“Mimik junang
tapucilin,” demikian rengekanku pada Emak setiap kali aku minta dimimik, 25
tahun yang lalu. Demikian, emak suka bercerita tentang bahasaku yang aneh
sewaktu aku masih belum bisa bicara benar. “Ayu’
mak immua peleng ka jhebujhe, uwa’ sakotengnga la amunyian.” Dan aku pun
terkekeh-kekeh ketika melihat mulut emak moncrang-moncreng
menirukan ucapan konyolku itu
Tapi sekarang emak tak di kampung lagi. Ia sedang
merantau ke Malaysia, jadi TKI, sejak beberapa tahun yang silam, ketika emak
sudah tak kuat lagi menanggung malu lantaran hutangnya yang tak alang-kepalang.
Lebih besar pasak ketimbang tiang – kata pepatah. Betapa tidak, emak hanyalah
seorang janda tua yang tanggungannya tidaklah ringan: aku, adik dan nenekku. Upahnya
sebagai buruh tani dan tukang pijat barangkali hanya cukup buat beli beras dan
garam
Kini aku di rumah, pulang kampung untuk sekedar melepas
penat dan rindu. Aku membuka-buka lemari emak di kamar dan menatap lama lipatan
baju-bajunya. Nenek yang tak pulang dari sawah dan adik yang mungkin sedang
bermain dengan teman-temannya memperlengkap sepinya rumah. Aku lalu ke luar kamar
dan duduk sendiri di beranda, melihat-lihat emak sedang menjemur cucian di
halaman sambil bernyanyi lagu-lagu Madura. Kukucek mataku, lagi dan lagi. Bukankah
ini hanya bayang-bayang? Bukankah sekarang emak di Malaysia? Aku pun kembali
beranjak ke kamar, menangis sejadi-jadinya
Krapyak, September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar