Jumat, 25 Oktober 2013

Selamat Tinggal Angkot

 Terakhir aku naik angkot Kobutri jalur Krapyak-UIN adalah ketika awal-awal dinaikkannya harga BBM (kalau tidak salah bulan Juli). Saat itu ongkosnya Rp. 3.000 – naik Rp 500 dari sebelumnya Rp. 2.500. Untuk ke kampus, aku sering numpang bonceng ke teman-teman pondok atau kos, dan tidak jarang aku ngontel, karena kala itu keuanganku lagi seret.
Nah, kemarin, dari UIN ke Krapyak aku ingin bernostalgia naik Kobutri lagi. Penumpangnya mahasiswi semua. Lelakinya cuma aku seorang. Sumpah, aku merasa tidak nyaman sekali. Ketika angkot berangkat, aku merogoh dompet dan bertanya ke teman di sampingku tentang ongkos angkot. Dia menjawab: “5.000, Mas!”. Hah, Rp. 5.000? Wah, wah, ini sudah tidak lumrah. Padahal ongkos Trans Jogja masih seperti dulu: Rp. 3.000. Menurutku sih tidak apa-apa naik, tapi tidak dua kali lipat begitu. Ini namanya pencekikan buat mahasiswa. Untuk pulang-pergi Rp. 10.000. Coba hitung sendiri, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa-mahasiswi PP. Al-Munawwir Krapyak untuk ongkos jalan saja. Weleh, weleh!
Untungnya di dompet ada uang sekitar Rp. 7.500 – itu pun hasil dari pinjem ke teman. Tak terbayangkan jika uangku kurang dari Rp. 5.000. Apa yang harus aku lakukan? Pinjam ke teman-teman mahasiswi? Ah, tak terbayangkan betapa malunya. Mulai saat itu aku berjanji tidak akan naik angkot lagi – kecuali barangkali untuk saat-saat kelebihan uang dan ingin bernostalgia.
Tapi anehnya, di saat aku membenak seperti itu, muncul rasa sedih. Aku sedih karena angkot – sebelum harga BBM naik – sudah menjadi bagian dari hidupku. Banyak hal yang aku dapatkan darinya. Bahkan tak jarang puisi-puisiku lahir ketika sedang berada di angkot. Tidak jarang pula ide-ide brilian tentang tema esai yang harus aku buat lahir di sini. Angkot, dengan segala fenomenanya, menjadi satu bagian dari proses kreatifku.
Huh, gara-gara pemerintah menaikkan harga BBM aku jadi melambaikan tangan buat angkot. Aku benci pemerintah. Aku selalu tidak percaya bahwa penaikan harga BBM adalah selalu untuk mencegah laju inflasi dan mendongkrak devisa. Ini permainan elit politik-pengusaha. Murni permainan. Sebab jika murni BBM pasca produksi dijual seharga pabrik, mungkin hanya sekitar Rp. 2.000. Tapi mengapa kini Rp. 6.500? Tentu saja perhitungannya selain biaya produksi – BBM kita diolah oleh pabrik luar negeri dan dijual dengan amat mahal sekali kepada kita – juga karena alasan subsudi yang dinaikkan dari harga semula agar pemerintah dapat persenan dari situ. Masak rasio subsidi dan harga murni membengkak seperti itu? Ah, ini tidak mungkin kalau tidak karena permainan. Aku selalu curiga dan tidak percaya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama berkenaan dengan “produksi uang”, serasional apa pun kebijakan itu. Huhuhu, aku jadi sedih harus mengatakan “selamat tinggal angkot!”***

Krapyak, 18 Oktober 2013

Tidak ada komentar: