(Catatan Diskusi Budaya dan Bedah Buku Rhadar Panca Dahana)
Dalam acara Diskusi Budaya “Dialektika Seni dan Indonesia” dan bedah buku “Dalam Sebotol Coklat Cair” karya Radhar Panca Dahana yang diadakan oleh anak-anak Aqidah dan Filsafat UIN Suka pada hari Senin 26 Mei 2008 bertempat di Stadium Center (SC) UIN Suka, hadir tiga pembicara: Halim HD (seorang neteworker budaya), Radhar (penulis buku), dan Hairus Salim HS (pemerhati budaya dari LKiS). Diskusi itu juga dihadiri oleh berbagai lapisan pemuda, baik aktivis pergerakan, penyair, kritikus budaya, dan para utusan atau undangan dari beberapa organisasi pemuda di Yogyakarta.
Pentingnya diskusi budaya itu bukan terletak pada struktur dan pola acara yang disuguhkan oleh panitia, bukan pula karena buku yang dibedah menawarkan nuansa baru yang menyentak kesadaran para hadirin (maklum, buku itu adalah antologi essei yang tentu tidak sistematis), tetapi pada bagaimana pembahasan tentang kebudayaan dan tradisi bangsa dihadirkan sebagai ruang tafsir nasional yang kurang lebih menarik karena berkenaan dengan posisi bangsa yang kini sedang membutuhkan jawaban secara paradigmatik tentang memaknai kebudayaannya.
Dengan demikian, meskipun skeptisisme terhadap eksistensi dan perjalanan dialektika kebudayaan bangsa selalu hadir – baik dari pembicara maupun para penanya – dengan pernyataan-pernyataan yang seringkali memojokkan, namun dari sinilah tampak bahwa semangat nasionalisme ternyata belum luntur atau malah berkobar dalam diri bangsa Indonesia yang nyatanya kini sedang dihadapkan pada fenomena kebangsaan dimana pada batas terekstrim hendak melemahkan daya kesadaran.
Saya sendiri sebagai genarasi muda bangsa – utamanya ketika diberi kesempatan angkat bicara oleh saudara moderator – tidak merasa risau, misalnya, pada pertanyaan yang seringkali dilontarkan oleh Radhar tentang apa arti kebudayaan bagi kita? Bukankah efektifitas kebudayaan dalam ruang sosial (dalam banyak pengalaman bangsa ini) justeru seringkali menimbulkan anarkisme dan bahkan disintegrasi? Lalu kenapa kita masih merasa perlu kepada kebudayaan bila sudah jelas bahwa kebudayaan itu sendiri tidak mampu memberikan pemaknaan terhadap hidup keseharian kita?
Saya kira pernyataan Radhar ini dalam tataran tertetu adalah bertolak dari sebuah semangat menghargai kebudayaan bangsa dalam bentuk mempertanyakannya sebagai dasar untuk merekonstruksi pemahaman kita bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang tidak hanya patut dihargai, melainkan turut pula dihayati. Atau jika tiga pertanyaan penting tersebut memang sangat mendesak untuk dijawab, maka cukuplah dengan hanya mengajukan salah satu poin dari ajaran Trisakti-nya Bung Karno, yang menandaskan suatu semangat kebangsaan untuk “berkepribadian dalam hal budaya”.
Tidak terlalu sulit memang untuk menyatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah identitas yang tampanya suatu bangsa barangkali tidak akan pernah menemukan titik pijak refleksi esensialitas kepribadiannya. Karena itu kebudayaan bukan hanya penting, tetapi barangkali sebuah keharusan yang tak terelakkan bagi suatu bangsa.
Catatan pendek ini berusaha menanggapi beberapa uraian penting dari tiga orang pembicara pada diskusi budaya itu atau semacam koreksi ulang yang mempertanyakan, apakah pernyataan-pernyataan mereka tentang pola, struktur dan proses kebudayaan berkesuaian dengan paradigma konstruktif yang mendesah untuk diperbaharui maupun dengan realitas kekinian dimana konsep kebudayaan memerlukan pemaknaan ulang yang kurang lebih secara ekstrim?
***
Adalah Hairus Salim yang menyatakan bahwa buku Rhadar itu merupakan percikan pemikiran yang hendak memberikan kemungkinan untuk mengembalikan kebudayaan bangsa kepada akar historisnya. Tidak jelas dia paparkan tentang bagaimana percikan pemikiran itu dibangun dan dikembangkan untuk menghindari segala celah yang menuntut untuk dipertanyakan. Misalnya tentang fenomena kebudayaan apa saja yang ditelaah oleh Rhadar dalam bukunya itu sebagai sampiran menuju pemecahan konstruktif dan solutif, atau tahapan dan prinsip apa yang harus dikembangkan oleh segenap masyarakat budaya dalam rangka menuju proses pembentukan kembali ke akar itu?
Pertama-tama harus diperjelas bahwa tidak mudah dan selalu menemukan problematika pelik dalam setiap menangkap sesuatu tanpa mempertimbangkannya dalam segala dimensi tentangnya, misalnya dari sisi epistemologik, historis, substansi dan realitas anomali yang telah terjadi selama sesuatu itu dapat diketahui. Membicarakan segala kemungkinan untuk mengembalikan kebudayaan bangsa kepada akar pembentukannya, tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit dalam merenungi pertanyaan, misalnya, adakah akar historis kebudayaan bangsa yang azali tanpa adanya modifikasi (realitas kebudayaan kita, menurut Salim, telah termodifikasi sedemikian rupa. Oleh karenanya harus dikembalikan kepada akarnya agar ruh kebudayaan kita menemukan momentum baiknya)?
Jogja, 23 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar