Aku dilahirkan di sebuah desa, Kerta Timur namanya.
Kampung Tengah nama kampungku. Dasuk kecamatanku, sebuah kecamatan yang
terletak di bagian utara kabupaten Sumenep, berjarak 30 kilo meter dari kota.
Pantura (pantai utara), begitu orang-orang menyebut keresidenanku (terdiri dari
Dasuk, Ambunten, Pasongsongan dan Rubaru). Tapi sebenarnya, aku hidup di mana
pertanian jadi tonggak penghasilan utama masyarakatku, sebab jarak pantai dari
kampungku adalah sekitar 4 kilo meter.
Rumahku adalah rumah tua khas Madura. Kecil, memang,
tapi kami – aku, nenek, emak dan adikku – hidup bahagia di dalamnya. Di
selatan, utara dan timur rumahku tegak menjulang rimbunan pohon bambu. Rumahku
diselimuti oleh pohon bambu. Jadi meskipun berjarak 20 meter, rumahku tidak
kelihatan dari jalan raya. Bisa dikatakan, aku dibesarkan oleh bunyi-bunyian
bambu yang terdengar misterius tapi menentramkan.
Di sebelah timur rumahku, memanjang sebuah sungai
kecil. Sungai itu jadi tempat mandi kami, tempat membuang air besar kami dan
sumber pengairan sawah-sawah kami. Kini, air sungai itu makin kecil. Dulu,
semasih aku kanak-kanak, air sungai masih cukup besar, sehingga kami bisa
meloncat dari pohon setinggi 60 kaki tanpa menyentuh dasar sungai yang penuh
dengan kerikil itu.
Di utara rumahku, ada sebuah bukit sederhana, tidak
terlalu tinggi. Bisa dikatakan, itu hanya gundukan tanah, tapi kami lebih suka
menyebutnya bukit. Jarat namanya.
Dari bukit itu, kami bisa melihat beberapa kampung di sebelah utara dari
ketinggian. Dari bukit itu pula, kami bisa dengan jelas melihat laut yang
terhampar di sebelah utara rumahku. Jika dilihat dari bukit itu, laut seperti
lebih tinggi dari daratan, tetapi anehnya, air laut itu tidak pernah tumpah ke
daratan.
Di selatan rumahku, juga terdapat bukit, lebih tinggi
dari bukit di utara rumahku. Pangeleng namanya.
Bisa dikatakan, rumahku terletak di tengah-tengah bukit. Bila ada suara speaker
dari bukit itu (yang jaraknya sekitar 700 meter) terdengar lantang ke rumahku.
Malam-malam aku sering duduk sendirian di beranda rumah mendengarkan shalawatan
yang dari speaker itu. Bunyi kresek bambu dan lantunan shalawatan dari bukit
selatan itu membuat tentram malam-malamku.
Di utara, di batas desa, ada laut. Dulu, sebelum aku
pergi merantau mencari ilmu, tiap minggu sekali aku dan teman-teman kecilku
main ke laut. Jaraknya sekitar 4 kilo meter dari rumahku. Kami mandi, bermain
pasir, mancing, main bola, main layang-layang dan menunggu nelayan untuk
diminta ikannya di sana. Biasanya kami pergi ke laut pagi-pagi sekali dan
pulang sekitar jam 8. Laut membuatku mengerti bahwa ada bunyi yang lebih
misterius tapi menentramkan ketimbang bunyi pohon bambu.
Di semua arah dari rumahku, kecuali arah selatan,
terhampar ratusan hektar sawah. Lahan persawahan lebih mendominasi kawasan desa
kami daripada perumahan. Hampir semuanya perkerjaan para tetanggaku adalah
tani. Aku bahagia sekali menjadi anak petani, karena tanpa disadari bahwa
ternyata pekerjaan itulah yang membuat masyarakat kami guyup. Aku tak bisa
membayangkan bagaimana bila kelak sawah-sawah itu sudah ditanami bangunan.
Mungkin keguyupan itu akan terhapus dari masyarakatku.
Sungai, bukit, laut dan sawah itulah yang membuatku
selalu merasa tak bisa meninggalkan kampungku. Biarpun sudah semenjak lulus SD
aku merantau ke luar desa, aku tak pernah bisa meninggalkan desaku dan
memutuskan hidup di luar. Sungai, bukit, laut dan sawah telah mengasuh masa
kecilku, maka aku pun berharap juga mengasuh masa tuaku kelak. (Jogja, 22 Agustus 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar