Sabtu, 07 September 2013

Sungai, Bukit, Laut, Sawah Desaku


 
Aku dilahirkan di sebuah desa, Kerta Timur namanya. Kampung Tengah nama kampungku. Dasuk kecamatanku, sebuah kecamatan yang terletak di bagian utara kabupaten Sumenep, berjarak 30 kilo meter dari kota. Pantura (pantai utara), begitu orang-orang menyebut keresidenanku (terdiri dari Dasuk, Ambunten, Pasongsongan dan Rubaru). Tapi sebenarnya, aku hidup di mana pertanian jadi tonggak penghasilan utama masyarakatku, sebab jarak pantai dari kampungku adalah sekitar 4 kilo meter.
Rumahku adalah rumah tua khas Madura. Kecil, memang, tapi kami – aku, nenek, emak dan adikku – hidup bahagia di dalamnya. Di selatan, utara dan timur rumahku tegak menjulang rimbunan pohon bambu. Rumahku diselimuti oleh pohon bambu. Jadi meskipun berjarak 20 meter, rumahku tidak kelihatan dari jalan raya. Bisa dikatakan, aku dibesarkan oleh bunyi-bunyian bambu yang terdengar misterius tapi menentramkan.
Di sebelah timur rumahku, memanjang sebuah sungai kecil. Sungai itu jadi tempat mandi kami, tempat membuang air besar kami dan sumber pengairan sawah-sawah kami. Kini, air sungai itu makin kecil. Dulu, semasih aku kanak-kanak, air sungai masih cukup besar, sehingga kami bisa meloncat dari pohon setinggi 60 kaki tanpa menyentuh dasar sungai yang penuh dengan kerikil itu.
Di utara rumahku, ada sebuah bukit sederhana, tidak terlalu tinggi. Bisa dikatakan, itu hanya gundukan tanah, tapi kami lebih suka menyebutnya bukit. Jarat namanya. Dari bukit itu, kami bisa melihat beberapa kampung di sebelah utara dari ketinggian. Dari bukit itu pula, kami bisa dengan jelas melihat laut yang terhampar di sebelah utara rumahku. Jika dilihat dari bukit itu, laut seperti lebih tinggi dari daratan, tetapi anehnya, air laut itu tidak pernah tumpah ke daratan.
Di selatan rumahku, juga terdapat bukit, lebih tinggi dari bukit di utara rumahku. Pangeleng namanya. Bisa dikatakan, rumahku terletak di tengah-tengah bukit. Bila ada suara speaker dari bukit itu (yang jaraknya sekitar 700 meter) terdengar lantang ke rumahku. Malam-malam aku sering duduk sendirian di beranda rumah mendengarkan shalawatan yang dari speaker itu. Bunyi kresek bambu dan lantunan shalawatan dari bukit selatan itu membuat tentram malam-malamku.
Di utara, di batas desa, ada laut. Dulu, sebelum aku pergi merantau mencari ilmu, tiap minggu sekali aku dan teman-teman kecilku main ke laut. Jaraknya sekitar 4 kilo meter dari rumahku. Kami mandi, bermain pasir, mancing, main bola, main layang-layang dan menunggu nelayan untuk diminta ikannya di sana. Biasanya kami pergi ke laut pagi-pagi sekali dan pulang sekitar jam 8. Laut membuatku mengerti bahwa ada bunyi yang lebih misterius tapi menentramkan ketimbang bunyi pohon bambu.
Di semua arah dari rumahku, kecuali arah selatan, terhampar ratusan hektar sawah. Lahan persawahan lebih mendominasi kawasan desa kami daripada perumahan. Hampir semuanya perkerjaan para tetanggaku adalah tani. Aku bahagia sekali menjadi anak petani, karena tanpa disadari bahwa ternyata pekerjaan itulah yang membuat masyarakat kami guyup. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila kelak sawah-sawah itu sudah ditanami bangunan. Mungkin keguyupan itu akan terhapus dari masyarakatku.
Sungai, bukit, laut dan sawah itulah yang membuatku selalu merasa tak bisa meninggalkan kampungku. Biarpun sudah semenjak lulus SD aku merantau ke luar desa, aku tak pernah bisa meninggalkan desaku dan memutuskan hidup di luar. Sungai, bukit, laut dan sawah telah mengasuh masa kecilku, maka aku pun berharap juga mengasuh masa tuaku kelak. (Jogja, 22 Agustus 2013).

Tidak ada komentar: