Belakangan ini
rejekiku lagi seret. Tapi itu sudah biasa. Justru aku harus bersyukur karena –
setelah selama bertahun-tahun kuperhatikan ternyata rejekiku mengikuti pola
yang tetap – tak lama lagi rejekiku akan lancar. Aku tengah menulis buku
tentang Marxisme dan selama berbulan-bulan belum kelar – sesuatu yang sangat
membuatku jengkel. Setelah kelar, aku akan dapat duit Rp. 2.900.000 dan itulah
yang kumaksud sebagai saat-saat lancarnya rejekiku. Aku bisa ongkang-ongkang, menghabiskan banyak waktu
melanjutkan penelitian fisikaku, dan kembali menajamkan perhatianku pada puisi.
Tapi di tengah
menulis buku, tentu, aku harus makan, merokok dan ngopi – tiga basis struktur
kehidupanku – serta bayar kos dan tagihan listrik. Selama tiga bulan aku pinjam
uang terus ke emak, dan tiap kali emak tanya “Emang mau bayar kapan?” selalu aku jawab “Nanti setelah saya punya rumah emas, Mak.”. Haha...aku sering
pinjam uang ke Emak dan tidak pernah bayar – begitu pun sebaliknya. Dalam hal
ini, secara teoritis, aku benar-benar malu. Aku tidak pernah minta duit ke Emak
kecuali saat-saat “mencekam” seperti saat ini. Dan saat-saat “mencekam” itu ternyata
belakangan sering melandaku. Artinya, aku harus bertahan dalam rasa malu yang
kuulang berkali-kali secara sengaja.
Kemarin (14/05/2016)
teman kosku (Pak Hudi) menawariku jadi model kursus cukur di salon milik
temannya. Jadi temannya Pak Hudi itu membuka kursus cukur, dan sudah ada yang
daftar, tetapi dia bingung karena tidak ada orang yang mau diajak jadi “kelinci
percobaannya”. Dia bilang ke Pak Hudi, kalau mau, nanti setelah dicukur akan
dikasih uang Rp. 10.000. Tanpa banyak mikir, Pak Hudi jadi “kelinci percobaan”
pertama. Lalu setelah pulang ke kos, dengan ekspresi wajahnya yang kubenci, Pak
Hudi menawariku. Beberapa hari yang lalu saya memang pernah mengeluh kepadanya
bahwa aku sudah tidak kerasan dengan rambut panjangku karena banyak menghabiskan
shampoo.
Aku mikir: wah
aku jadi “kelinci percobaan” hanya untuk uang Rp. 10.000? Bagaimana jika nanti
anak kursusnya ceroboh, misalnya, membikin botak rambutku atau – tentu secara
tidak sengaja – mengupas daun telingaku? Tapi aku harus makan, beli rokok dan
kopi, karena jika tidak, aku akan ogah-ogahan
mengerjakan garapan bukuku. Dengan proses pemikiran yang tak kalah seriusnya
dibanding saat memikirkan skripsi, aku terima tawaran Pak Hudi. Dan pada hari
Minggu (15/05/2016) aku resmi jadi “kelinci percobaan” kedua kursus cukur di
salon temannya. Kuyakinkan diri bahwa aku harus memakai muka tebal dan belajar
untuk sebisa mungkin menertawakan keadaan.
Teman-teman,
coba bayangkan seorang sarjana fisika, pengarang puisi, pemerhati sajak-sajak
Muhammad Iqbal dan sedikit tahu tentang apa yang orang sebut sebagai idealisme,
dan seorang pemuda yang dari segi umur mestinya tidak lagi risau soal makan dan
rokok, harus mengorbankan diri jadi “kelinci percobaan”. Tetapi aku tahu, Allah
selalu tak habis akal – karena kalau habis akal bukan Tuhan namanya – untuk mengajari
manusia agar tidak menjadi tinggi hati. Aku yakin aku sedang diuji. Tidak,
tidak. Ini seharusnya tidak kuanggap sebagai ujian. Tetapi sudahlah, toh akhirnya aku pun jadi “kelinci
percobaan”.
Aku dipotong
model Mandarin, dikeramasi, diberi vitamin dan kepalaku dipijat refleksi, terus
ketika pulang, uang sebesar Rp. 10.000 kugondol dalam dompet. Alhamdulillah,
hari Minggu yang menyenangkan. Uang itu kubuat beli nasi Rp. 5.000 di warung
Mbok Danang, kopi Rp. 2.000 dan rokok Surya dua batang (Rp. 3.000) di warung
milik Pak Hudi. Aku senang sekali, meskipun saat dicukur aku cukup dag-dig-dug, karena ternyata apa yang
kukhawatirkan benar-benar terjadi: anak kursusnya itu “memperlakukanku” secara
kasar dan gunting elektroniknya hampir selalu mengenai daun telingaku. Tetapi
syukur, dia tidak berminat membikin rambutku botak. Sekarang rambutku pendek.
Dan itu berarti bahwa inilah saat buatku berjuang menghemat shampoo. Perjuangan
belum selesai. Revolusi sampai mati. Tengkyu, Pak Hudi. (16/05/2016).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar