada komentar: