Akhir-akhir
ini aku sering berpikir tentang sajak-sajakku. Mengingat sudah 9 tahun aku
menulis sajak, aku rasa, sudah waktunya sajak-sajakku punya tempat tersendiri
dalam arus persajakan Indonesia mutakhir. Tema yang lain dan segar, gaya ungkap
yang lain dan segar – itulah keinginanku.
Aku menulis sajak
sejak tahun 2007 dan sudah mencoba beberapa gaya ungkap. Pertama-tama aku bereksperimen
lewat sajak-sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Setelah suntuk
dengan mereka, aku mencoba menulis dengan sajak-sajak Muhammad Iqbal,
Rabindranath Tagore dan Omar Khayyam. Agak cukup lama aku bertahan dalam gaya
ungkap ketiga “pendekar” ini.
Tidak ingin
stagnan, aku keluar dari “mainstream”. Aku berusaha mengenal sajak-sajak Anna
Akhmatova, W.H. Auden, James Joyce dan Derek Walcott. Aku menulis di atas
ghirah sajak-sajak mereka. Di “tempat” ini aku tidak “kerasan”. Rasa-rasanya –
setidaknya bagiku – sajak-sajak Iqbal, Tagore dan Khayyam masih lebih
berkualitas ketimbang sajak-sajak mereka. Aku pun akhirnya, hingga kini, berupaya
menyatukan gaya ungkap ketiga “pendekar” ini dalam sajak-sajakku.
Tapi aku tidak
puas, karena sajak-sajakku – kata teman-temanku – terlalu terang. Aku paham apa
yang mereka maksud, yakni bahwa dalam sajak-sajakku, tak terlihat aku
bermain-main dengan metafor. Mereka bilang sajak-sajakku terkesan biasa. Aku
paham apa yang mereka maksud, yakni bahwa dalam sajak-sajakku, tak terlihat aku
membuat ungkapan-ungkapan baru yang mengagetkan.
Kini Iqbal,
Tagore dan Khayyam coba “kugabung” dengan Sutardji Calzoum Bachri – seorang
penyair yang menurutku cerdas dalam bermain metafor – tapi dengan semangat
surrealisme. Hasilnya sajak-sajakku – sekali lagi menurut teman-temanku – gelap.
Menurutku bukan gelap, karena andai mereka membaca sajak-sajakku secara pelan,
tekun menyuntuki metafor-matafornya dan berupaya menangkap maksud-maksudku, aku
pikir sajak-sajakku tidak seperti yang mereka bayangkan.
Sajak-sajakku
yang baru itu bukan gelap, tapi mungkin agak sedikit rumit. Problemnya, aku
masih baru saja tancap gas dalam gaya baruku ini, belum lagi lama, sehingga
terkesan masih kaku. Mulai saat ini aku akan berusaha “menghaluskannya”.
Keinginanku nanti: menampilkan ide-ideku yang “terang” dalam “gelapnya” gaya
ungkapku. Aku akan bertahan dalam gayaku ini, betapapun teman-teman
mengkritiknya, karena aku – dalam satu dan banyak hal – sudah merasa agak
nyaman.
Itu sekilas
tentang “sejarah” gaya ungkap sajak-sajakku. Bagaimana dengan masalah yang tak
kalah krusialnya ketimbang gaya ungkap, yakni tema? Dari sejak awal menulis
sajak hingga sekarang ini, tema kegemaranku adalah tentang pencarian jati diri
dalam relasinya dengan Tuhan – singkatnya: sajak-sajak eksistensial. Memang sempat
beberapa bulan terakhir aku konsen menulis sajak-sajak cinta, tetapi toh akhirnya godaan eksistensial
membuatku lebih dekat dengan primordialitasku.
Secara
prinsipil, impianku adalah mengintegrasikan konsep almarhum KH. Zainal Arifin
Thoha – guruku – yaitu spiritualitas, intelektualitas dan profesionalitas dalam
diriku. Pada tingkat tertinggi, inti spiritualitas adalah menjadi hamba yang tawakkal
sepenuhnya kepada Allah SWT. Jalannya: riyadah. Sedang inti intelektualitas
adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi demi kemajuan umat manusia. Jalannya: meneliti. Dan inti
profesionalitas adalah sikap menempatkan diri pada tempatnya, di hadapan siapa
pun, dan menempatkan diri tepat pada waktunya, dalam kondisi apa pun. Jalannya:
bijaksana.
Itulah
impianku. Dan, sebagaimana kenangan, impian dapat membangkitkan renungan, dan
akhirnya: puisi. Sering sebelum tidur malam aku renungkan perjalanan hidupku
selama sehari semalam, dekat atau jauhkah ia dengan impianku? Seberapa banyak
riyadah kulakukan, berapa jam kuhabiskan waktuku dalam
membaca-menulis-meneliti, dan sebijaksana apakah aku dalam menempatkan diri dan
menghadapi apa pun yang “berdiri” di hadapanku? Hasil jawabannya kubuat sebagai
bahan analisis pribadi serta kurenungi lagi dan lagi. Renungan semacam ini pada
waktunya, yaitu pada saat momen puitik datang, menguap jadi ruh sajak-sajakku.
Jika aku
merasa dekat dengan impianku, apa yang mendekatkannya. Dan jika jauh, apa yang
menjauhkannya. Begitulah, hidupku dipenuhi oleh impian. Sekali lagi,
sebagaimana kenangan, siapa pun yang
begitu hebat bergumul dengan impian, ia akan punya sisi-sisi emosional yang
karakteristik. Kira-kira emosi demikian bangkit menjadi emosi universal yang
bekerja dalam diriku sedemikian rupa sehingga jatuh ke dalam ceruk sajak-sajakku.
(19-05-2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar