Rabu, 23 Oktober 2013

Emak




Mimik junang tapucilin,” demikian rengekanku pada Emak setiap kali aku minta dimimik, 25 tahun yang lalu. Demikian, emak suka bercerita tentang bahasaku yang aneh sewaktu aku masih belum bisa bicara benar. “Ayu’ mak immua peleng ka jhebujhe, uwa’ sakotengnga la amunyian.” Dan aku pun terkekeh-kekeh ketika melihat mulut emak moncrang-moncreng menirukan ucapan konyolku itu

Tapi sekarang emak tak di kampung lagi. Ia sedang merantau ke Malaysia, jadi TKI, sejak beberapa tahun yang silam, ketika emak sudah tak kuat lagi menanggung malu lantaran hutangnya yang tak alang-kepalang. Lebih besar pasak ketimbang tiang – kata pepatah. Betapa tidak, emak hanyalah seorang janda tua yang tanggungannya tidaklah ringan: aku, adik dan nenekku. Upahnya sebagai buruh tani dan tukang pijat barangkali hanya cukup buat beli beras dan garam

Kini aku di rumah, pulang kampung untuk sekedar melepas penat dan rindu. Aku membuka-buka lemari emak di kamar dan menatap lama lipatan baju-bajunya. Nenek yang tak pulang dari sawah dan adik yang mungkin sedang bermain dengan teman-temannya memperlengkap sepinya rumah. Aku lalu ke luar kamar dan duduk sendiri di beranda, melihat-lihat emak sedang menjemur cucian di halaman sambil bernyanyi lagu-lagu Madura. Kukucek mataku, lagi dan lagi. Bukankah ini hanya bayang-bayang? Bukankah sekarang emak di Malaysia? Aku pun kembali beranjak ke kamar, menangis sejadi-jadinya

Krapyak, September 2013

Tidak ada komentar: