Selasa, 27 April 2010

Sejarah Cita-Citaku

Dulu, setidaknya aku masih kelas IV SD, pernah aku punya cita-cita ingin menjadi praktisi elektronik. Aku terinspirasi oleh cerita guruku yang bercerita tentang penemuan-penemuan Thomas Edison dan Michael Faraday. Sejak itu aku mulai banyak mencari dan mengumpulkan barang-barang elektronik yang sudah dibuang di tempat sampah oleh para tetanggaku. Maklum, orang tuaku miskin, tidak mungkin mereka mampu membelikanku barang-barang semacam itu. Mereka hanya mampu membelikanku kertas dan tali layang-layang saja.

Dari barang-barang elektronik buangan itu aku buat kapal-kapalan dan mobil-mobilan memakai penggerak dynamo, kipas-kipasan, salon, setrom udang, dan lain-lain. Aku senang dengan mainan bikinanku sendiri. Aku tidak iri pada mainan teman-temanku yang rata-rata dibelikan orang tuanya. Aku banyak bermain sendiri, karena temn-temanku sering mengolok-olok mainanku yang jelek. Tak apalah, pikirku, aku lebih enak main sendiri. Dan aku memang – sampai saat ini – suka menyendiri.

Tetapi setelah kelas V dan VI, cita-citaku berubah. Aku tidak ingin menjadi ahli elektronik lagi, karena peralatannya mahal, dan aku tidak mampu membelinya. Aku berpikir agak realistis: aku ingin jadi olah ragawan. Setidaknya itu yang diisyaratkan oleh guru olah ragaku. Kata beliau, aku berpotensi jadi pelari dan pesepak bola. Setelah itu aku lebih banyak menyita diri untuk berlatih diri. Aku minta dibelikan bola karet ke ibuku, dan beliau membelikannya. Aku mengajak teman-temanku berlatih bersama. Tiap sehabis dhuhur aku sendirian lari. Gila, sungguh ini gila, pikirku. Tapi tanpa latihan keras, aku tidak akan pernah jadi pesepak bola yang hebat. Di luar sana, kata guru olah ragaku, sainganmu banyak. Jadi kamu harus lebih berlatih keras untuk menyaingi mereka.

Cita-cita itu pupus, karena aku dimondokkan ke pesantren oleh orang tuaku. Di pesantren beberapa tahun aku vakum, tidak punya cita-cita. Aku banyak bergabung dengan teman-temanku yang tidak jelas mau jadi apa. Baru setelah aku kelas satu dan dua SMA, pikiran mau jadi pesepak bola dating lagi. Aku melanggar peraturan pesantren: tidak boleh main sepak bola di luar lingkungan pesantren. Aku ikut club sepak bola Flamboyan. Latihannya tiga kali seminggu. Jadi untuk fisikku tetap kuat dan eksis aku perlu latihan sendiri. Aku mengajak salah satu temanku lari tiap sehabis dhuhur. Ini aku lakukan dengan melanggar peraturan lagi. Selama dua tahun itu aku sudah banyak diikutkan ke pertandingan persahabatan. Aku katakan pada diriku sendiri, kelak kau harus menjadi pemain Timnas Indonesia.

Tetapi cita-cita ini pupus juga akhirnya. Ini dilatarbelakangi karena club Flamboyan mendaftarkanku ke pertandingan liga kabupaten. Aku pikir, kalau sampai sejauh ini, bisa-bisa pelanggaranku ini dicium oleh pengurus pesantren. Aku tidak mau. Sejak itu aku memutuskan untuk ke luar dari club. Akhirnya aku kembali tidak punya cita-cita.

Kevakuman ini terbayar ketika aku tertarik bidang tulis-menulis. Aku belajar banyak dari teman-temanku yang penulis. Aku ingin menjadi penulis besar, hebat dan terkenal. Tiada hari tanpa nulis. Apa saja, termasuk catatan harian. Tak ada pengumuman lomba menulis yang aku abaikan. Sampai pernah tulisanku dapat nominasi Lomba Karya Tulis Ilmiah Siswa Menengah Se-Jawa Timur. Teman-temanku di pesantren menganggap aku sudah jadi penulis. Meski agak ragu, aku terima anggapan itu.

Cita-cita ini cukup lama bertahan, bahkan hingga saat ini. Keberangkatanku ke Jogja juga dikarenakan ikhtiar ini. Sesudah beberapa di Jogja aku merasa tidak akan mampu meneruskan pendidikan di perguruan tinggi dengan biaya sendiri – karena ibuku yang seorang diri tidak mampu membiyayaiku – aku memutuskan untuk menekuni bidang tulis-menulis. Aku termasuk orang yang sedikit mampu menulis berbagai genre, mulai dari resensi, opini, esei, cerpen dan puisi. Lama-kelamaan tulisanku banyak menghiasi koran-koran, baik koran daerah maupun nasional. Kebutuhanku terpenuhi, bahkan lebih. Aku berpikir, bisakah aku kuliah dengan biaya sendiri dari honor tulisanku? Aku yakinkan, bisa.

Aku kuliah, ambil jurusan fisika. Sebenarnya ini bukan bidang minatku. Aku lebih berminat di filsafat atau sosiologi. Karena aku sedikit punya dasar dalam bidang itu, juga sangat mendukung dengan profesiku sebagai penulis. Tetapi aku ingat pesan kiaiku di pesantren, “Kalau kamu mau kuliah, silahkan. Tetapi ingat jangan mengambil jurusan filsafat. Ambillah jurusan sains-teknologi. Peradaban Islam saat ini terbelakang dalam bidang ini.” Pilihan ini cukup mistis, aku ingin mendapat barokah dari kiaiku tersebut. Tanpa banyak pikir, aku ambil jurusan fisika, sebuah ilmu yang sebelumnya aku benci. Semoga dengan ini aku mendapatkan barokahnya.

Akhirnya aku jadi mahasiswa fisika. Tetapi, aku masih menulis, sebab dari mana aku bisa makan dan biaya kuliah kalau tidak honorarium tulisan. Menulis sudah aku jadikan profesi. Akhirnya dari dua ilmu yang nampaknya saling tidak terkait ini – yakni ilmu fisika sebagai basis kuliahku dan ilmu social-budaya-politik-sastra sebagai basis profesiku – arah tujuanku tidak karuan. Semester-semester awal (1 sampai 4) kuliahku hancur. Aku semakin benci fisika, dan aku semakin cinta menulis. Aku baru sadar pada pertengahan semester 5, bahwa tidak boleh tidak aku harus menguasai ilmu fisika, karena ini latar belakang pendidikanku.

Sungguh sulit rasanya aku memulai dari awal membuka-buka buku fisika. Susahnya juga aku sudah banyak tertinggal dari teman-temanku. Jadi, aku harus belajar dari awal lagi, dari fisika dasar dan forma-forma matematika pendukung ilmu fisika. Ah, sungguh ini tekanan yang sangat tidak aku sukai, tetapi bagaimana pun juga harus aku jalani. Akhirnya aku menikmati juga. Aku banyak mendapatkan informasi tentang para ilmuwan fisika, perkembangan riset fisika, wacana dan pemikiran tentang eksistensi alam semesta. Lalu, terbersit dalam pikiranku, aku ingin jadi ahli fisika. Ya, aku ingin jadi fisikawan, jelasnya peneliti ilmu fisika.

Tetapi sungguh sangat problematis. Kemampuanku rendah ketimbang teman-teman. Daya tangkapku terhadap rumus-rumus, perhitungan-perhitungan, analisis dan daya ingatku serasa tidak mempuni. Meskipun aku telah belajar keras, aku tidak mampu mencapai taraf kepahaman seperti teman-teman. Padahal kemampuan teman-teman juga terbiang rendah, juga sangat mungkin beberapa dosenku, dibanding dengan pemikiran para pioner fisika semacam Newton, Maxwel, Einstein, Wenberg, Salam, Hawking, Penrose atau Witten.

Mendapati hal ini, aku menjadi pesimis bercita-cita jadi fisikawan. Tetapi aku tetap tertarik mempelajari alam semesta dalam detail-detailnya. Sungguh pemikiran para fisikawan itu mempesonaku. Aku ingin mengetahuinya, sungguh aku ingin mengetahuinya. Aku ingin mengetahui alam ciptaan Allah ini. Sebelum aku puas – dan semoga tidak puas – aku akan menekuni ilmu ini.

Cita-citaku sekarang sangat sederhana, bukan ingin jadi dosen fisika, pakar fisika, peneliti fisika atau orang yang terkenal di bidang fisika lainnya. Aku hanya ingin terus belajar ilmu fisika dan alam semesta. Dan aku tak akan peduli dengan hasil belajarku. Aku tak peduli apakah dengan belajarku itu akhirnya aku paham atau tetap bodoh. Aku tidak peduli sanjungan atau cacian orang-orang dengan kemampuan fisikaku. Aku hanya ingin apabila orang bertanya kepadaku tentang alam semesta, baik mikro maupun makro, aku bisa menjelaskannya, dan mereka menjadi puas dengan penjelasanku. Aku ingin terus menekuni ilmu fisika sampai akhir hayatku, sebagai ikhtiar agung dalam penghambaanku kepada Allah. Amien. (Jogja, 26 April 2010).

Tidak ada komentar: