Sejak makin vital ditentangnya modernisme sebagai landasan peradaban yang justeru menciptakan erosi multidimensi dunia dan kehidupan, pengambilan jalan tengah dengan menyertakan aspek sistem-nilai agama cukup mendominasi. Inilah yang kemudian, dalam posisi tertentu, dikatakan sebagai model lajur pemikiran post-modernisme.
Adapun kesatuan konstruksi pemikiran post-modernisme, terletak dalam dua corak kecenderungan yang berbeda, yaitu antara pencerabutan grend narration dan paralelisme dialektik. Grend narration atau narasi besar dikatakan sebagai kelangsungan hidup pemikiran modernisme dalam meletakkan klarisifikasi kecenderungan dunia pada hanya terhadap aspek ‘yang agung’. Para idealis post-modernisme merefleksikan ‘yang agung’ kepada bangunan dasar ideologi seperti sosialisme, komunisme, kapitalisme bahkan demokratisme. Dikatakan bahwa dengan meletakkan dunia pada lintasan ‘yang agung’, sama halnya dengan mengatakan bahwa air adalah merupakan hidrogen dan oksigen. Bahwa dengan menumbangkan ‘yang agung’ ini sama saja dengan mengandaikan the end of history.
‘Keterburuan’ ini dikritisi oleh para pemikir post-modernisme dengan argumen bahwa menegasikan ‘narasi kecil’ yang dalam waktu tertentu sangat dominan sama dengan mereduksi tatanan hidup ‘yang lain’ yang semestinya pula patut dihormati. Karena ‘yang lain’ inilah pada tingkat intensitas tertentu bukan hanya sebatas dibutuhkan tetapi menyimpan potensi dasar dalam setiap pembicaraan tentang perkembangan sebuah peradaban dalam mengandaikan pemenuhan hasrat tujuan masa depan yang lebih dapat dikendalikan. Dengan mengafirmasikan ‘yang lain’ ini, pakem ‘narasi agung’ harus ditanggapi melalui mendeteksi kecenderungan-kecenderungan untuk didekonstruksinya sedemikian rupa.
Sementara pengertian paralelisme dialektik, justeru merupakan usaha menemukan bentuk alternatif antara akal dan nurani. Oleh banyak pengamat dikatakan bahwa pengandaian akan hal ini merupakan bentuk romantisme terhadap nurani yang telah berabad-abad lamanya dinegasikan modernisme.
Dalam sistem simbolisasi terhadap nurani atau lebih jelasnya agama, terdapat bermacam kecenderungan yang berbeda yang menjadi bagian terpenting melalui sistem diagnostik terhadap simbol social maupun pemikiran. Agama ditekankan pada dua aspek yang sama-sama mengkritisi lajur hidup dunia dan kehidupan masyarakat modern.
Petama, paralelisme menekankan akan terdapatnya bagian terpenting dari struktur social dan simbol dunia satu sama lain yang penuh ketergantungan. Argument dasar para penekan parelelisme adalah bahwa masyarakat modern mempunyai kecenderungan untuk membedakan secara mendasar antara kultur dan subkultur, symbol dan subsimbol, system dan subsistem, dan lain-lain yang pada ketentuan tertentu mengagungkan rasionalitas di atas spiritualitas kehidupan, sehingga melahirkan bermacam anomali yang justeru mengancam eksistensi hidup manusia di dunia. Dari sini kemudian dianalisis duduk persoalan masyarakat modern pada tingkat kesadaran substansialnya, bahwa sudah saatnya mengembalikan seluruh dimensi dunia dan kehidupan pada tataran yang dianggapnya berjejaring satu sama lain itu.
Lebih radikal lagi, system pemikiran dialektik dalam tahap tertentu berusaha menekankan pada prinsip-prinsip agama supaya dijadikan sebagai pedoman dasar atau landasan dinamika social dan kesadaran individual, karena keberadaan kitab-kitab suci agama-agama secara substansial memberikan suatu bahan dasar tentang apa sesungguhnya dan bagaimana seharusnya dunia dan kehidupan. Sekularisme oleh para pemikir yang berkecenderungan demikian dianggap sebagai referensi dasar untuk melihat perkembangan peradaban modern yang diyakini bertitik klimaks pada pencerabutan system-nilai masyarakat dan perusakan terhadap symbol-simbol dunia dan alam dimana pada saat yang sama kehidupan manusia menjadi sumber satu-satunya atas masalahnya sendiri. Dari sini kemudian, posisi agama seperti terlihat pada arif-bijaksana tokoh-tokohnya terdahulu mesti lebih dipandang penting karena bahwa pandangan dan prinsip mereka terhadap dunia dan kehidupan sama sekali tidak mengemban pemahaman yang reduksionis. Titik kesadaran manusia dikatakan kemudian ialah terletak pada tahap bagaimana mereka mengambil kearifan dan kebijaksanaan itu sebagai modal dasar untuk memahami symbol zaman yang sedang mereka hadapi.
Akar Modernisme
Kalau ditarik ulur pada tahapan awal munculnya paham modern ialah sejak Descartes semakin skeptis terhadap para Yesuitnya yang dikatakannya tidak punya bangunan jelas dalam pemikirannya. Ketidakjelasan ini dinyatakan oleh Descartes sebagai konsekuensi logis dari dogma agama yang cenderung memuja ‘yang tahayyul’ daripada ‘yang rasional’. Dengan begitu dia mendeklarasikan cogito ergo sum-nya beserta pondasi dasar pemikiran yang disebutnya sebagai idea clara et distinca (ide yang terang dan jelas) untuk mencari kebenaran. Sikap skeptisis Descartes ini kemudian dapat diterima secara umum di Eropa dengan syarat utama menghilangkan unsur agama (religiositas) dalam proses epistemologisnya.
Meskipun ada bermacam kecenderungan paham rasionalitas yang masih menyertakan mistisisme dimana tidak serta merta menghilangkan ‘yang tunggal’ (Allah), seperti yang dibawa oleh Leibnis dkk, pada perkembangan yang lebih lanjut tetap saja agama dianggap ‘musuh’ kebenaran karena ‘ketidakjelasannya’.
Periode pasca rasionalisme Descartes, di ranah Britania Raya, para filsuf inggris secara bersamaan mendeklarasikan apa yang dikatakan empirisisme. Orang-orang semacam John Locke, Thomas Hobbes, Berkeley dan David Hume mambangun empirisismenya masing-masing dengan pondasi dan sistem yang berbeda-beda. Meskipun pada Berkeley – barangkali karena dia adalah seorang pendeta – sistem emperisisme masih mengandaikan adanya ‘yang batiniah’, tetapi dapat dikatakan bahwa hal yang demikian hanyalah bentuk justifikasi pemikiran yang dipaksakan. Bahwa tetap saja paham emperisisme menegasikan ‘yang ghaib’ yaitu system-nilai pada agama-agama.
Sejenak kemudian pencerahan di Perancis telah menemukan pilihannya yang berpuncak paling radikal pada positivisme August Comte. Dia berusaha membangun pemikirannya atas sintesis antara rasionalisme dan empirisisme. Ateisme cenderung rentan dalam hal demikian, begitu juga sekularisme. Saat itu pengacuhan terhadap metafisis berpuncak, sementara materialisme menemukan titik pancarnya yang paling awal. Abad pencerahan selaras hanya pada tahapan epistemologi an sich dan agama betul-betul berada dalam keadaan yang sangat sulit, bahkan kian pudar.
Beruntun kemudian pada idealisme dan materialisme Jerman dimana sistem-nilai tidak lagi ditambatkan pada agama, tetapi hanya pada saja aspek dunia dan kehidupan. Etika hanya mendapatkan pengertiannya dalam ruang sosial formal. Metodologi saintifik terbangun kokoh dan barangkali merupakan titik klimaks yang paling awal. Sedangkan mekanisme Newtonian telah diprakarsai sedemikian rupa agar kemajuan ilmu pengetahuan tidak mendapatkan ancaman substansial.
Lahirnya Erosi
Peradaban Eropa dan Amerika, dengan seribu hasrat pemikiran yang telah membangun multidimensi kehidupan, kemudian menjadi tonggak kesadaran dunia. Tak dapat dibayangkan bagaimana anarkisme terjadi sangat gencar sehingga memakan banyak korban jiwa di Negara-negara dunia kedua yang “tergiur” oleh kesuksesan Eropa dan Amerika. Peran serta dunia kedua ini, karena pengaruh dari turunan pola pemikiran dasar mekanisme, mempercayai bahwa kolonialisme merupakan jalan terbaik untuk menemukan identitas pembangunan negaranya.
Kehancuran moral kemanusiaan lalu terjadi tak terelakkan tanpa adanya kesadaran untuk melakukan perlawanan atas nama kebijaksanaan. Sementara eksploitasi nilai dan oprasional alam dilakukan demi hanya sekedar pemuas ’dimensi hasrat menguasai’ manusia. Perang, baik fisik maupun dingin, mewarnai kancah dunia abad modern yang memerankan Amerika sebagai kapitalis dan Rusia sebagai komunis menyeruak sedemikian rupa sehingga menciptakan “scizhoprenia” dunia. Dalam kondisi dunia yang demikian kritisnya, manusia tidak banyak lagi mementingkan peran agama dan kebijaksaan terhadap alam, namun justeru berupaya menemukan sitesis diantara dua blok itu. Disusun kemudian konsepsi demokrasi yang dipandang lebih humanis, tetapi pada saat bersamaan dituding sebagai ‘panjang tangan’ dari kapitalisme.
Demokrasi berpacak sebagai paham dominant bahkan hingga saat ini dengan turunan paham yang lebih rumit lagi, yaitu globalisme. Manusia barangkali tidak sempat berfikir bahwa globalisme sesungguhnya bukan seperti apa yang dia bayangkan. Globalisme yang disinyalir oleh pengandaian terhadap terciptanya asimilasi positif antara warga dunia, ternyata pada tahapan realnya justeru hanya melahirkan perseteruan yang tiada habisnya. Hasrat “menguasai” dan “dikuasai” manusia bahkan menemukan tempat paling dominant dalam hal ini. Manusia tidak akan lagi memikirkan hal-hal yang sangat spesifik dan fundamental dari keringkihan diri dan alamnya, kerena sudah terlampau diteriaki oleh “iming-iming” kapitalisme yang sesungguhnya berpihak pada anarkisme dan bukan toleransi berkeadaban.
Romantisme Spiritualitas
Barangkali manusia tidak berfikir bahwa tatanan budaya, politik, ekonomi, sosial, alam dan dimensi dunia serta kehidupannya menjadi pertaruhan yang sedemikian rupa karena telah terjadi banyak erosi. Baru setelah ditemukan fenomena-fenomena fundamental yang diperkirakan akan menjadi ancaman serius terhadap eksistensi manusia, seperti bobroknya bangunan sistem-nilai dan moralitas serta etika kehidupan, ditambah lagi oleh bencana alam yang terjadi mendera tiada akhirnya, manusia mulai sadar bahwa pemahamannya terhadap dunia dan kehidupan selama ini dipenuhi oleh bangunan pemikiran yang reduksionis yang hanya sekedar artifisial. Bahkan ketika ditemukannya titik bahaya dari alam yang ditunjukkan sebagai global warming, pada saat bersamaan manusia merasa bahwa dirinya merasa kering dari nilai kearifan dan kebijaksanaan. Setidaknya terhadap dirinya sendiri dia tidak merasa bahwa selama ini dia telah menciptakan segala ketimpangan yang tidak pernah dia kira sebelumnya. Seperti halnya dia tidak mansyukuri keadaan dunia dan kehidupannya, kemudian dia mulai sadar bahwa berabad-abad lamanya dia telah memusuhi dirinya sendiri.
Frijtof Capra barangkali adalah seorang ilmuawan yang hendak ingin mengembalikan reduksi pemahaman manusia modern pada duduk persoalannya secara substansial. Dikatakan bahwa pemahaman manusia modern, secara tidak langsung dari berbagai paham yang dia agungkan, telah meniscayakan keberjarakan dirinya terhadap dunia dan kehidupannya. Tidak disadari bahwa alam semesta sesungguhnya merupakan jaringan yang berantai antara satu entitas dengan entitas hidup lainnya.
Disparitas dan paritas yang semestinya mengharapkan terciptanya solidaritas, dalam dunia modern justru dibuat lubang yang sangat lebar oleh masyarakat modern. Anggapan yang mengatakan bahwa alam semesta tak lebih serupa ruang mekanis itulah merupakan varian penting dari terciptanya pemahaman keterjarakan ini. Maka dari sini kemudian kepercayaan manusia pada yang abstrak atau yang ghaib menemui titik buntu yang paling memilukan. Manusia sepenuhnya percaya terhadap kekuatan dirinya dengan perangkat hukum alam yang diciptakannya sendiri, kemudian menganggap segalanya dapat direduksi dan dieksploitasi. Pada saat genting seperti inilah bahwa apa yang dikatakan daya spiritualitas Timur membutuhkan ruang untuk lebih dominan sebagai antitesis dari rasionalitas dan empirisitas pemahaman manusia, agar terjadi paralelisasi dan integrasi yang berkesinambungan antara keduanya. Diharapkan dari sintesis antara spiritualitas dan rasionalitas pada diri manusia suatu pemahaman yang sebisa mungkin dapat mengatasi berbagai problema modernsasi yang sekularistik.
Metodologi Spiritualitas
Namun, bagaimana metodologi atau cara dalam meyakinkan manusia akan pentingnya daya spiritualitas disini tidak ada satu pun perangkat dasar yang setidaknya bisa menjadi acuan umum. Para post-modernis yang mendukung paralelisme spiritualitas dengan rasionalitas selama ini hanya dapat menampilkan beberapa catatan penting dari fenomena-fenomena keganjilan dunia dan kehidupan serta mendorong untuk bagaimana spiritualitas menjadi fondasi dasar dari paham manusia dan belum sampai pada pengertian tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap dirinya sendiri dan alam sekitarnya. Sangat sulit dirasa untuk mendapatkan pemahaman baik terhadap spiritualitas jika tidak diarahkan dengan perangkat metodologi dasar yang menyertakan peran ontologi dan epistemologi relegitusitas serta sistem-nilai agama. Karena bahwa untuk manusia yang makin memiliki daya nalar kritis tinggi, hal-hal berupa mistisisme atau tahayyul cenderung sangat sulit diterima seandainya tidak ada satu bangunan dasar pemahaman yang mengakar dan dapat dipercayai sebagai keyakinan yang patut diterapkan.
Setidaknya paham post-modernis yang menganjurkan paralelisme antara rasionalitas dengan spiritualitas dapat digolongkan pada dua kelompok besar, yaitu pemikir yang berusaha menemukan kesatuan antara sains dan agama dan penganjur supaya ditingkatkannya penghayatan terhadap dunia dan kehidupan termasuk juga kepercayaannya kepada tuhan. Mereka memiliki kecenderungan pemahaman yang berbada, dikarenakan penekanan yang diharapkannya memiliki bobot serta implikasi yang berbeda pula. Kelompok pertama lebih kepada penekanan terhadap kebenaran adanya ketersambungan antara satu dimensi dengan dimensi yang lain, sehingga dari ini manusia diharapkan tidak menegasikan diantara salah satunya. Indikasi logis dari ini pula, agar manusia memiliki kesadaran universal terhadap apa yang dia kerjakan. Kesadaran ini berkenaan dengan kemantapannya melakukan sesuatu serta kesiapannya menerima implikasi yang semestinya telah disadarinya sejak semula. Sementara untuk kelompok kedua, lebih menekankan kepada penerimaan terhadap adanya dzat tunggal yang memberikan manusia kesadaran terhadap dunia dan kehidupannya. Mereka mengharapkan manusia modern kembali mengindahkan ajaran-ajaran pokok dalam agama, agar daya naluriahnya tidak kering-kerontang sehingga manusia selalu merasa siap pada apa yang sedang dia hadapi.
Selama ini, para penganjur spiritualitas hanya dapat mengangkat contoh kearifan hidup para spiritualis Timur dahulu, yang kalau dalam Islam biasa disebut sufi. Sufisme telah menjadi kajian umum dengan satu tujuan agar dapat menjadi pedoman manusia modern saat ini. Pemahaman dan pengalaman hidup serta pola pikir orang-orang sufi diinterpretasikan serta direlevansikan dengan kondisi arus zaman. Banyak interpretasi yang didapatkan dari usaha demikian, dan yang paling fundamental bahwa sistem-nilai spiritualitas adalah merupakan keyakinan untuk tidak bertindak tanpa adanya satu pegangan hidup yang terdiri dari kebijaksanaan spiritual yang tinggi. Pengenalan terhadap yang ‘Maha Tunggal’ merupakan satu urgensitas yang tidak boleh ditampik. Sistem-nilai agama yang dianggapnya determinan ialah karena mencakup dari keseluruhan sistem-nilai kehidupan. Sesungguhnya, menurut mereka, kebahagiaan di dunia dan di akhirat ialah ketika seseorang mengindahkan seruan agama. Baik dan buruk harus selalu ditimbang dari titik moralitas agama.
Jika kelompok pertama berusaha mengilmiahkan sintetis tersebut, sementara yang kedua menyuguhkan perenungan kepada manusia tentang kearifan tokoh spiritualis zaman dulu. Bagaimanapun juga dapat dimafhumi dari dua kelompok itu, orang akan mengambil banyak pelajaran, akan tetapi apakah orang itu akan menjadi sadar dengan argumentasi keduanya merupakan satu keganjilan yang memang patut dipertanyakan. Karena bahwa secara substansial, romantisme spiritualitas untuk zaman ini harus lebih radikal lagi disebabkan jika tidak demikian, maka kecenderungan tidak diterima sangatlah memungkinkan.
Untuk itu kemudian, bahwa bagaimana kemungkinan untuk tidak diterima itu diperkecil sedemikian rupa adalah merupakan tugas bersama. Adapun dalam rangka penyadaran, memang tidak dapat dipungkiri untuk menyusun bermacam argumen sistematis dan konstruktif yang barangkali pula dapat dikatakan sebagai sistem paham seperti halnya paham-paham lainnya. Setiap paham diterima oleh khalayak ialah karena paham itu memiliki pondasi dan bahan serta perangkat dasar penyusun konstruksi pemikirannya. Paham itu tidak diterima kemudian jika telah ditemui cela terhadap ketahanannya atas segala kemungkinan konsekuensi.
Jogja, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar